----- Original Message -----From: heruprasetya@jurnas.com Sent: Wednesday, December 02, 2009 3:20 PMSubject: Re: [ac-i] Re: Jaminan Kebebasan Beragama - Ketika Ciuman Tidak CukupMaaf, saya tidak mengerti ke arah mana maksud email di bawah ini?
Sepertinya kita memang perlu belajar sejarah mengapa kemudian ke luar sila
"Ketuhanan Yang Maha Esa", padahal redaksi awal bunyinya tidak seperti
itu.
> Dicantumkannya Sila yang berbunyi: "KETUHANAN YANG MAHA ESA" dalam Panca
> Sila adalah seperti duri dalam daging dalam demokrasi Indonesia dan juga
> dalam HAM karena mayoritas mutlak bangsa Indonesia adalah beragama Islam.
> Penafsiran bebas bahwa Indonesia pada hakekatnya adalah negara Islam,
> menguasai ideologi Indonesia sepanjang jaman selama ideologi demikian
> tidak bisa dicabut akarnya di atas tanah subur "KETUHANAN YANG MAHA ESA".
> Kementrian Agama seharusnya dihapuskan dalam semua Kabinet Indonesia,
> karena kementrian ini dalam seluruh sejarahnya tidak bisa bersikap netral
> dan selalu berpihak kepada agama terbesar yang dianut bangsa Indonesi
> yaitu agama Islam. Ummat Islam seharusnya lebih menyedari hal ini dan
> lebih aktif menghormati agama-agama lain dan mengkritik Pemerintah
> sekeras-kerasnya atas setiap ketidak adilan dalam bersikap terhadap semua
> agama. Namun mimpi untuk suatu kebebasan beragama di Indonesia akan tetap
> sebuah mimpi dan ilusi selama duri dalam daging dalam Panca Sila:
> "KETUHANAN YANG MAHA ESA" tidak dicabut dan tidak diganti dengan Sila yang
> lebih tegas menyatakan kebebasan memilih agama masing-masing yang dijamin
> oleh semua Pemerintah dan seluruh dukungan masyarakat. Tanpa itu perang
> dingin dan perang panas akan silih berganti dalam seluruh perjalanan
> bangsa Indonesia yang masih dibebani sisa peninggalan sejarah yang timpang
> itu di bidang agama. Indonesia harus tegas memilih negara sekuler demi
> kerukunan dan kedamaian setiap penganut agama yang manapun dan juga untuk
> menghindari perang dingin dan perang panas di bidang keagamaan. Kita sudah
> bosan dengan pertumpahan darah dan pembakaraan-pembakaran tempat ibadah
> berbagai agama yang dilakukan kaum fanatikus atau para teroris. Menuntut
> agar HAM dihormati cumalah tindakan tambal sulam yang tentu saja tidak
> salah tapi juga tidak akan menghasilkan akibat yang diharapkan selama akar
> tunggalnya tidak dicabut sama sekali dari bumi tempat dia merambat.
> asahan.
>
> ----- Original Message -----
> From: HKSIS
> To: HKSIS
> Sent: Sunday, November 29, 2009 2:00 AM
> Subject: #sastra-pembebasan# Jaminan Kebebasan Beragama - Ketika Ciuman
> Tidak Cukup
>
>
>
> http://www.suarapembaruan.com/ index.php? detail=News& id=12112
> 2009-11-28
>
> Jaminan Kebebasan Beragama
> Binsar A Hutabarat
>
> Sidang Raya XV Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) di Mamasa,
> baru-baru ini, menegaskan, negara Indonesia belum mampu menjamin
> kebebasan umat beragama yang merupakan salah satu hak-hak asasi manusia
> yang dijamin oleh Pasal 29 UUD 1945. Negara masih mempraktikkan tindakan
> diskriminasi kepada kelompok warga negaranya, yang seharusnya
> diperlakukan sama dan setara dalam suatu negara, misalnya dalam
> pendirian rumah ibadah.
>
> Selama lima tahun terakhir ini, tercatat sedikitnya 128 gereja ditutup,
> dilarang, atau diganggu dengan cara-cara kekerasan oleh
> kelompok-kelompok ekstrem. Bahkan, beberapa gereja yang sudah memiliki
> izin kemudian dicabut IMB-nya, seperti kasus Gereja HKBP Cinere dan
> Gereja Katolik St Maria Purwakarta. Pemerintah seakan tak berdaya
> menghadapi kelompok anarki yang melakukan teror dan pelanggaran hak
> asasi manusia.
