Wednesday, December 9, 2009

[ac-i] Jadwal Pemutaran Film "Balibo" di Salihara

 

http://www.facebook.com/event.php?eid=222080346971&ref=mf

Pemutaran Film dan Diskusi
BALIBO
Sutradara: Robert Connoly
Jumat 11 Desember 2009; 17.00 dan 20.00 WIB (dua kali pemutaran, dan dibatasi 60 orang, serta gratis)
Serambi Salihara

Balibo sebuah film mengenai kematian 5 jurnalis asal Australia dan New Zealand juga seorang wartawan senior Australia yang tengah melakukan investigasi. Keenam wartawan tersebut diduga dibunuh oleh tentara Indonesia di Balibo, Timor Leste. Kejadian pada 1975 tersebut direkonstruksi oleh Robert Connoly, sutradara asal Australia,menjadi sebuah karya film yang menuai kontroversi dan polemik di Indonesia. Secara resmi film ini dilarang oleh Lembaga Sensor Film (LSF) pada 3 September 2009 dengan alasan mendeskriditkan militer Indonesia. Berpedoman pada Kebebasan Berekspresi maka AJI Indonesia dan KBR 68H memutuskan untuk memutar film.

Kegiatan ini diselenggarakan oleh AJI Indonesia dan KBR68H bekerjasama dengan Komunitas Salihara.

Untuk pemesanan tanda-masuk, silakan hubungi Melan di melan@salihara.org atau Dita di riaudita@yahoo.co.id atau Carla di 0817-077-1913

Bagi yang akan menonton diharapkan membawa uang koin untuk Prita. Salihara menyediakan kotak dana yang akan diserahkan kepada Prita batas akhir 14 Desember 2009.

-------------------------------

Balibo Antara Film dan Realita

Larangan pemutaran film Balibo menyegarkan ingatan tentang tewasnya lima wartawan asing di Timor Timur, 1975. Seorang saksi pelaku, mantan perwira Komando Pasukan Sandi Yudha, menilai unsur dramatisasi tak terelakkan. Sebuah film fiksi—memberikan imaji visual akan militer yang brutal.

DENGAN celana denim hitam dan kaus biru pudar, hampir tak ada yang mengenali pria 62 tahun berperawakan kecil itu. Wajahnya mulai berkeriput, rambutnya menipis dan beruban. Dengan santai, dia duduk berselonjor di pojok ruang Teater Utan Kayu, Jakarta Timur, Kamis akhir pekan lalu, menanti dimulainya pemutaran film Balibo, yang mengisahkan kematian lima wartawan Australia di Timor Timur pada Oktober 1975.

Dia Kolonel (Purn.) Gatot Purwanto, mantan perwira Komando Pasukan Sandi Yudha (kini Kopassus), yang pernah bertugas lama di Timor Timur (kini Timor Leste). Posisi terakhirnya adalah Asisten Intelijen Komando Pelaksana Operasi di Timor Timur. Dia kehilangan jabatannya tatkala insiden Santa Cruz, Dili, meletus pada November 1991. Tak hanya kehilangan jabatan, dia juga diberhentikan dari dinas militer. Kepada Tempo, petang itu, dia mengaku ditegur koleganya saat berencana menonton Balibo. "Buat apa saksi pelaku menonton film tentang peristiwa yang dialaminya sendiri?" katanya sambil terkekeh.

Gatot memang ada di Balibo 34 tahun silam. Dengan sandi Tim Susi, dia dan puluhan tentara Indonesia masuk ke perbatasan Timor Portugis, menjelang invasi Indonesia ke bekas daerah koloni Portugis itu. "Saya waktu itu letnan satu, baru tiga tahun selesai pendidikan," katanya. Komandan tim adalah Mayor Jenderal (Purn.) Yunus Yosfiah. "Kami membantu partisan dari UDT dan Apodeti," katanya. UDT dan Apodeti adalah dua partai di Timor yang waktu itu pro-Indonesia. Bersama mereka ada sekitar seratus milisi prointegrasi.

Ketika film dimulai, Gatot dengan cepat mengenali lokasi-lokasi yang menjadi latar film. "Itu bekas gedung Departemen Keuangan," katanya di adegan pembukaan. Gatot yang fasih berbahasa Tetum juga bisa memahami percakapan dengan bahasa lokal Timor itu. Kepalanya langsung menggeleng-geleng ketika film masuk ke adegan soal ideologi Fretilin, partai kiri yang ingin Timor merdeka. "Mereka itu komunis," katanya yakin. Saat adegan aktor utama film itu ditembaki di hutan oleh helikopter Indonesia, Gatot juga cepat-cepat menggeleng sambil bergumam, "Tidak benar itu."

