Sunday, February 28, 2010

[ac-i] [BUKU INCARAN] Luapan Emosi Terpendam Jiwa Manusia

 

[BUKU INCARAN]

Luapan Emosi Terpendam Jiwa Manusia
---Anwar Holid

The Ninth (GPU, 2010, 296 hal.) berkisah tentang seorang anak kesembilan dari sebelas bersaudara. Dia berumur sembilan tahun, kira-kira kelas 4 SD. Dia bukan anak bungsu, melainkan punya dua adik, anak ketiga terakhir. Seorang saudaranya sudah meninggal waktu kecil, satu saudara sulungnya sudah menikah, tinggal di kota lain, di Debrecen. Di novel ini angka sembilan terasa mencolok, sengaja dipilih, mungkin punya mitos tertentu. Pilihan judul The Ninth tampak menekankan sesuatu. Apalagi novel ini terdiri dari sembilan bab.

Keluarga si anak ini miskin. Rumah sementara mereka sempit dan umpel-umpelan, tidur seranjang bertiga. Untuk menunjang ekonomi, keluarganya bisnis kecil-kecilan benda-benda religius Katolik seperti rosario dan salib, dijual ke gereja di sekitar kota mereka tinggal di Hongaria, dipasarkan oleh ayahnya. Mereka tinggal di kota kecil tanpa nama, kemungkinan di sekitar Debrecen, karena seluruh anak itu lahir di sana. Kalau tidak, mereka tinggal di dekat perbatasan Romania, sekitar tahun 1960-an, ketika negeri itu di bawah rezim komunis. Ayahnya pekerja keras, rewel, kaku. Ibunya bekerja paro waktu di pabrik pulpen, religius, tadinya ingin jadi pianis, mencintai sastra, dekat dengan pengurus gereja, bahkan mengarahkan anak-anaknya untuk beraktivitas di sana, misal dengan menjadi anak altar, penyanyi gereja, dan pembantu pastor bila ada orang meninggal.

Karena terlalu tertekan oleh kebutuhan ekonomi, anak-anak dalam keluarga ini terabaikan. Sampai-sampai secara ironik anak kesembilan ini bilang bahwa kebanyakan saudaranya punya kelainan, entah cacat fisik atau kesulitan belajar. Kecelakaan terakhir yang dia saksikan ialah jemari seorang saudaranya putus karena terjepit oleh hentakan ranjang lipat. Meski begitu mereka suka gotong royong dan sama-sama kerja keras waktu mengerjakan kerajinan, termasuk kakak-kakaknya harus ikut membangun rumah idaman yang akan mereka tinggali kelak.

Untuk mencari kesenangan di tengah kegaduhan keluarga, anak ini suka kelayapan sehabis pulang sekolah, baik ke stasiun tempat ayahnya pernah bekerja, juga ke rumah orang dan toko-toko yang ada di sana sekadar untuk melihat-lihat barang yang gagal dia dapat atau membaui aroma roti dan daging panggang di sebuah toko kue. Di sekolah, dia juga mengalami penindasan (bullying), mulai dari berupa celaan sampai secara fisik oleh kakak kelasnya. Saat kelayapan itu dia menemukan banyak hal. Dia tahu ada ayah teman sekelasnya tiap hari mabuk sampai harus dibopong ke luar dari bar oleh anak-anaknya. Dia suka mengintip rumah lain karena tampak sangat berbeda dengan rumahnya yang sumpek dan selalu ribut. Untuk mendapat uang saku, dia menjadi anak altar. Dia tambah senang bila ada orang meninggal, karena itu berarti uangnya bisa tambah banyak, membuat dirinya bisa jajan berbagai makanan di toko-toko dekat stasiun.

Suara anak kecil dalam The Ninth muncul dengan intensitas tinggi. Anak ini juga pengamat sosial yang tajam. Dia penasaran kenapa gaji ayahnya gagal memenuhi kebutuhan keluarga, seorang kawannya menyembunyikan foto perempuan telanjang, dan di sela-sela main sepak bola bersama saudara dan kawan-kawannya, pikirannya kerap khawatir soal hari esok, sampai dia sendiri akhirnya nekat melakukan dosa pertama, meskipun ia pernah menjadi putra altar dan ibunya senantiasa mengajak doa bersama sebelum tidur. Dosa itu membuatnya trauma, sangat bersalah, dan takut---tergambar dengan hebat di bab delapan dan sembilan---karena ia lakukan pada guru yang dia cintai. Guru inilah yang pernah memberinya tugas mengarang---dan secara implisit karya ini mungkin bisa dianggap sebagai perwujudan dari rasa bersalah ketika mengerjakan tugas tersebut.