>
> Minimnya jaminan kebebasan umat beragama ini akan terus terjadi selama
> posisi agama dan negara tidak ditetapkan secara tegas, atau terus
> dirancukan. Pemerintah harus secara tegas berpegang pada konstitusi yang
> memberikan jaminan perlindungan kebebasan umat beragama. Hak kebebasan
> beragama merupakan pengakuan yang tertua secara internasional dari
> elemen-elemen HAM lainnya. Ironisnya, ternyata penegakan kebebasan
> beragama justru merupakan yang paling lambat daripada hak-hak lainnya,
> ini bisa terjadi karena agama sering dimanipulasi untuk kepentingan
> politik.
>
> Pemisahan total antara agama dan negara, yang merupakan kelahiran negara
> sekuler, dipelopori oleh pengakuan Peace of Westphalia, dan pengakuan
> ini jugalah yang mempengaruhi isi deklarasi lahirnya negara sekuler
> Amerika Serikat yang menghargai kebebasan beragama. Tepatlah apa yang
> dikatakan oleh John Lock, tokoh HAM modern, bahwa negara dan agama harus
> terpisah, sehingga orang yang beragama apa pun yang memegang kekuasaan
> negara tidak boleh memberikan hak khusus kepada kelompok agama tertentu.
>
> Realitasnya, usaha untuk menegakkan kebebasan beragama tetap mengalami
> perkembangan. Ini terlihat setelah Deklarasi Universal HAM tahun 1948,
> kemudian dibuat suatu covenant on human rights tahun 1966. Kemudian pada
> 1981 ada hal yang lebih menggembirakan, yaitu adanya Declaration on the
> Elimination of All Forms of Intolerance and Discrimination Based on
> Religion or Belief. Pernyataan deklarasi tersebut memang dapat
> menunjukkan bahwa pelanggaran hak kebebasan beragama masih terus
> berlangsung dan perlu penanganan terus-menerus secara lebih serius.
>
> Fakta pluralitas agama merupakan realitas yang telah berlangsung lama di
> bumi Indonesia, bahkan jauh sebelum terbentuknya Negara Kesatuan
> Republik Indonesia (NKRI). Itulah sebabnya, pengakuan itu kemudian
> menjadi dasar keputusan founding fathers Indonesia untuk memisahkan
> agama dan negara.
>
> Indonesia bukan negara sekuler dan bukan negara agama (teokrasi) yang
> didasarkan pada agama tertentu, tetapi Indonesia adalah negara
> Pancasila. Jadi, keputusan untuk memisahan agama dari negara itu
> bukanlah pilihan yang sekadar menjadi suatu kompromi. Pada sudut pandang
> tersebut dapat dipahami mengapa negara teokrasi yang berdasarkan agama
> tertentu menjadi sesuatu yang absurd bagi Indonesia.
>
> Sebaliknya, kenyataan orang Indonesia adalah orang yang beragama
> kemudian membuat Indonesia tidak mungkin menjadi negara sekuler yang
> memarginalkan agama dengan memenjarakan agama untuk hanya ada pada ruang
> privat agama sebagaimana terjadi pada negara sekuler yang memisahkan
> negara dan agama secara mutlak (separasi total).
>
> TB Simatupang benar ketika mengatakan, keberadaan Indonesia sebagai
> negara Pancasila yang bukan negara sekuler dan bukan negara teokrasi
> adalah suatu eksperimen yang tiada duanya di negara lain dan di
> sepanjang sejarah umat manusia. Oleh sebab itu, tidak mengherankan upaya
> menjalankan hal tersebut tidaklah mudah. Tapi, bukan berarti itu adalah
> suatu spekulasi yang tidak memiliki pijakan kuat, karena pilihan
> Indonesia adalah negara yang berdasarkan Pancasila memiliki pengalaman
> sejarah yang amat panjang.