Namun, ketika film memasuki adegan utama pembunuhan kelima wartawan kulit putih, Gatot melongo. Pandangannya lekat ke layar tanpa bergerak. Tatkala adegan beralih ke cerita pascapenembakan, dia masih tercenung lama. Baru ketika Tempo bertanya apakah memorinya saat itu serupa dengan penggambaran insiden di film, Gatot menoleh, "Tidak, tidak, tidak seperti itu." Dia menarik napas, suaranya berbisik pelan, "Tidak persis seperti itu."

l l l

Sayang, mereka tak sempat saling kenal. Padahal Gatot Purwanto dan reporter Greg Shackleton punya dua kesamaan ekstra selain huruf terdepan nama mereka: usia mereka sama-sama 27 pada 1975, manakala nasib mengantar mereka sama-sama ke Balibo.

Balibo adalah kota kecil di Distrik Bobonaro. Jaraknya hanya sekitar 10 kilometer dari perbatasan dengan Timor Barat, wilayah Indonesia. Sebuah reruntuhan benteng Portugis berusia lebih dari 400 tahun masih berdiri di atas bukit yang menghadap ke pantai. Gatot mengaku pasukannya menangkap dan menembak Greg serta empat rekannya yang lain: perekam suara Tony Stewart, 21 tahun (asal Australia, seperti halnya Greg); Gary Cunningham (27), asal Selandia Baru, dari Channel 7; serta Brian Peters (29) dan Malcolm Rennie (28), asal Inggris, dari Channel 9.

Film Balibo, menurut Gatot, terlalu didramatisasi. Meski kemudian ia mengakui anggota operasi terlibat dalam upaya menghilangkan jasad para wartawan itu. Caranya? Membakarnya dengan sekam agar baranya lama. "Sampai hancur betul-betul habis (jasadnya), sampai dua hari," katanya.

Film Balibo memotret eskalasi politik yang panas menjelang invasi dan detik-detik tewasnya kelima wartawan itu. Sutradara dan penulis naskahnya Robert Connolly, sineas asal Australia. Sedianya film ini akan ditayangkan di Jakarta International Film Festival, akhir pekan lalu. Tapi Lembaga Sensor Film (LSF) keburu melarangnya. Alasan Direktur LSF Mukhlis Paeni, "Berpotensi mengorek luka lama."

"Luka lama" itu tidak datang dari selatan. Peristiwa Balibo telah tiga dekade bolak-balik diperbincangkan Jakarta dan Canberra. Tapi, sesungguhnya, kedua negara seia sekata. Pemerintah Australia membenarkan versi pemerintah Indonesia yang mengatakan kelima orang itu tewas dalam baku tembak. "Isi film itu tidak menyuarakan pemerintah Australia," kata Jenny Dee, Atase Pers Kedutaan Australia di Jakarta.

Yang tak seia sekata adalah keluarga, kerabat, dan pemerhati hak asasi manusia yang menuntut keadilan. Mereka percaya, kelimanya tewas dieksekusi militer Indonesia, seperti halnya Roger East, wartawan Australia lain yang hilang dan diduga tewas ditembak pada hari pertama invasi, 7 Desember 1975, di pelabuhan Dili. Mereka ingin pelakunya dibawa ke meja hijau. Selama 34 tahun kasus ini timbul-tenggelam dalam politik Australia. Para pemerhati hak asasi menuding, baik Partai Buruh maupun Konservatif mendukung invasi—serupa dengan Amerika dan Inggris—demi mencegah komunisme.

Bisa jadi "luka lama" yang dimaksud Mukhlis itu justru publik di dalam negeri. Banyak adegan film ini menyegarkan lagi ingatan kita akan pelanggaran hak asasi oleh militer Indonesia. Ikon familiar begitu buncah: baret merah, loreng hijau, senjata AK-47. Ada pula wajah aktor yang memerankan figur militer asli, seperti Benny Moerdani dan Kolonel Dading Kalbuadi (keduanya sudah mendiang kini). Dan yang mengerikan adalah perilaku para penyandang ikon itu dalam film: rentetan tembakan ke rakyat sipil, eksekusi di muka umum, serta wajah anak-anak dan perempuan menangis ketakutan.

l l l

Lembaga Sensor Film mengundang Sutiyoso dua hari setelah pelarangan untuk menonton Balibo, setelah kesulitan menghubungi Yunus. Mantan Gubernur DKI Jakarta ini serdadu Kopassandha dalam operasi yang sama dengan Gatot. Menurut dia, operasi intelijen bertajuk Flamboyan itu bertujuan membantu milisi prointegrasi membersihkan daerahnya dari "musuh", yakni milisi Fretilin. "Ini seperti masuk kandang singa, operasi one-way ticket. Kami bahkan tidak pamit kepada keluarga," katanya kepada Tempo, Sabtu pagi.

