Thursday, November 19, 2009

[ac-i] THE MASK - Pergelaran Topeng Langka Nusantara

 



 
----- Original Message -----
Sent: Friday, November 20, 2009 12:04 PM
Subject: THE MASK - Pergelaran Topeng Langka Nusantara

"The Mask"

Menguak Tradisi Topeng Nusantara yang Kini Langka

Menampilkan:

TARI TOPENG HUDOQ KENYAH & HUDOQ MODANG

Ditarikan oleh Suku Dayak Kenyah dan Dayak Modang, Tanjung Manis, Kalimantan Timur

TARI TOPENG PRIANGAN

Karya Mpu Topeng Priangan, Nugraha Sudiredja (alm)

Ditarikan kembali oleh Risyani SST., MSn.

Kurator : Deddy Luthan

 

Rabu, 25 November 2009

Lobby Lounge Grha Bimasena, The Dharmawangsa

Jl. Dharmawangsa Raya 39, Jakarta

19.00 – 22.00 WIB

 

Program ini dipersembahkan oleh GELAR, bekerjasama dengan BIMASENA, the Mines and Energy Society untuk keberlanjutan seni tradisi Nusantara. Informasi lebih lanjut silakan hubungi : Hastin 021-7258668 / Wanti 021-7226575

 

 

Indonesia memiliki tingkat keragaman yang sangat tinggi, oleh sebab itu rentan sekali mengalami kepunahan. Diantara kekayaan tradisi ini, banyak yang kini sudah sangat langka. Salah satunya seni topeng. Seni topeng dapat dikatakan tidak asing dalam budaya Nusantara. Hampir sebagian besar kelompok etnis di Indonesia mengenal tradisi topeng dalam berbagai bentuk dan fungsi. Tradisi ini berakar kuat sejak jaman prasejarah. Kedua jenis topeng yang akan ditampilkan pada The Mask mewakili beragamnya kesenian topeng di Nusantara.

 

Pada hari Rabu, 25 November 2009, bertempat di Lobby Lounge Grha Bimasena, Hotel The Dharmawangsa, dua jenis seni pertunjukan topeng tradisi yang kini sudah semakin langka, akan digelar di hadapan publik dalam program The Mask. Kedua topeng itu adalah topeng Priangan karya maestro topeng Priangan Nugraha Sudiredja (alm) yang akan ditarikan oleh murid sekaligus pewaris langsungnya yaitu Risyani SST., MSn., dan topeng hudoq kita' Kenyah dan hudoq Modang yang akan ditarikan langsung oleh masyarakat suku Dayak Kenyah dan Dayak Modang Tanjung Manis, Kalimantan Timur.

 

Program The Mask ini diprakarsai oleh Gelar, produser program berbasis seni budaya Indonesia, bekerjasama dengan Bimasena The Mines and Energy Society, sebuah komunitas pertambangan dan energi yang terdiri dari korporat dan perorangan, yang memiliki kepedulian terhadap konservasi seni budaya Indonesia. The Mask diselenggarakan setiap tahun, sebagai bentuk penghormatan bagi para maestro seni tradisi Nusantara dimana tahun ini merupakan penyelenggaraan yang kedua. Tahun 2008 lalu, program yang awalnya bertajuk The Mask by the Maestro ini menampilkan para tiga seni topeng yang kini kian langka. Ketiga topeng itu adalah Topeng Kedok Tiga Betawi, Wayang Topeng Yogyakarta dan Topeng Pajegan Bali, dimana kesemuanya akan ditarikan langsung oleh para pelaku tari topeng yang secara intens hidup menggeluti dunia seni topeng. Mereka adalah Kartini, Lantip Kuswala Daya dan I Made Djimat, dimana Mimi Rasinah, maestro topeng Indramayu juga hadir untuk menerima bantuan bagi pengobatannya. Kini di tahun kedua, The Mask kembali hadir dengan menampilkan tradisi topeng yang berbeda.