Ferenc Barnás menyajikan novelnya sebagai luapan emosi terpendam jiwa manusia. Ingatan anak kecil ini luar biasa. Dia lebih dari sekadar jujur menceritakan rahasia paling kelam, mimpi paling brutal karena tekanan hasrat terpendam ingin menyalurkan dendam, iri dengan bekal milik kawannya, bertahan dan sesekali membalas dari kekerasan kakak kelas, kesenangan setiap kali ada orang yang meninggal, juga bersaing dengan kawan sekelas untuk menarik perhatian gurunya. Dia teliti membongkar kehidupan masa kecilnya yang sarat dengan tekanan dan persoalan. Dia juga berusaha meraba-raba persoalan samar, mulai dari bahasa tubuh ibunya, keunikan saudara kandung, sampai perilaku keras ayahnya terhadap aparat negara yang dianggapnya mau korupsi.
______________________________________
Detail Produk:
Judul: The Ninth (Anak Kesembilan)
Penulis: Ferenc Barnás
Penerjemah: Saphira Zoelfikar
Penerbit: GPU, Februari 2010
Tebal: 296 hal.; 13.5 x 20 cm; soft cover
ISBN 978-979-22-5459-4
______________________________________

Soal relevansi dengan Indonesia, Katalin B. Nagy yang memprakarsai penerbitan The Ninth berkomentar, "Rasanya hubungan budaya di antara Indonesia dan Hongaria belum seerat semestinya, karena kita belum sadar pengalaman kita sepanjang masa banyak miripnya. Saya berusaha 'membangkitkan' kesadaran ini melalui sastra terjemahan. Karya Ferenc bisa berarti karena aspek universalnya: seorang 'anak' berjuang melawan gereja, negara, dan diri sendiri melalui hasrat dan kebingungan."

Sekitar tahun 1960-an, Partai Komunis Hongaria yang berkuasa merupakan boneka Uni Soviet, sementara di Indonesia Partai Komunis Indonesia juga berpengaruh kuat. Apa dengan begitu membuat The Ninth bernuansa politik? Jawab Katalin, "Karya tersebut tak berpolitik atau mengkritik rezim komunis, melainkan hanya menggambarkan latar belakang sosial budaya. Rezim otoriter yang digambarkan dalam novel oleh seorang anak bisa saja di mana-mana."

Dulu Fuad Hassan---mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan---menerjemahkan Sang Mahasiswa dan Sang Wanita, berisi 10 cerpen Hongaria, dan Pulang, kumpulan cerpen karya Árpád Göncz. Bentang Pustaka pernah menerbitkan Fateless (Imre Kertész) dan The Last Window Giraffe (Péter Zilahy). Semua buku lama itu kini sudah tak dicetak ulang.

Ferenc Barnás mendapat pengakuan internasional setelah memenangi dua anugerah sastra Hongaria paling terkemuka: Sándor Márai Prize (2001) dan Tibor Déry Prize (2006). The Ninth mendapat grant penerjemahan dari PEN America, dikerjakan oleh Paul Olchváry. Barnás menerima sejumlah undangan residensi penulisan di Amerika Serikat, antara lain di Yaddo, MacDowell Colony, Edward Albee's The Barn, Virginia Center for the Creative Arts, dan Espy Foundation; pada tahun 2001 berceramah di Lahti International Writers Reunion, Finlandia.[]

Anwar Holid, editor, penulis, dan publisis. Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.

KONTAK: wartax@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141.

Link terkait:
http://www.gramedia.com
http://www.ferencbarnas.com

===========================
KOMENTAR PEMBACA

The Ninth is a testament to the still-unplumbed depths of contemporary Hungarian literature, and a departure from the alienated fever dreams and horrors to which we've grown so accustomed to reading.
---Jeff Waxman, dari Three Percent Review

Kebanyakan kritikus menilai The Ninth sebagai novel terbaik karya Ferenc Barnás---merupakan pencapaian luar biasa dilihat dari segi gaya, bentuk, dan isi sekaligus.
---Paul Olchváry

The Ninth adalah novel perenungan pribadi yang lebih memberikan dasar untuk eksplorasi daripada yang muncul di permukaan, dan merupakan novel yang berhasil memunculkan suara anak kecil dengan baik.
---Josh Maday

For me, The Ninth is all the more provocative because it depicts, through a nimble exploration of a child's stream-of-consciousness, the vicissitudes of his imagination, and the tee-tottering state of his soul amid the village's sickening perfidy, corruption, and stupidity.
---Chad W. Post

The Ninth is an elegant book, and a ruthless one. It is a courageous book, one that knows fear. As is always the case with good literature, it is about us, wherever we may live in the world.
---Anonim

__._,_.___
Recent Activity:
blog: http://artculture-indonesia.blogspot.com

-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
.

__,_._,___

No comments:

Post a Comment