Untuk operasi itu, Kopassandha membentuk tiga tim, masing-masing berisi sekitar 50 serdadu khusus. Angkatan 1965 memimpin, wakilnya dari angkatan 1968. Ketiga tim dijuluki dengan nama-nama perempuan: Susi, Tuti, dan Umi. Sutiyoso membenarkan pemimpin Tim Susi adalah Yunus Yosfiah, kala itu berpangkat kapten. Wakilnya Sunarto. Tim Tuti dipimpin Mayor Tarub, dengan wakil Agus Salim Lubis. Sunarto dan Agus Salim kini sudah wafat. Adapun Tim Umi dipimpin Mayor Sofyan Effendi dengan Sutiyoso sebagai wakilnya. "Gatot ada di Tim Susi," katanya.

Dengan pusat komando di Motaain, mereka hilir-mudik di wilayah perbatasan. Semua berpakaian sipil: rambut gondrong, kemeja lekat di tubuh laiknya era itu, dan celana pipa lebar atau denim. Dading, pemimpin operasi (dalam film dilukiskan sebagai penarik picu senjata pertama yang menewaskan para jurnalis), digambarkan menggunakan scarf di lehernya dan bertopi koboi. Semua menggunakan nama samaran. "Nama saya Kapten Manix, seperti dalam film," Sutiyoso tertawa.

Tim Umi kemudian merebut Batugade lewat tembak-menembak dengan kapal Fretilin. Tapi tak seperti biasanya, komando Mayor Jenderal Benny Moerdani minta mereka bertahan di kota pantai yang berjarak sekitar 40 kilometer dari Motaain itu. "Ini aneh. Tak biasanya Kopassandha begitu. Ciri khas kami hit and run," katanya. Susah payah mereka bertahan karena hanya bermodalkan senjata serbu. Sebulan setelahnya, baru ia mendengar Tim Susi bergerak ke Balibo dan Tim Tuti ke Maliana.

"Penembakan wartawan itu terjadi ketika Tim Susi masuk," kata Sutiyoso. Saat itu komunikasi memang belum lancar, tapi sesama anggota tim saling berkunjung. Jadi semua yang terlibat mengetahui berita tentang matinya kelima wartawan itu. "Di pertempuran itu, orang tidak tahu siapa, apa bule atau Jawa. Hanya membunuh atau dibunuh," katanya.

Di sisi lain, sutradara Balibo, Roger Connolly, telah menggunakan jasa sejarawan Dr Clinton Fernandez dari Akademi Pertahanan Australia di Universitas New South Wales untuk memandu konteks sejarahnya. Dan dari setumpuk dokumen Timor Timur, Australia, Inggris, Amerika, sampai Portugal (tak ada dari Indonesia), Fernandez menyimpulkan: "Militer Indonesia terlibat dalam upaya teror dan destabilisasi yang kemudian disalahkan kepada kelompok prokemerdekaan. Berikutnya mereka tinggal masuk sebagai penjaga ketertiban," katanya dalam situs resmi film Balibo.

Sumber yang digunakan Connolly untuk mendeskripsikan detik-detik pengepungan dan penangkapan di Balibo berasal dari penyidikan jaksa di pengadilan koroner New South Wales pada Februari 2007. Bisa diunduh dari Internet, ada lebih dari setengah lusin saksi mengungkapkan kesaksian yang detail, termasuk peran Yunus dalam mengakhiri nasib kelima wartawan itu. Yunus, yang dihubungi Tempo, tak bersedia memperbarui keterangan. Melalui pesan pendek telepon seluler putranya, ia bertanya balik bagaimana andai ada tokoh bangsa ini yang dizalimi bangsa lain. "Kalau masalahnya masih itu-itu saja, jawaban Pak Yunus masih sama." Mantan Menteri Penerangan 1999 ini memang telah berkali-kali menyatakan tak terlibat dalam pembunuhan itu.

Menurut laporan itu, milisi Fretilin yang tewas dalam baku tembak di Balibo hanya satu-dua orang, serupa dengan korban di pihak prointegrasi. Tapi yang menjadi buah bibir hari itu adalah kematian para jurnalis, yang kemudian tertuang dalam Balibo.

Kesaksian ini berbeda jauh dari peristiwa yang dicatat wartawan TVRI, Hendro Subroto, yang ke lokasi beberapa jam setelah peristiwa. Menurut Hendro dalam buku Eyewitness to Integration of East Timor, ada 17 orang tewas dalam pertempuran di Balibo. Lima belas dari mereka ditemukan dalam kondisi terbakar di markas Fretilin yang diserbu mortir. "Empat di antara 15 adalah orang kulit putih. Dua jasad lagi ditemukan di hutan, salah satunya kulit putih," ia menulis, berdasarkan laporan bersama milisi prointegrasi. Yang menarik, saksi yang mengungkapkan soal 17 korban itu juga menjadi saksi dalam laporan jaksa pengadilan koroner. Namun ia mengaku berbohong memberikan kesaksian palsu dan mencabutnya mentah-mentah.