 

Tentang Topeng Langka yang Ditarikan :

1. TOPENG HUDOQ KALIMANTAN TIMUR

Menurut antropolog J.U. Lontaan, suku Dayak terdiri dari 6 kelompok besar ; Kenyah-Kayan-Bahau. Ot Danum, Iban, Murut, Klemantan dan Punan. Kelompok besar ini kemudian terbagi-bagi lagi menjadi 405 sub-etnis yang tersebar di hutan Kalimantan. Dari generasi ke generasi, kearifan lokal masyarakat suku Dayak memelihara keselarasan dengan alam. Namun deforestasi serta imigrasi secara tak terelakkan telah mengubah bagaimana mereka hidup. Tak mengejutkan bila pertunjukan ritual yang unik seperti seni topeng, sudah mulai sulit ditemukan. Tari topeng hudoq  ini biasanya ditarikan untuk mengawali  musim tanam padi, bersih desa dan merayakan panen, ditarikan terutama oleh 3 sub-etnis Dayak yaitu : Dayak Kenyah, Dayak Modang dan Dayak Bahau – sebagai persembahan bagi pencipta alam semesta.

 

Hudoq Dayak Modang

Penari hudoq Modang menggunakan topeng kayu yang diukir dengan citra binatang-binatang buas dan hama, dimana badan penari ditutupi seluruhnya oleh lembaran-lembaran daun pisang serta penutup kepala berbulu. Ritual ini biasanya dibawakan oleh 11 penari dengan beragam topeng yang menggambarkan berbagai binatang hama. Setelah dibuka oleh seorang pawang, para penari topeng mulai menari mengikuti irama sampe' sekaligus menciptakan musik melalui tubuh mereka. Hentakan kaki dan tangan mendominasi gerakan tari. Kostum yang terdiri dari lembaran dedaunan juga menghasilkan efek suara yang menambah magis tarian topeng ini. Pada tahap ini, para penari sudah siap menjadi medium untuk mengusir roh-roh jahat yang akan mengganggu masa tanam dan hasil panen mereka. Di akhir ritual, penari bertopeng manusia muncul untuk mengusir penari lainnya, sebagai perlambang dari enyahnya binatang pengganggu dan hama yang jahat.

 

Hudoq Kita' Dayak Kenyah

Hudoq Kita' yang biasa ditarikan oleh suku Dayak Kenyah juga berhubungan dengan siklus tanam padi. Berbeda dengan Dayak Modang, kostum yang digunakan oleh suku Kenyah adalah baju lengan panjang, lengkap dengan sarung dan topeng. Topeng yang melambangkan manusia terbuat dari kayu dengan ukiran pilin. Karena ukurannya sedemikian besar dan tak mungkin dipasang di kepala, maka topeng tersebut dipegang did epan muka si penari. Meski ditarikan oleh penari pria, kedua topeng manusia ini menggambarkan sepasang manusia (laki-laki dan perempuan). Topeng lainnya adalah hudoq kita' yang berbentuk kotak menyelubungi kepala penari, terbuat dengan manik-manik yang penuh. Hudoq kita' ini menggambarkan dewi padi yang akan memberikan kesuburan bagi tanah tempat mereka hidup dan menanam padi. Hudoq kita' biasanya ditarikan di dalam lamin (rumah tradisional lamin yang berbentuk panjang), atau di teras.

 

 

2. TOPENG PRIANGAN

Karya tarinya, Topeng Priangan, bersumber dari Topeng Cirebon gaya Palimanan yang penyebarannya ke wilayah Priangan dilakukan oleh dalang (penari) Topeng Wentar serta putri-putrinya yaitu Ami, Dasih, dan Suji. Dari catatannya diperoleh keterangan bahwa Nugraha, mulai memperdalam Topeng Cirebon pada 9 September 1959 bersama Enoch Atmadibrata dan Soosman kerabat dekat R. Sambas Wirakusumah yang pernah belajar Topeng Cirebon kepada Wentar.

