TINJAUAN BUKU
Kado Cinta Seorang Patriot
Judul: Tatkala Leukemia Meretas Cinta
Pengarang: DR.Dr. Hj. Siti Fadilah Supari
Penerbit: CV Holyveerz Production, Oktober 2009
Tebal: 250 hlm.
Ini adalah sebuah novel biografis yang tidak biasa, ditulis oleh orang luarbiasa.
Hasilnya? Buku ini menjadi novel yang "wajib dibaca" oleh semua kalangan: awam, profesional, birokrat, menteri, diplomat, politisi, para pegawai pemerintahan maupun swasta, para aktifis, mahasiswa, ibu rumahtangga, siapa saja.
Dituturkan secara kronologis, novel ini mengisahkan aneka peristiwa yang dialami penulisnya sepanjang rentang waktu enam bulan (awal Oktober 2008 hingga akhir Maret 2009). Tetapi, itu "Bukan sekadar catatan harian tanpa makna," tulis sang pangarang, Siti Fadilah Supari, melainkan "sebuah perjuangan atas nama cinta yang tak pernah putus-asa," katanya. Menteri Kesehatan (Oktober 2004-Oktober 2009) yang baru saja mengakhiri tugasnya itu berharap, dari buku ini, para pembacanya juga "bisa merasakan getaran cinta yang tak pernah padam terhadap bangsa dan negara."
Periode enam bulan -- waktu kerja efektif terakhirnya sebagai menteri -- yang menjadi bingkai waktu dalam buku ini, boleh dikatakan merupakan masa puncak dari drama sepanjang 36 tahun kehidupan perkawinan seorang perempuan asal Kampung Mloyosuman, Baluwarti, Surakarta, yang bernama Siti Fadilah. Inilah enam bulan yang monumental: menegangkan, melelahkan, menyedihkan, dan heboh. Bulan-bulan yang penuh dengan"tugas, cinta, dan airmata."
Sebagai menteri kesehatan, ia harus merampungkan sejumlah agenda kerja, antara lain: melawan skenario liberalisasi kesehatan di kawasan ASEAN, mengomunikasikan program kesehatan "Save Papua" untuk menangkal penyakit HIV/AIDS di pulau ujung timur itu, mengikuti perjalanan Presiden SBY ke Beijing, acara pembakaran makanan bermelamin (yang terpaksa dibatalkan karena ada "telepon dari Wapres", dan ia ditekan harus "menyelamatkan" produk dari AS), bicara di forum-forum internasional tentang flu burung dan tuntutannya terhadap WHO agar mewujudkan tatanan yang adil dan transparan bagi bangsa-bangsa di dunia, hingga penanggulangan bencana Situ Gintung.
Di tengah kesibukan itulah, Siti Fadilah mendapatkan vonis bagi suaminya, Supari, bahwa ia terserang Leukemia akut dan hidupnya hanya tinggal tiga bulan lagi. Tidak hanya itu, ibu tiga anak itu juga mengalami sakit mata sebelah kanan yang bisa membawanya kepada kebutaan jika tidak segera dioperasi.
Seluruh kejadian yang menuntut aktifitas fisik dan kekuatan mental itu, akhirnya membuat ia menderita kelelahan luar biasa dan jatuh sakit, sehingga ia harus diinfus di dadanya selama 21 hari. Tetapi, justru ketika itulah bencana Situ Gintung terjadi, dan ia harus mendampingi Presiden SBY ke lokasi, dengan terus diinfus di sepanjang jalan dari RSCM ke Situ Gintung.
Membaca buku ini adalah membaca ungkapan-ungkapan spontan dan jujur, mendengarkan suara hati nurani seorang pejabat negara yang sangat peduli kepada tugas dan tanggungjawabnya; serta suara seorang patriot yang dengan gagah, lantang, dan berani menyuarakan kepentingan bangsa dan negaranya, di forum lokal maupun internasional.
Di sisi lain, buku ini juga mengungkapkan secara terbuka dan getir: suara hati seorang perempuan, seorang isteri yang sejak tiga bulan usia perkawinannya mengalami kekecewaan dan ketidakbahagiaan. Kehidupan rumahtangga yang pincang, kehilangan komunikasi dan harapan. Namun, seperti dikatakannya, "Ternyata cinta tidak harus hadir dengan jubah kebahagiaan, tetapi bisa berbaju koyak oleh ketidakcocokan." Kekoyakan itu tidak harus berakhir dengan perceraian, meskipun hal itu pernah diupayakan. Justeru di bulan-bulan terakhir kehidupan sang suami – setelah lebih dari 30 tahun meranggas -- cinta di antara mereka mekar kembali, berkelindan, saling memberi dan menerima, dalam maaf dan keikhlasan. Sebuah akhir yang bahagia..., meskipun tidak ever after...
Yang membuat buku ini istimewa, selain tema dan settingnya yang meluas – dari yang sangat personal hingga ke isu-isu nasional dan global – juga karena dituturkan secara runut, lancar, rinci, informatif dan deskriptif. Lebih dari itu, penulisnya yang dokter spesialis jantung, ternyata juga mampu melukiskan
aneka suasana dalam bahasa yang penuh metafora, puitis, namun tidak mendayu-dayu. Terlepas dari kekurangannya dalam hal ejaan, dan sampulnya yang kurang cantik, novel ini sangat berharga untuk dibaca, bahkan wajib dibaca oleh para menteri dan para anggota parlemen yang baru dilantik.
Selamat untuk Ibu Siti Fadilah Supari, yang ternyata sempat mengalami kematian beberapa detik, dan juga pandai menyanyi La vien Rose, Di Wajahmu Kulihat Bulan, A Time for Us.
Buku ini juga menjadi kado istimewa bagi pengarangnya, yang pada malam peluncuran buku ini, merupakan hari jadinya, 6 November 2009.
Selamat ulangtahun!
Yudhistira ANM Massardi
-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
No comments:
Post a Comment