Ubiet dan Kroncong Tenggara akan menggelar konser musik selama dua malam berturut-turut, Jumat dan Sabtu, 12-13 Februari 2010 pukul 20.00 di Teater Salihara, Jakarta Selatan. Dari tiga belas lagu yang akan mereka bawakan, ada lima lagu baru dengan lirik yang ditulis oleh tiga penyair—Chairil Anwar, Nirwan Dewanto, dan Sitok Srengenge. Ubiet (Nyak Ina Raseuki) adalah sedikit dari seniman musik merangkap ilmuwan musik di Indonesia. Ia terkenal dengan olah vokalnya yang memanfaatkan pelbagai gaya, teknik, dan ekspresi, seolah tanpa batas. Bagi Ubiet, bernyanyi tak hanya sekedar menghasilkan suara merdu, namun juga menggarap bunyi yang disonan maupun yang tak harmonis. Sebagai penyanyi, doktor etnomusikologi ini telah menjelajahi berbagai genre musik: pop, jazz, tradisi, maupun kontemporer. Sejak sekitar empat tahun belakang ini, Ubiet bersama musisi dan pengarang lagu Dian HP dan Riza Arshad, menggali kembali khazanah musik Nusantara, yaitu kroncong. Dian HP dikenal publik sebagai penata musik bagi pelbagai pertunjukan musik pop maupun film. Pianis ini menggarap musik untuk para penyanyi pop, dan pelbagai pagelaran musik. Ubiet dan Dian pernah bersama dalam kelompok jazz fusion, Splash, di tahun 80-an. Sedangkan Riza Arshad, yang biasa dipanggil Ija, dikenal sebagai pianis dan pendiri grup jazz simakDialog yang tetap berkibar sejak 1996. Tak satu pun dari tiga seniman musik ini—Ubiet, Dian, dan Ija—berasal dari tradisi kroncong, tetapi ketiganya menjadi tertarik pada jenis musik ini. Kroncong adalah salah satu musik populer tertua yang berkembang di Nusantara. Meskipun telah dikenal sejak abad ke-16 (terutama di kalangan keturunan Portugis), musik ini baru populer dengan adanya radio dan teknologi rekaman. Kroncong juga salah satu jenis musik pertama yang beredar dalam bentuk piringan hitam. Ketika menyebar itulah kroncong pun terpengaruh oleh berbagai musik lokal. Karena itu, ia bisa dikatakan sebagai musik populer hibrid, yakni perpaduan antara musik Eropa dan musik Nusantara, yang pertama. Ubiet, Dian, dan Riza percaya bahwa kroncong menyimpan kekayaan yang terus bisa digali dan diperbaharui. Mereka bertiga, beserta dengan beberapa pemusik piawai Indonesia dari berbagai latar belakang musik, bekerjasama untuk menggarap sebuah rekaman kroncong baru, yaitu musik berbasis kroncong—baik lagu kroncong lama maupun lagu gubahan baru—yang diharapkan mampu mengundang generasi Indonesia mutakhir untuk mengembangkan dan menyebarkan musik ini ke khazanah dunia. Kroncong Tenggara, demikianlah nama kelompok musik mereka sekaligus nama album pertama mereka yang diluncurkan tahun 2007. Nama ini diharapkan mencerminkan keterbukaan wilayah "tenggara" (yaitu posisi Nusantara dalam peta dunia) dalam menerima dan mengolah pengaruh dari berbagai ragam musik dunia. Untuk melahirkan musik dengan citarasa dan aspirasi baru, Ubiet, Dian HP, dan Riza Arshad menggunakan kroncong sebagai titik tolak utama. Sambil mengadopsi berbagai ragam musik—yaitu tango, jazz, melayu, pop, dan klasik—mereka memperkuat jiwa kroncong. Mereka tetap mempertahankan beberapa elemen kroncong seperti ritme cak-cuk yang dimainkan pada ukulele dan mengeksplorasi berbagai unsur musikal, seperti instrumentasi yang menggunakan alat musik akordeon (alat musik Eropa, yang sudah menjadi bagian dari khazanah musik Nusantara), kendang, cello, flute, saxophone, dan bas elektrik serta vokal. Gaya vokal mengolah gaya bernyanyi kroncong, dipadukan dengan berbagai gaya bernyanyi, yang diinspirasi dari berbagai gaya nyanyian Nusantara dan mancanegara, karakteristik gaya bernyanyi Ubiet. Semua unsur itu diramu untuk mengembalikan pesona kroncong namun yang sudah pula menjadi sebuah musik baru dengan karakter musik dunia masakini. Kroncong Tenggara mengadakan pentas peluncuran di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki Desember 2007. Untuk pertunjukan di Salihara kali ini, mereka menambah repertoir dengan lima lagu lagi. Semuanya, tiga belas lagu yang mereka bawakan ini, terdiri dari delapan lagu kroncong lama (yang terdiri dari kroncong, stambul dan langgam) yang diaransir kembali dengan citarasa mutakhir, dan lima lagu baru dengan lirik yang ditulis oleh tiga penyair—Chairil Anwar, Nirwan Dewanto, dan Sitok Srengenge. Ubiet (vokal), Dian HP (akordeon, keyboard), Riza Arshad (akordeon), Dony Koeswinarno (flute, saxophone), Dimawan Krisnowo Adji (cello), Arief Suseno (ukulele "cak"), Maryono (ukulele "cuk") Adi Darmawan (bas elektrik), Jalu Pratidina (kendang Sunda, perkusi). Tiket dapat dipesan melalui 0817-077-1913, dita@salihara. Untuk keterangan lebih lanjut mengenai program ini dan program Komunitas Salihara lainnya, silakan hubungi melan@salihara. Komunitas Salihara; Jl. Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12520. Tel: 021-789-1202 *** Konser Ubiet & Kroncong Tenggara Jumat-Sabtu, 12-13 Februari 2010, 20:00 WIB Teater Salihara HTM 100.000 Mahasiswa/pelajar Rp 50.000 (tempat terbatas) Program Kroncong Tenggara di Teater Salihara Kroncong Kemayoran Anonim (dengan adaptasi) Aransemen: Riza Arshad Stambul Jauh di Mata Ismail Marzuki Aransemen: Dian HP Kroncong Tenggara Dian HP/Nirwan Dewanto Aransemen: Dian HP Gambang Semarang Oei Yok Siang Aransemen: Dian HP Penghujung Musim Penghujan Dian HP/Sitok Srengenge Aransemen: Dian HP Kroncong Sapulidi Sukamto (dengan adaptasi) Aransemen: Riza Arshad Di Bawah Sinar Bulan Purnama R. Maladi Aransemen: Dian HP Kroncong Pasar Gambir Ismail Marzuki Aransemen: Riza Arshad Senja di Pelabuhan Kecil Riza Arshad/Chairil Anwar Aransemen: Riza Arshad Cinta Pertama Dian HP/Sitok Srengenge Aransemen: Dian HP Pepaya Mangga Pisang Jambu Adi Karso Aransemen: Dony Koeswinarno Langgam Merah-Biru Dian HP/Nirwan Dewanto Aransemen: Dian HP Aksi Kucing Oei Yok Siang Aransemen: Dian HP *** Friday - Saturday, February 12 - 13, 2010, 08:00 PM Concert Ubiet & Kroncong Tenggara Teater Salihara Ticket Rp 100.000 Students Rp 50.000 (limited seats) About Ubiet and Kroncong Tenggara Ubiet (Nyak Ina Raseuki) is one of the very few artists in Indonesia who is also a scholar of music. She is well-known for her vocal work which seems to have no boundaries between various styles, techniques, and expressions. For Ubiet, singing is not just what is produced by a melodious voice, but it also involves creating dissonant and even unharmonious sounds. As a singer, this doctorate in ethnomusicology has explored numerous musical genres—pop, jazz, traditional as well as contemporary music. Since about four years ago, Ubiet has worked with well-known musician-songwriter The public is familiar with Dian HP as a pianist, arranger, and song writer of numerous pop music performances and films. She has created music for Indonesian pop stars in various recordings and performances as well. Ubiet and Dian worked together in the fusion jazz group Splash in the 1980s. Riza Arshad, usually called Ija, is a well-known pianist and founder of the jazz group simakDialog which he founded in 1996. None of these three musicians—Ubiet, Dian or Ija—comes from a traditional kroncong background, but all the three were attracted to this genre of music. Kroncong is one of the oldest forms of popular music which developed in the Indonesian archipelago. It was already known, especially amongst people of Portuguese descent, in the 16th century, but it really became popular with the advent of radio and recording technology. Kroncong is also one of the first kinds of music to become available on phonograph records. As it spread, kroncong was influenced by various forms of local music. For that reason, it can be called a popular hybrid music, that is, the first blend of European and Indonesian music. Ubiet, Dian, and Riza believe that there is a wealth of material in kroncong to be explored and innovated upon. Together with a number of skilled Indonesian musicians, from various musical background, they have collaborated to create a new kroncong based on old kroncong songs and to write new compositions. Kroncong Tenggara, is the name of the group as well as their first album which was released in 2007. They hope this name reflects the openness of the tenggara or southeast region—Indonesia's position on the world map—in accepting and working with the influences of various genres of world music. To create music with a new flavor and objectives, Ubiet, Dian HP and Riza Arshad use kroncong as their main point of departure. While adopting diverse musical genres—tango, jazz, melayu, pop, and classical—they foster the spirit of kroncong. They maintain several elements of kroncong such as the cak-cuk rhythm of the ukulele and explore various musical instrumentations, such as those of the accordion (an European instrument that has become part of the Indonesian music vocabulary), Sundanese traditional drums, cello, flute, saxophone, and electric bass as well as vocals. The vocals explore the singing style of kroncong combined with various styles from across the archipelago and abroad—the very characteristic of Ubiet's singing. All the elements are mixed together to bring forth the power of kroncong, but at the same time to become a new music with the character of today's world music. Kroncong Tenggara launched its first album in a performance at Taman Ismail Marzuki in December, 2007. For this Salihara staging, they have added five songs to their repertoire. In all, they will perform thirteen songs, consisting of eight old kroncong songs (kroncong, stambul and langgam) rearranged with a modern flavor, and five new songs with lyrics by three poets—Chairil Anwar, Nirwan Dewanto, and Sitok Srengenge. http://www.facebook http://salihara. |
Selalu bersama teman-teman di Yahoo! Messenger
Tambahkan mereka dari email atau jaringan sosial Anda sekarang!
__._,_.___
blog: http://artculture-indonesia.blogspot.com
-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
.
__,_._,___
No comments:
Post a Comment