Kembali ke "khitah"-nya sebagai fiksi, Balibo pun mengandung banyak rekaan. Jangan lupa, Balibo tak pernah disebut sebagai film dokumenter. Film ini tidak steril dari adegan fiktif. Di dalamnya banyak tokoh atau peristiwa rekaan, seperti sosok Juliana, yang diambil dari kesaksian warga Timor Timur akan pelanggaran hak asasi manusia pada hari pertama invasi. Ada pula ihwal perkelahian Roger East dan Ramos Horta di kolam renang yang tak pernah terjadi.

Namun LSF tak mempermasalahkan detail apakah film ini mendekati realita atau tidak. Yang penting, kata Ketua Komisi Evaluasi dan Sosialisasi Djamalul Abidin, LSF boleh menyensor atas asas politik dan ideologi. Dengan kata lain, tak perlu menggunting-gunting bagian keji, tapi atas nama politik dan ideologi, pembabatan seluruh film bisa terjadi. Seperti Sutiyoso yang tegas-tegas menolak film itu diputar karena menjelek-jelekkan Tentara Nasional Indonesia. "TNI tak seperti itu. TNI Pancasilais," katanya.

Pada masa itu, ini film atau realita?

Kurie Suditomo, Wahyu Dhyatmika, Nieke Indrietta, Martha Warta Silaban, Sutarto, Suryani Ika Sari (Jakarta)

-----

Gatot Purwanto:

Kami Saat Itu Serba Salah

TIMOR Leste dan Kolonel (Purnawirawan) Gatot Purwanto, 62 tahun, adalah dua cerita yang berkelindan. Mantan perwira Komando Pasukan Khusus ini bisa dikatakan selalu ada dalam rangkaian peristiwa berdarah di bekas provinsi ke-27 Indonesia itu. Sejak awal karier kemiliterannya, Gatot sudah bersentuhan dengan Bumi Loro Sae. Tragisnya, pengabdiannya pun berakhir di sana.

Pada awal invasi Indonesia ke Timor Timur pada 1974-1975, Gatot bolak-balik masuk Timor Portugis, menyamar sebagai penjual bahan makanan. Wajahnya yang mirip peranakan Tionghoa, perawakannya yang ramping, dan pembawaannya yang menyenangkan, membuatnya mudah menyelinap ke mana saja. "Saya dipanggil Aseng di sana," katanya tertawa.

Di dalam wilayah Timor, dia wira-wiri menjalin kontak dengan kekuatan politik lokal dan mengumpulkan informasi intelijen. Dia satu-satunya perwira Indonesia yang bisa masuk ke sarang Fretilin di dalam hutan, dan berbicara langsung dengan pemimpin gerilyawan Xanana Gusmao.

Peristiwa Santa Cruz, 12 November 1991, mengakhiri kariernya yang cemerlang. Sebagai Asisten Intelijen Komando Pelaksana Operasi (Kolakops) Timor Timur, dia dinilai turut bertanggung jawab atas kegagalan militer mengantisipasi demonstrasi yang berubah rusuh kala itu. Tentara Indonesia dituduh menembak massa dengan membabi buta, menewaskan lebih dari seratus orang. Gara-gara insiden itu, Gatot diberhentikan dari dinas militer.

Salah satu peristiwa berdarah yang membekas di ingatannya adalah penyerbuan Balibo. Gatot, yang berpangkat letnan satu ketika itu, menyaksikan bagaimana lima jurnalis dari Channel 7 dan Channel 9: Greg Shackleton, Tony Stewart, Gary Cunningham, Brian Peters, dan Malcolm Rennie, ditangkap dan ditembak.

Kelima wartawan itu tengah meliput penyerbuan pasukan gabungan UDT dan Apodeti—dua partai rival Fretilin saat itu—yang dibantu tentara Indonesia, ke Balibo, pada Oktober 1975. "Nasib saya kok selalu terlibat dalam peristiwa berdarah di Timor Timur," kata Gatot, setengah menyesal.

Akhir pekan lalu, setelah menonton film Balibo karya sutradara Robert Connoly, di Teater Utan Kayu, Jakarta Timur, Gatot memberikan kesaksiannya tentang peristiwa itu kepada Arif Zulkifli, Wahyu Dyatmika, Sunudyantoro, Yophiandi, dan Agus Supriyanto dari Tempo.

Anda ada di Balibo tatkala kelima wartawan Australia tewas tertembak. Apa yang terjadi?

Pertempuran saat itu belum selesai. Memang sudah agak mereda, tapi masih ada tembakan sesekali. Di pinggiran Kota Balibo, dekat gereja, sedikit di atas bukit, ada rumah-rumah gubuk. Kami menembak ke arah itu, karena memang ada tembakan dari sana. Saat makin mendekat ke arah rumah, kami temukan kelima orang ini di salah satu rumah. Jadi, ketika tertangkap, mereka belum mati.

Lalu apa yang dilakukan pasukan?