>
> Berdasarkan hal tersebut, dapat dipahami bahwa agama di Indonesia
> memiliki posisi yang penting, agama bukan sumber masalah, dan kontribusi
> agama-agama sangat diharapkan dalam pembangunan bangsa, karena
> kontribusi agama-agama sangat nyata dalam perjuangan pembentukan negara
> Republik Indonesia. Peran agama-agama yang begitu penting itu membuat
> semua agama memiliki tempat di dalam negara yang berdasarkan Pancasila.
>
> Apabila pemerintah dan rakyat Indonesia memahami hubungan agama dan
> negara, sebagaimana ditetapkan dalam Pancasila dan konstitusi, maka
> Indonesia pasti akan terluput dari apa yang dikatakan oleh Robert W
> Hefner bahwa kekerasan agama terjadi karena negara memanfaatkan agama
> (politisasi agama) dan agama memanfaatkan negara (agamaisasi politik).
> Demikian juga apa yang diperingatkan oleh Hanna Arendt tentang bahaya
> terjadinya kolonisasi ruang privat oleh yang publik dan kolonisasi
> publik oleh yang privat.
>
> Sayangnya, kedua sisi gelap hubungan agama dan negara itu menjadi
> kenyataan yang terus berlangsung di bumi Indonesia, dan minimnya jaminan
> kebebasan umat beragama masih menjadi fenomena biasa di negeri ini.
> Itulah yang terkuak melalui banyaknya perusakan dan penutupan rumah
> ibadah di negeri ini.
>
> Penulis adalah Peneliti pada Reformed Center for Religion and Society
>
> http://www.suarapembaruan.com/ index.php? detail=News& id=12113
> 2009-11-28
> Ketika Ciuman Tidak Cukup
>
> Refleksi
>
> Timur Citra Sari
>
> Racun itu bekerja dengan sangat baik. Cukup dengan satu gigitan, sang
> Putri langsung terjatuh dan tidak sadarkan diri. Tentu saja, begitu para
> kurcaci kembali ke rumah dan menemukan putri dalam keadaan yang
> demikian, mereka panik. Berbagai macam cara mereka lakukan demi
> membangunkan Putri, tapi, tetap saja sang Putri tidak mau membuka
> matanya. Tidak ada jalan lain, akhirnya para kurcaci membaringkan Putri
> di tempat tidurnya dan menunggunya sampai terbangun sendiri.
>
> Seratus tahun berlalu. Legenda tentang seorang Putri yang tidak bisa
> dibangunkan dari tidurnya tersebar hingga ke berbagai negeri. Telah
> banyak orang dari bermacam profesi dan latar belakang mencoba
> membangunkannya. Tapi, tidak satu pun dari mereka yang berhasil. Sang
> Putri tetap saja tidur sangat nyenyak. Syukurlah, menurut yang empunya
> cerita, akhirnya ada seorang pangeran yang berhasil menemukan cara untuk
> membangunkannya. Sang pangeran mencium sang Putri dengan sepenuh cinta
> dan sayang. Dan, ciuman itu satu-satunya cara untuk menggugah sang Putri
> dari tidur lelapnya. Sang Putri pun terbangun.
>
> Kita pasti mengenal dengan baik cerita di atas. Salah satu cerita
> anak-anak yang sudah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa dan telah
> difilmkan dengan berbagai versi. Seperti cerita klasik untuk anak-anak
> lainnya, cerita tentang Putri Tidur dan Tujuh Kurcaci di atas mengandung
> banyak pelajaran. Ada pelajaran tentang persahabatan yang tulus,
> pelajaran tentang pentingnya sikap selalu waspada dan berhati-hati,
> serta pelajaran tentang sikap tidak mudah menyerah saat menghadapi
> persoalan. Tapi, tentu saja, bagian akhir cerita ini - yang juga menjadi
> klimaksnya - adalah yang menjadi penting bagi anak-anak, yaitu saat sang
> pangeran mencium sang Putri, dan ciuman tersebut membuat sang Putri
> terbangun. Akhirnya persoalan teratasi. Akhirnya untuk setiap masalah
> pasti akan ditemukan jalan keluarnya.
>
> Sebagaimana sang Putri yang tertidur menjadi masalah bagi banyak orang
> di sekitarnya, demikian pula ketiga murid -Petrus, Yakobus, dan Yohanes-
> yang tertidur saat menemani Tuhan Yesus berdoa di taman Getsemani.
