Tuesday, July 27, 2010

Re: [ac-i] KOLOM Yudhis: Lebay

 

Bravo Kafka!
Mas Yudhis, Terima kasih atas sharing yang menarik.

Salam,
Indi

Sent from my BlackBerry® smartphone


From: yudhistira massardi <ymassardi@yahoo.com>
Sender: artculture-indonesia@yahoogroups.com
Date: Sun, 25 Jul 2010 08:19:38 -0700 (PDT)
To: <artculture-indonesia@yahoogroups.com>
ReplyTo: artculture-indonesia@yahoogroups.com
Subject: [ac-i] KOLOM Yudhis: Lebay

 

Lebay
Oleh: Yudhistira ANM Massardi

"Tidak ada lagi privasi. Bangsa kita sudah jadi bangsa infotainmen. Negara kita
jadi negara lebay! Selalu berlebih-lebihan menghadapi setiap persoalan!" Begitu
komentar si bungsu Kafka, 15 tahun, yang baru saja lulus SMP.

Mendengar itu, aku terpana. Aku jadi pangling: benarkah yang barusan
bicara di ruang tamu itu anak kami, yang selama ini kami anggap masih bayi?

"Jadi, apa yang harus ditulis tentang kasus Ariel?" Aku merasa jadi
bodoh.
"Sudahlah, tidak usah dibahas lagi. Lupakan saja. Mudah-mudahan kasus
itu bisa jadi bahan pembelajaran bagi bangsa ini."
Sekali lagi aku terpana dibuatnya. Untunglah, aku teringat pemberitaan
di televisi. Menyusul kehebohan video porno itu, di beberapa kota, polisi
merazia sekolah-sekolah, dan kantor-kantor pemerintah, memeriksa telepon genggam
para siswa dan pegawai, kalau-kalau benda itu mengandung kecabulan.
"Ya, itu, contoh reaksi negara yang lebay tadi," katanya. "Memangnya,
kalau ketahuan ada video pornonya, so what? Let it out!Itu kan hak dia untuk
menyimpan atau tidak menyimpan. Dengan razia itu, artinya tidak ada lagi privasi
di negara ini. Lagian, kenapa razianya baru dilakukan sekarang? Memangnya,
dulu-dulu nggak ada video porno?"
Aku meringis. Beberapa saat lamanya aku mengamati wajahnya yang mulai
berjerawat. Ia kini tambah jangkung. Kulitnya tambah hitam, karena dia giat
berlatih bisbol di Senayan, di tengah terik siang.
"Kalau mau dicari yang salah, ya itu orang yang menyebarluaskannya,"
katanya kemudian. "Apalagi, sekarang banyak anak sekolah punya Blackberry.
Tinggal pake fitur BBM, sudah bisa kirim ke Bandung, ke mana-mana. Ribuan orang
sudah punya videonya. Apalagi, di sekolah-sekolah, anak-anak pasti ada aja yang
mau lihat... Tinggal transfer melalui bluetooth."
"Kalau di sekolah kamu, bagaimana?" Aku jadi cemas.
"Ah, anak-anak di sekolahku sih, pada malas melihat yang begituan.
Sudah bukan zamannya lagi."
"Maksud kamu?"
"Ya, aku juga pernah nonton yang seperti itu, dulu-dulu. Jadi, buat
apa nonton lagi?"
Waduh! Aku terpana lagi.
"Oke, kalau begitu, para orangtua harus diingatkan agar tidak
memberikan hand phone berkamera kepada anak-anak di bawah umur...?"
"Lho, teknologi canggih itu kan dibuat untuk mempermudah urusan. Yang
bermasalah itu bukan alatnya, tapi orangnya. Kalau orangnya bisa berpikir bahwa,
kalau dia melakukan sesuatu, maka akan menimbulkan suatu akibat, pasti dia tidak
akan melakukan itu."
"Oke. Sekarang, tentang adegan dalam video itu, padahal mereka bukan
suami-istri, menurut kamu bagaimana?"
"Ya, kalau menurut agama Islam, itu kan berzina, dosa. Dengan hukum
Islam, mereka akan dilempari batu sampai mati. Dirajam. Tapi, di sini kan
hukumannya ringan banget..."
"Fakta itu, ditambah dengan kenyataan seperti yang kamu katakan tadi,
bahwa banyak anak-anak seumur kamu yang dengan mudah bisa mengakses, lewat
internet atau hand phone, dan juga melakukan...?"
"Wah, memang, itu sih, sudah parah banget! Parah...! Nggak tahu, mau
jadi apa bangsa ini..."
"Terus, sebagai warga negara, apa yang harus dilakukan?'
"Ya, semua orang harus tahu batasanlah. Pemerintah juga harus taat
hukum. Konsisten. Jangan selalu bertindak setelah ada kejadian, dan tindakannya
selalu lebay seperti sekarang ini. Sementara, kalau ngurusin pemberantasan
korupsi, nggak selesai-selesai! "
"Kalau orangtua, harus bagaimana?"
"Orangtua harus memberi contoh yang baik. Tapi, yang paling penting,
para orangtua harus bisa mengenali anak-anaknya dengan baik..."
(Waduh, aku merasa tersindir).
"Kalau begitu, apakah aku perlu mengatakan kepada para orangtua...?"
"Jangan menggurui!" kata si sulung yang tiba-tiba ke luar dari
kamarnya, menimpali. "Orang juga sudah tahu jawabnya, kalau mereka mau berpikir,
belajar, dan mau berubah!"

Aku terpana lagi.
Padahal, aku ingin mengatakan: ketika teknologi informasi digital
berkembang begitu pesatnya, dan gajet berkamera dijual bebas di pasar, siapa
saja, bisa membuat film, menyutradarai, sekaligus jadi aktor dan pengedarnya.
Tanpa perlu belajar, tanpa harus paham etika dan estetika. Dan, itu telah
mengubah cara berkomunikasi dan berekspresi secara mendasar!

Sebuah format kebudayaan (teks-audio-visual) baru, tengah berkembang.
Tetapi, terutama pemerintah dan orangtua, tidak juga sadar, bahwa tata kehidupan
harus segera di-up date, dan program "antivirus" baru (baca: pendidikan karakter
dan budi pekerti sejak dini!) harus di-install. Jika tidak, negara-bangsa
seperti Indonesia, yang hanya bisa jadi pasar aneka komoditas global, akan terus
menjadi "korban." Kualitas kemanusiaan akan semakin merosot. Dan, jika perilaku
politik dan moralitas pejabat negara begitu bobroknya seperti sekarang,
pornografi pastilah merajalela![] (Gatra 23 Juni 2010)

*Penulis adalah sastrawan/wartawan, penggiat pendidikan gratis untuk anak usia
dini, dan penerbit Media TK Sentra, tinggal di Bekasi.
Yudhistira ANM Massardi
email: ymassardi@yahoo.com
Penerbit:
MEDIA TK SENTRA
Panduan Guru TK, RA, PAUD & Orangtua
Membangun Karakter dan Budi Pekerti
http://www.facebook.com/MEDIA.TK.SENTRA

__._,_.___
Recent Activity:
blog: http://artculture-indonesia.blogspot.com

-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
.

__,_._,___

No comments:

Post a Comment