Saya masih agak di bawah (bukit), dekat dengan Pak Yunus (Mayjen Purn. Yunus Yosfiah, saat itu kapten, komandan tim). Kami dilapori ada orang asing tertangkap. Pak Yunus memerintahkan saya untuk melapor ke Pak Dading (Letjen Purn. Dading Kalbuadi, saat itu komandan), yang ada di perbatasan. Kalau tak salah, Pak Dading lalu mengontak Jakarta, menanyakan orang-orang ini mau diapakan.

Jadi, tidak benar kelima wartawan itu terbunuh dalam kontak senjata antara pasukan TNI dan Fretilin?

Waktu pertama kali tertangkap, mereka masih hidup. Kami kepung, lalu kami todongkan senjata. Saya melihat itu dari jarak sekitar 30 meter di bawah bukit. Mereka memang ada di (rumah) persembunyian, dan membuat film dari ketinggian situ. Sesekali ada tembakan dari arah situ juga. Sehingga kami mengarah ke sana dan mengepung rumah itu.

Apa yang kemudian terjadi?

Situasi serba salah. Kalau ditangkap, nanti ketahuan yang menangkap tentara Indonesia. Kalau mau dieksekusi, juga bagaimana. Pada saat itulah, ketika tentara kita sudah santai, sudah duduk-duduk, mendadak ada tembakan lagi dari arah dekat situ. Mungkin ada yang mau menyelamatkan mereka (lima wartawan itu). Anggota kita langsung memberondong ke sana... pada mati semua itu wartawan.

Kapan tepatnya penembakan terjadi?

Kami masuk Balibo ketika sudah mau fajar, subuh. Tapi, saat kejadian, sudah agak siang, mungkin pukul 10-11 pagi.

Ketika penembakan terjadi, apa ada perintah dari Yunus Yosfiah atau Dading Kalbuadi?

Belum. Dari komandan tim, Pak Yunus, belum ada perintah untuk membunuh atau diapakan mereka. Pak Dading masih menunggu petunjuk dari Jakarta. Komunikasi saat itu kan butuh waktu cukup lama. Jadi penembakan terjadi setelah kami terpancing, akibat ada provokasi tembakan dari arah rumah tempat mereka bersembunyi.

Apakah ada proses identifikasi terhadap kelima wartawan? Ditanya namanya siapa, dan seterusnya….

Tidak. Karena mereka tak ada yang bisa berbahasa Indonesia, sementara pasukan di lapangan juga tak bisa berbahasa Inggris.

Tapi tentara tahu atau tidak bahwa mereka wartawan?

Sepatutnya tahu. Karena mereka membawa kamera dan peralatan lain. Dari jarak dekat, seharusnya semua itu terlihat. Penembakan terjadi dari jarak kira-kira 15 meter.

Sebelum masuk Balibo, apakah pasukan tahu di kota itu ada lima wartawan asing?

Tidak tahu. Makanya kami jadi bingung saat mereka tertangkap. Mereka ini mau diapain.

Lalu apa yang terjadi setelah penembakan?

Pak Dading datang ke lokasi. Lalu ada wartawan TVRI, Hendro Subroto. Pak Dading bicara dengan komandan saya, Pak Yunus.

Bagaimana suasana pasukan saat itu? Apakah pelaku penembakan ini dipersalahkan karena bertindak tanpa perintah atau bagaimana?

Mungkin suasananya serba salah bagi kami. Kalau mereka tetap kami tahan, tidak dieksekusi, begitu keluar, mereka bisa berteriak, "Betul itu, yang menangkap saya orang Indonesia." Itu bisa jadi bukti. Maka mungkin sulit membuat keputusan saat itu. Mungkin, saat itu, dari atas dinilai itu (penembakan) jalan terbaik. Saya tidak tahu persis. Kalau tak dieksekusi, mereka bisa memberikan kesaksian bahwa betul ada invasi tentara Indonesia.

Jadi penembakan itu sebuah keputusan rasional?

Iya.... Tapi juga ada provokasi berupa tembakan-tembakan.

Tembakan-tembakan itu menambah tekanan pada pasukan di lapangan untuk mengambil keputusan dengan cepat?

Iya. Apalagi belakangan ada sepucuk senjata Thompson yang ditemukan di rumah itu. Tergeletak di antara mereka (kelima wartawan).

Lalu apa yang dilakukan selanjutnya?

Jenazah kelima wartawan ini dibawa ke rumah Cina di dalam Kota Balibo, sekitar 300 meter dari lokasi penembakan. Lokasinya agak masuk ke kota. Rumahnya terbuka begitu. Kemudian di sana, jenazah dibakar dengan sekam, bekas gabah.

Kenapa harus pakai sekam?

Iya, karena baranya lama. Jadi dibakar sampai hancur dan betul-betul habis (jenazahnya). Itu perlu dua hari. Ada pakai kayu bakar juga.

Mengapa jenazah harus dibakar? Bukannya itu malah menambah kesan pasukan berusaha menutupi jejak penembakan?