> Begitu nyenyaknya para murid ini tertidur, sehingga betapapun Tuhan
> sudah mencoba membangunkan mereka, kata-Nya: "Tidakkah kamu sanggup
> berjaga-jaga satu jam dengan Aku? Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya
> kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan: roh memang penurut, tetapi daging
> lemah." (Matius 26:40-41) tetap saja Petrus, Yakobus, dan Yohanes tidak
> terbangun.
>
> Sekalipun tidak memakan waktu hingga seratus tahun, tetap saja
> ketertiduran mereka berdampak besar. Pertama, Tuhan Yesus merasa begitu
> sendiri saat menggumuli rencana besar Sang Bapa untuk-Nya. Padahal, yang
> diajak Tuhan Yesus untuk menemani-Nya di Getsemani adalah murid-murid
> terdekat-Nya. Kedua, akibatnya, para murid bangun dalam keadaan terkejut
> dan tidak tahu apa yang tengah terjadi. Demikian diberitakan dalam
> Alkitab: "... seorang dari mereka yang menyertai Yesus mengulurkan
> tangannya, menghunus pedangnya dan menetakkannya kepada hamba Imam Besar
> sehingga putus telinganya." (ayat 51) Padahal, bukan reaksi seperti ini
> yang Tuhan Yesus kehendaki. Itu sebabnya Tuhan segera menyikapi situasi
> tidak terduga tersebut. Kata-Nya, "Masukkan pedang itu kembali ke dalam
> sarungnya, sebab barangsiapa menggunakan pedang, akan binasa oleh
> pedang." (Ayat 52) Betapa Petrus, Yakobus, dan Yohanes tidak menyangka
> akan "ketinggalan" peristiwa penting ketika mereka tertidur.
>
> Kebutuhan Penting
>
> Sekalipun tidak menyangkali betapa pentingnya tidur, tapi kita tahu
> benar betapa tidur pada waktu dan tempat yang tidak tepat akan
> menimbulkan masalah. Nah, jika -seperti dituturkan kedua "kasus" di
> atas-, satu atau tiga orang yang tertidur saja bisa memunculkan
> permasalahan besar, bagaimana pula ketika yang tertidur adalah sebuah
> bangsa? Tidur dalam "kasus" ini tidak selalu berarti terlelap, melainkan
> kondisi tidak sadar dan tidak bereaksi sekalipun berbagai macam
> peristiwa terjadi.
>
> Contoh untuk "kasus" tidur yang ini tidak sedikit. Misalnya, terus
> diabaikannya pemeliharaan dan pemulihan lingkungan hidup sekalipun
> sederet bencana alam, yang kita tahu terjadi berulang-ulang karena
> kesalahan kita sendiri. Demikian pula terus terjadinya korupsi sekalipun
> tentang dampak negatif yang menghancurkan bangsa ini sudah kita sadari.
>
> Tuhan bukannya tidak pernah mencoba membangunkan kita. Mulai dengan cara
> memberikan "ciuman" yang lembut dan penuh kasih sampai berbentuk
> kesulitan, persoalan berkategori "kecil" yang relatif mudah kita tangani
> sampai sentakan hebat, yang dulu pernah mengejutkan para murid di
> Getsemani berwujud kesulitan yang tidak mudah dibereskan. Herannya,
> tetap saja kita "tertidur" dan begitu sulit untuk "dibangunkan".
>
> Masa Adven -yang akan mulai kita rayakan pada Minggu, 29 November 2009,-
> adalah masa menantikan dan mempersiapkan kedatangan Tuhan Yesus.
> Masalahnya, jika selama menanti ini kita tertidur dan sulit untuk
> dibangunkan, waduh, ketika Tuhan Yesus datang kita malah tidak bisa
> melihat dan bertemu dengan-Nya. Itu sebabnya, Yohanes Pembaptis yang
> mendapat kepercayaan untuk mempersiapkan kedatangan Tuhan Yesus,
> mengingatkan kita: "Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!"
> (Matius 3:2)
>
> Jadi, ayo bangun dan mulai mempersiapkan diri.
>
> Soli Deo Gloria!
>
> [Non-text portions of this message have been removed]
>
>
>
>
-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
No comments:
Post a Comment