Sunday, October 18, 2009

[ac-i] God and Me

 

Catatan Jurnal Sastratuhan Hudan: god and me

UIProfileImage UIProfileImage_LARGE



God And Me

Meninggikan tuhan bukan dengan mengebiri apa yang menjadi kehendaknya. Tapi banyak orang yang melakukannya. Bahkan orang yang paling menganggap dirinya memahami tuhan sekali pun. Telah membatasi tuhan ke dalam suatu keterbatasan yang bukan menjadi sifat dari tuhan itu sendiri. Mereka berjalan di jalan tuhan yang lurus, tanpa tahu sebenarnya jalan tuhan itu penuh lubang, dan kerikil kerikil tajam. Jalan yang terbaca dalam kitabnya kalau kita hendak membuka diri, dan jalan yang mewujud dalam dunianya yang nyata ini.

Hidup tidak kita minta dan terberi begitu saja. Adalah kenyataan hidup terbelah tiga dengan ia yang di tengah tengahnya. Seperti bandul jam yang berayun ke kiri dan ke kanan. Sayap yang kiri adalah mereka yang berlaku busuk dan jahanam. Sayap yang kanan adalah mereka yang diliputi jiwa fitri dan tunak hati. Tentu saja kedua ekstrem ini bisa saja melompat dan bergerak gerak ke laku orang yang di tengah itu. Diri adalah diri dengan genetik laku dan makna yang kadang kadang absurd juga. Adalah menarik melihat nuans dan detil lubang dari tiap watak manusia. Lubang yang nuansnya seolah memendam misteri seakan alam yang penuh misteri. Kadang kita merasa begitu jelas akan sesuatu, tapi kejelasan itu pecah lagi seolah kabut ditiup angin. Seperti laku kita: tak terjelaskan darimana datangnya, sikap fitri yang mendadak bergerak ke arah sifat jahanam.

Dalam perang orang saling membunuh dan kelihatan ketiga watak itu dengan amat jelasnya. Seakan tuhan yang menjadi pegangannya tak pernah ia kenal. Itulah saatnya manusia dalam momen mabuknya. Semuanya mengambang. Seakan dunia yang diangkat dari tempatnya dan kini berputar putar tanpa bisa mengendalikan hukum gravitasinya sendiri. Sebelum ia tenang kembali. dan kini seakan dalam sebuah keluarga yang bahagia, di mana sang ayah yang baru saja mencabut nyawa tadi penuh kepuasaan jiwa menyendokkan sepiring lauk pauk pada anak anaknya. Menebar senyum penuh kasih kepada istrinya yang duduk di pojok meja makan dan nampak sangat puas dengan hidup dan keluarganya.

Begitulah hidup ini. Kadang kita tak mampu lagi memihak dan menyuarakan kebenaran. Manakah yang benar. Orang saling membunuh dan saling melukai. Membunuh dan melukai langsung seperti di medan perang. Membunuh dan melukai secara tak langsung dari balik meja meja kekuasaan. Suatu jarak telah membuat semuanya menjadi abstrak. Keputusan yang kita ambil telah menyebabkan nyawa orang melayang, tapi kita tak merasa berdosa karena, pertama, tentu saja, jarak itu yang membuat detil dan nuans kematian tak terasa. Mungkin kalau orang yang kita bunuh karena ujung pena berdarah kita itu meregang nyawa di salah satu kursi meja makan kita, kita pun bisa tercekat dan kini tampil penuh perasaan. Tapi karena jarak maka semuanya mengabur. Semuanya menjadi seolah tak nyata. Apalagi jarak itu makin dikuatkan oleh suatu ideologi yang kita anut. Keyakinan yang kadang kita peluk secara garis besarnya saja. Tak pernah kita menarik secara radikal tiap implikasi dari buah pikiran kita itu. Dalam suatu akibat kepada orang banyak yang juga adalah ayah dari sebuah keluarga yang bahagia dari gubuk yang lain. Atau ibu dari perempuan yang seakan ibu kita sendiri: penuh cinta kasih kepada anaknya dan selalu mendoakan keselamatan dan kebahagiaan anaknya.

Memilih salah satunya memang benar. Tapi ia benar dalam suatu tingkatan. Tingkatan yang segera dibantah oleh hakekat kenyataan yang lain. Yakni kenyataan akan hidup yang terberi yang lain. Hidup yang telah tumbuh dalam suatu latar yang tak ia kehendaki. Begitu saja ia ada dalam latar itu. Begitu saja ia ada dalam latar genetik makna dan genetik laku itu. Makna dan laku yang kini membuatnya berubah seolah hewan buas yang pandai berpikir. Di mana kebuasaannya dan dipandu oleh pikirannya telah membakar sebuah kota bahkan sebuah benua. Tapi lihatlah segera setelah laku ini bekerja, di sana telah tumbuh pahlwana dari bunga kamboja yang ditebar oleh musuh musuhnya. Pahlawan yang kalau kita dekati penuh lubang lubang juga dari lubang neraka yang lain. Dari misteri jiwa yang lain. Yang mungkin kelak membunuh dirinya sendiri atau membunuh orang lain. Tentu saja, dalam suatu pembunuhan yang bukan seolah perang di mana ia telah menjadi pahlawannya.

Begitulah relativitas itu. Dan begitulah bekerjanya dunia tuhan yang maha pengasih dan penuh lubang dalam kitab serta wujud nyatanya dalam dunia.


hudan hidayat
- filsuf kesunyian

__._,_.___
blog: http://artculture-indonesia.blogspot.com

-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
Recent Activity
Visit Your Group
Give Back

Yahoo! for Good

Get inspired

by a good cause.

Y! Toolbar

Get it Free!

easy 1-click access

to your groups.

Yahoo! Groups

Start a group

in 3 easy steps.

Connect with others.

.

__,_._,___

No comments:

Post a Comment