Karena memang serba salah saat itu. Kami menjaga agar keterlibatan tentara Indonesia ketika itu jangan sampai terbuka. Karena itu, kami masuk tak berpakaian seragam, secara tertutup, preman. Makanya mungkin pernah dengar, ada yang namanya pasukan blue jeans. Rambut kami gondrong, panjang-panjang.

Siapa yang memerintahkan dibakar?

Yah, memang ada keputusan dari ini… (bergumam tidak jelas). Saya tak tahu persis, saya cuma perwira muda waktu itu. Tapi posisi kami serba salah. Kalau dibiarkan hidup, mereka akan bilang ini invasi Indonesia. Kalau mati dan dibiarkan, akan ada bukti kalau mereka tertembak di wilayah yang dikuasai gerilyawan Indonesia. Untuk gampangnya, kita hilangkan saja. Kita bilang kita tak tahu apa-apa. Itu reaksi spontan saat itu.

Selain pasukan TNI, siapa lagi yang ada di Balibo saat itu?

Yang masuk saat itu bukan cuma Tim Susi (tim perintis), tapi sudah gabungan dengan partisan Apodeti dan UDT yang pro-Indonesia. Ada tokoh Apodeti, Thomas Gonzalves; dan tokoh dari UDT, Joan Tabarez. Perbandingan jumlah kami dengan Apodeti dan UDT waktu itu sekitar satu banding dua. Kami berlima puluh, mereka seratusan.

Pada saat penyerbuan, ada bantuan dari kapal perang Indonesia?

Saya kira ada, memang saat kita masuk Balibo, kami dibantu tembakan dari kapal kita di laut.

Mengapa Balibo yang diserbu pertama kali?

Balibo bukan yang pertama. Kami sudah masuk cukup jauh ketika itu, tapi kami sesekali terdesak mundur lagi, lari ke Haikesak (desa kecil di dekat perbatasan dengan Indonesia), mundur ke Atambua. Setelah mendapat perkuatan dari UDT dan Apodeti, kami masuk lagi. Pasukan sudah dipersiapkan pada akhir 1974. Seharusnya saat itu kami sudah masuk sampai Dili, menyiapkan dropping zone dan penunjang lain untuk penyerbuan pasukan besar. Misalnya menanam amunisi di daerah tertentu.

Bagaimana situasi Kota Balibo ketika Anda masuk?

Balibo itu kota kecil, dengan beberapa bangunan sederhana. Ada empat-lima rumah batu, tapi yang besar cuma satu itu saja: tokonya orang Cina. Ada juga rumah untuk pusat layanan kesehatan. Di banyak daerah perbatasan dengan Indonesia, di Timor bagian barat, seperti Balibo dan desa-desa di dekatnya, sebetulnya ada lebih banyak simpatisan Apodeti. Orang-orangnya lebih pro-Indonesia. Lain dengan ujung timur sana, yang memang tak terjamah pasukan kita dan dikuasai Fretilin.

Ketika bertugas di Timor Timur, kabarnya Anda menjalin hubungan dekat dengan Xanana Gusmao?

Saya mulai mendekati Xanana setelah operasi pagar betis yang dilakukan pada zaman Pak Sahala (Letjen Purnawirawan Adolf Sahala Rajagukguk, terakhir Wakil Kepala Staf TNI AD) pada 1981. Setelah operasi itu, TNI yakin Fretilin sudah porak-poranda dan dilaporkan sudah hancur. Akhirnya semua anggota pasukan Kopassus TNI ditarik dari Timor, disisakan hanya dua kompi, hanya Nanggala 51 dan 52.

Setelah pasukan Indonesia ditarik, mereka melakukan konsolidasi dan menyerang lagi. Saya nungging terus setiap malam. Saya lalu berpikir, kalau tiarap terus begini bagaimana. Akhirnya saya membuka kontak komunikasi dengan Xanana. Dia menyambut. Buat Xanana juga, mungkin ada baiknya, karena saat itu dia sudah mulai memikirkan jika penyelesaian perang ini bisa dengan jalan politik, kenapa tidak. Itu pada 1982-1983.

Apa yang dikatakan Xanana?

Awalnya dia formal sekali. Kami berbicara dalam bahasa Tetum. Dia selalu menekankan kepada saya: Indonesia tak akan kuat mendanai perang di Timor terus-menerus.

Hubungan itu berlanjut?

Ya, kami cukup dekat sampai sekarang. Kami sering kontak-kontakan. Sejak di hutan, saya satu-satunya perwira Kopassus yang bisa bertemu dia. Jadi sekarang, kalau Timor membutuhkan alat intelijen, saya bantu. Pernah sekali, Xanana minta bantuan saya untuk mensterilkan ruang kerjanya.

Beralih ke film Balibo. Apa kesan Anda setelah menyaksikannya?

Dari awal sampai tengah-tengah (alur film) sebenarnya cukup berimbang. Film itu juga menyalahkan pemerintah Australia, Amerika Serikat, dan Inggris, yang merestui perang di Timor itu. Tapi kejadian-kejadian intinya, seputar penembakan kelima wartawan ini, terlalu didramatisasi, dibumbui. Tak ada yang disiksa. Adegan penyerbuan TNI yang masuk ke Dili juga tak seheboh itu.