 

R. Sambas Wirakusumah sangat berperan bagi Nugraha di dalam mewujudkan Tari Topeng Priangan. Beberapa pesan diberikan antara lain berbunyi: "Kang putra, ari ngaleueut cai Cimanuk the, kedah disaring heula" [ ananda, kalau minum air Cimanuk harus disaring terlebih dahulu]. Cimanuk sebagai ganti budaya Cirebon yang pasti memiliki perbedaan dengan budaya Priangan. Oleh sebab itu Wirakusumah menegaskan kembali: "ngan soal Topeng, tetep kudu disundakeun, Sunda oge boga tari Topeng, saurna. Topeng Cirebon keur urang Cirebon, basa na oge beda jeung Sunda. Pilih gerakan anu pantes keur urang Sunda, oge laguna". Lagu Sunda teu kurang. [ terutama soal Topeng, tetap harus disundakan. Orang Sunda punya Tari Topeng, katanya. Topeng Cirebon untuk orang Cirebon, bahasanya juga berbeda dengan bahasa Sunda. Pilihlah gerakan yang pantas untuk orang Sunda, juga lagunya. Lagu Sunda tidak kurang (banyak). 

 

Tari Topeng Priangan karya Nugraha, merupakan reinterpretasi, improvisasi, modifikasi atau inovasi serta seleksi terhadap Topeng Cirebon sehingga terjadi transformasi budaya meliputi aspek gerak, tata busana, iringan, dan konsep estetik yang digunakannya, yang menurut Nugraha: "merubah yang kurang pantas di alam Parahiyangan disesuaikan dengan 'kabeuki' (kesukaan atau selera) Sunda. Karena karakter budaya Cirebon besar kemungkinannya mempengaruhi gaya tari – gerakan tari ada yang baik dan menguntungkan, ada pula yang sedikit merugikan. Misalnya gerakan kalau di Bandung biasa dilakukan oleh Longser dengan istilah populer 'domba nini kencar-kencarkeun, domba nini batu jajar' – hanya untuk ditertawakan. Kecuali kalau dengan pidato dalang dalam ngabodor, jika ada permintaan penanggap. Termasuk penyingkatan waktu penyajian dari 90 menit menjadi 12, 7, bahkan 5 menit sesuai kebutuhan pentas". Dalam kurun waktu yang relatif singkat, antara tahun 1960 sampai dengan 1963, Nugraha menghasilkan Tari Topeng Klana, Tumenggung, dan Kencana Wungu. Karyanya tersebut terus menerus disempurnakan disesuaikan dengan kebutuhan sehingga lahir Tari Topeng Tiga Watak sekitar tahun 1968. Sebuah tarian yang menampilkan tiga karakter kedok / topeng yaitu Pamindo, Patih dan Klana yang dibawakan oleh seorang penari sebagaimana kebiasaan dalang (penari) Topeng Cirebon. Kemudian berkembang menjadi tarian bertema yang menceritakan tentang Prabu Menakjingga jatuh cinta dan tergila-gila kepada Ratu Kencana Wungu. Akhirnya Kencana Wungu  terbebas dari kejaran sang Prabu berkat pertolongan Patih Logender. Tarian ini dibawakan oleh 3 orang penari yang berperan sebagai Ratu Kencana Wungu, Patih Logender, dan Prabu Menakjingga.

 

Pengembangan juga terjadi pada busana tari Ratu Kencana Wungu yang tidak mengenakan celana sontog serta baju kutung lagi, tetapi berbusana sinjang, apok, mongkrong yang menyatu dengan tutup dada, soder, serta makuta Binokasih susun tiga. Melalui tari Topeng Tiga Watak ini, Nugraha memperoleh kesempatan mengajar tari dan musik di Center for World Music and Dance Berkeley California tahun 1974 s.d 1975. Kini, Tari Topeng Priangan karya R. Nugraha Soediredja merupakan materi wajib perkuliahan praktek tari di beberapa lembaga pendidikan seni formal maupun sanggar-sanggar.

__._,_.___
blog: http://artculture-indonesia.blogspot.com

-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
.

__,_._,___

No comments:

Post a Comment