Bagaimana pendapat Anda tentang tuntutan mengungkap dan mengadili pelaku kasus Balibo?

Apakah tidak sudah terlalu lama? Pelakunya pun sudah uzur semua. Apalagi sekarang persoalannya bukan dengan Timor Leste.

Anda termasuk yang menentang referendum di Timor Leste?

Saya pikir itu keputusan yang tergesa-gesa.

Apakah Anda merasa proses integrasi Timor Timur 1975-1999 adalah ikhtiar yang sia-sia?

Begini: pada saat itu, komunis sedang kuat-kuatnya di Portugal. Semua daerah jajahannya, yang mau dilepaskan, juga ada pengaruh komunis yang kuat. Maka tak terlalu salah kalau Australia, Amerika Serikat, pada saat itu ngojok-ngojokin (mendorong) Indonesia untuk mengambil alih. Saat itu juga ada konteks Perang Dingin.

Tapi Indonesia memang gagal memenangkan hati rakyat di sana?

Ketika itu Timor Timur adalah tempat buangan orang-orang birokrat yang dianggap tak becus. Sampai di Timor, tanpa ada pengawasan, para kepala kantor wilayah ini malah menjadi raja-raja kecil. Soal rekrutmen, mereka nepotis: tak mau ambil penduduk setempat, dan memilih mempekerjakan sanak saudaranya dari Jawa.

Majalah Tempo, 42/XXXVIII 07 Desember 2009

--------------------

Budaya

Balibo dan LSF

Eric Sasono, kritikus film

Film Balibo memang film yang kontroversial. Film itu--meminjam kalimat dari redaktur rumahfilm.org, Ifan Adriansyah Ismail--"menggambarkan Indonesia sebagai monster tak berwajah yang kejam". Kelima orang wartawan yang dijuluki Balibo Five dalam film ini digambarkan jelas-jelas dieksekusi oleh tentara Indonesia yang menyamar sebagai orang sipil.

Salah satu pelakunya digambarkan mirip dengan seorang tokoh militer yang menjadi pemimpin Operasi Seroja. Sedangkan pembunuhan terhadap Roger East (Anthony Lapaglia), yang mencari tahu nasib kelima orang ini, dilakukan oleh orang yang digambarkan mirip dengan tokoh militer lainnya.

Namun, tak ada nama orang Indonesia dalam film itu, yang ada adalah karakter figuratif yang dalam plot film berfungsi semata-mata menjadikan para petinggi militer Indonesia "sebagai penjahat perang", sebagaimana gambaran tentara komunis dalam film-film Hollywood pada era Perang Dingin atau tentara Belanda dalam film Indonesia dulu.

Bisa jadi gambaran ini tak menyenangkan bagi militer di Indonesia kini. Namun, penggambaran Indonesia sebagai monster itu justru memperlihatkan kelemahan mendasar film ini. Balibo menyandarkan drama semata-mata dari posisi Indonesia sebagai monster. Sekalipun penggambaran film ini cukup detail, tak ada kedalaman dan dimensi dalam film ini.

Mengikuti pendapat Ifan Adriansyah ini, maka tampak bahwa film Balibo seharusnya diapresiasi seperti ini di acara Jiffest 2009, bukan dihindari. LSF seperti lupa bahwa Jiffest adalah sebuah festival yang memutar berbagai jenis film dengan penonton yang kenyang menonton berbagai jenis film dan punya sikap kritis terhadap apa yang mereka tonton.

Mereka adalah penonton khusus yang memahami film dengan baik. Maka dari sini tampak bahwa terhadap penonton khusus ini pun LSF tak percaya, apalagi pada penonton pada umumnya. Dengan sikap seperti ini, LSF bahkan luput dari peluang mengedukasi penonton dengan kontroversi dan malahan menghalangi kontroversi seakan penghalangan itu akan berhasil sepenuhnya.

Padahal, dengan pelarangan ini, LSF menciptakan Streisand effect. Streisand effect itu adalah sebuah usaha penyensoran informasi yang membuat informasi itu malahan tersebar lebih luas ketimbang apabila tidak disensor. Jika melihat jadwal yang dikeluarkan oleh panitia Jiffest, mungkin jumlah total penonton film ini hanya 482 orang apabila kapasitas bioskop penuh dalam dua pertunjukan (6 dan 10 Desember) yang direncanakan.

Ada interval waktu beberapa hari antara pelarangan lisan dengan penyampaian surat kepada panitia Jiffest yang membuat film ini dipertunjukkan di Teater Utan Kayu tanpa menunggu keputusan LSF menjadi final. Menonton film ini sempat menjadi sebuah gerakan untuk melawan LSF. Aliansi Jurnalis Independen juga akan memutar film ini secara terbatas di Kineforum dengan dihadiri oleh mantan komisioner KKP, Agus Wijoyo.

Dari sini, kita juga diingatkan bahwa LSF masih beroperasi di bawah paradigma lama. Lembaga Sensor Film ini masih beroperasi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1994 tentang Lembaga Sensor Film. PP ini bekerja berdasarkan prinsip pengendalian yang mengasumsikan peran LSF sebagai "pelindung masyarakat" dan "pemelihara tata nilai".

Maka tak mengherankan apabila keputusan yang diambil LSF dalam soal Balibo berdasarkan pandangan-pandangan bahwa masyarakat harus dilindungi karena ketidakmampuan mereka menilai sendiri apa yang mereka tonton. Padahal, seperti yang digambarkan Ifan dalam resensinya itu, tampak bahwa film Balibo "sama seperti film lainnya dalam Jiffest" bisa diapresiasi secara menarik dan membuka dialog baik tentang subyek film maupun tentang cara penyampaiannya.

Paradigma lama LSF ini bisa dilihat dalam alasan pelarangan pemutaran film Balibo dalam surat yang mereka sampaikan kepada panitia Jiffest 2009. Pertama, LSF menyebutkan bahwa peristiwa-peristiwa yang digambarkan dalam film Balibo didasarkan pada kesaksian lisan yang patut dipertanyakan. Kesaksian lisan ini kemudian difilmkan dengan sudut pandang yang subyektif.

Alasan kedua, LSF berpandangan bahwa pemerintah Indonesia telah membentuk Komisi Kebenaran dan Perdamaian (KKP) bersama Pemerintah Timor Leste dengan tujuan mencapai pemahaman bersama untuk meninggalkan masa lalu dan membangun kerja sama untuk masa depan yang lebih baik. Karena itu, LSF berpandangan bahwa film Balibo tak pantas dipertunjukkan karena mengandung muatan subyektif yang berpotensi membuka luka lama.

Berdasarkan dua pertimbangan itu, LSF menolak film itu untuk didistribusikan dan dipertunjukkan di wilayah Republik Indonesia.

Kedua alasan ini tampak menggambarkan kekeliruan LSF dalam memandang film (dan fiksi) pada umumnya. Film tentu bisa bersifat sangat subyektif dan hal itu tak perlu menjadi konsiderans apa pun (apalagi pelarangan) karena film tak berniat menyamai verifikasi fakta apatah lagi, fakta hukum.

Kesaksian lisan, bahkan mimpi pun (lihat mimpi Iwan Fals dicabut giginya dijadikan film dalam Kantata Takwa), sah dijadikan film yang berniat memprotes dan tak perlu jadi alasan pelarangan untuk diputar. Ketakutan terhadap subyektivitas dan opini semacam ini jelas warisan dari perilaku Orde Baru yang tak bisa menghadapi perdebatan dan kontroversi.

Alasan kedua, LSF seperti lupa bahwa kesepakatan politik tak akan bisa mengubah opini dan persepsi. Adanya persepsi belum selesainya peristiwa Balibo di Australia adalah sebuah fakta yang tak bisa dihindari. Jika persepsi itu kemudian berkembang menjadi film, hal itu juga tak terhindarkan.

Gantilah persepsi itu dengan persepsi mengenai (misalnya) sekelompok orang berlatar belakang lembaga tertentu sedang merancang plot untuk membunuh Munir di pesawat. Jika film semacam itu dibuat, apakah LSF juga akan melarangnya untuk diedarkan di Indonesia karena berpendapat sudah ada keputusan pengadilan untuk kasus tersebut?

LSF lupa bahwa film adalah lanjutan dari persepsi dan opini semacam ini, dan persoalan sesungguhnya terletak pada senjata yang meletus dan peluru yang melesat (atau para racun yang diletakkan di gelas), bukan pada film yang dibuat darinya.

Maka LSF memang sudah tak relevan. Pandangan bahwa sensor masih berguna untuk melindungi rakyat dan memelihara tata nilai justru memperlihatkan tidak produktifnya LSF. Alih-alih menyumbang sesuatu kepada persoalan bangsa yang belum selesai, LSF malah menambahinya dengan soal yang tak perlu. Sekalipun LSF bekerja mandiri dan Departemen Luar Negeri membantah anggapan adanya campur tangan terhadap pelarangan ini, persepsi baru sudah muncul akibat proses pelarangan ini.

Sikap pemerintah Indonesia memang sudah selesai, tapi apa yang terjadi di Balibo bisa jadi belum selesai, dan keputusan LSF ini akan turut menyeret kredibilitas pemerintah dalam menjalankan demokrasi di negeri ini. **

Koran Tempo, Edisi 07 Desember 2009


Selalu bersama teman-teman di Yahoo! Messenger
Tambahkan mereka dari email atau jaringan sosial Anda sekarang!

__._,_.___
blog: http://artculture-indonesia.blogspot.com

-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
.

__,_._,___

No comments:

Post a Comment