BURU (1)
Pagi hari Kamis 26 Agustus 1971,setelah berlayar selama enam hari enam malam didalam palka yang terasing dari dunia luar,akhirnya sampai juga kami pada ujung perjalanan,sampai ketempat tujuan : pulau Buru. Bahwa kami sudah sampai bisa dipastikan karena kapal tidak lagi bergetar,mesin sudah berhemti be kerja. Suara deru mesin yang telah menemani kami selama perjalanan enam hari enam malam sudah berhenti. Dalam palka tidak terasa lagi getaran mesin kapal. Teman-teman sebagian bangun dan mendekati jendela bulat kapal,ingin mengetahui dimana kami berada. Dalam keremangan pagi yang tampak dari jendela hanyalah bayangan hitam,siluet pulau diluar kapal. Sosok pulau Buru yang samar-samar antara tampak dan tidak tampak.
Bagi mereka yang mendambakan tanah,inilah Buru – tanah yang dijanjikan! Bagi saya,Buru tidak memberi kesan apapun selain masa depan yang gelap tanpa tahu kapan akan berkhir,tak lebih dan tak kurang.
Teman-teman yang bangun dari tidur lama,nyaris seminggu sejak kami berangkat dari Nusa Kambangan ha ri Jum'at 20 Agustgus lalu. Kami telah merasakan dan membuktikan bahwa tanah air kita benar-benar luas Untuk sampai dari Nusa Kambangan ke Buru saja diperlukan waktu enam hari enam malam berlayar. Yang kami tempuh baru dari Nusa Kambangan sampai ke pulau Buru,belum dari Sabang sampai Merauke.
Tanha air kami memang tidak seluas Uni Soviet,yang kata orang Rusia : di negeri kami matahari tidak per nah tenggelam! Saat di Barat tenggelam,di Timur sinar matahari merekah menguak pagi hari baru!
Semakin siang saat matahari mulai bersinar,dlewat jendela kapal yang bulat bisa kami lihat daratan pulau Buru,yang dikejauhan dihiasi bukit-bukit setengah gundul dan memperlihatkan bekas-bekas kebakaran, ha ngus hitam meranggas.
Pulau Buru selama ini tidak banyak dikenal dikalangan bangsa Indonesia dan baru sesudah terjadi pemgiri man rombongan pertama tapol tahun 1969,nama pulau Buru mulai mencuat dan jadi buah bibir dikalangan militer maupun masyarakat Indonesia. Memang sorang penulis perempuan Belanda pernah mencatat bahwa dipulau Buru pada jaman penjajahan Belanda sudah terjadi transaksi yang cukup besar frekuensinya antara pedagang Tionghoa dengan pendatang yang mengusahakan minyak kayu putih. Dan pulau Buru saat itu di singgahi kapal KPM secara teratur dua bulan sekali. Sekarang pulau Buru sudah tidak dipandang sebelah mata,sekarang jadi pusat perbudakan terbesar dijaman modern.
Matahari semakin tinggi dan didaratan Namlea,kota pelabuhan di Teluk Kayeli, tampak geliat kegiatan pen duduknya maupun para petugas militer yang akan menjemput kami. Kapal KM Towuti yang besar tidak bi sa merapat didermaga Namlea yang kecil dan dangkal.
Di pagi hari ini kami lihat kapal jenis LCVP (Landing Craft for Vehicle & Personell)mulai bergerak menuju ke KM Towuti. Tingkap yang memisahkan palka kami yang gelap sudah dibuka dan sinar matahari dari luar tampak menerangi tangga keluar menuju ke dek terbuka. Pengawal sudah berteriak membangun kan kami dan minta agar kami menyiapkan barang-barang bawaan untuk segera mendarat.
Beberapa teman yang mabuk laut sepanjang perjalananan mulai mencoba bangun dan menyiapkan diri kelu ar palka dengan barang bawaan masing-masing,
Barang bawaan saya tidak banyak,hanya sebuah karung plastik bekas pupuk dan sebuah kasur lipat yang ri ngan dan tipis. Tidak lama kemudian di tingkap muncul wajah-wajah yang beringas,dengan kata-kata ka sar,berbeda dari pengawal kapal yang membawa kami dari Nusa Kambangan.
"Cepat babi,jangan malas anjing. Cepat keluar,bergerak,
Berdiri diluar dan menghirup udara segar setelah enam hari enam malam disekap dalam palka yang pengap, saya melihat tangga turun dari kapal yang bergoyang-goyang,
Di Namlea kami di bariskan,dihitung dan kemudian diberi aba-aba untuk bergerak menuju ke tempat penampungan sementara. Sepanjang jalan di pagi yang cerah itu,kami jadi tontonan masyarakat setempat. Bagi mereka mungkin kejadian pagi hari ini adalah yang kesekian kalinya,sehingga mereka sudah terbiasa, Dalam benak saya muncul gambaran bagaimana budaj=k-budak dari benua Afrika beberapa abad lalu diturunkan dipantai Timur Amerika,diborgol dan dirantai kakinya,siap untuk diperjual-belikan sebagai ba rang dagangan berharga.
Kami tidak berbeda dari mreka,dibawa dari pelau Jawa ke pulau Buru dan disini,di pulau Buru diperlaku kan tidak jauh beda dari para budak.Apa yang diperintahkan oleh para serdadu harus kami ikuti dan kami la kukan. Kalau mereka bilang : lari! kamipun lari. Mereka bilang : jongkok! Kamipun jongkok. Melawan pe rintah berarti mengundang makian,sumpah serapah dan pukulan,serta siksaan.
Di tempat penampungan kami dimasukkan ke barak-barak sementara,asal masuk dulu tanpa ada pemisahan menurut asal atau nomor urut. Baru sore hari,setelah semua berada di barak,seorang perwira CPM datang dan mengumumkan pemisahan menurut nomor urut baju. Sebagaimana diketahui,saat berangkat dari penja ra Karangtengah di Nusa Kambangan,kami mendapat pembagian pakaian seragam dengan nomor baju di punggung dan nomor baju saya adalah 360,disamping nomor foto 01448. Dua nomor ini harus selalu diingat dan tidak boleh dilupakan.
Menjelang sore hari,serdadu-
"Barang-barang ini dilarang dibawa ke unit!"
Yang dinyatakan sebagai barang terlarang ternyata termasuk pakaian yang bagus dan menarik,seperti jacket atau celana panjang berbahan mahal atau bagus modelnya. Tapol tahu diri dan mulai menyembunyikan apa saja yang bisa jadi sasaran perampasan,termasuk perhiasan : cincin emas,jam tangan,kacamata hitam.
Seorang serdadu dengan pangkat merah bengkok (kopral) mendadak mencabit kacata yang sedang saya pa kai.Memang kacamata tsb bagus bingkainya dan warna lensanya keungu-unguan,
Setelah dicoba sebentar,kacamata tsb dicampakkan sambil memaki:"Bangsat.Babi. Cukimai"
Pantas saja dicampakkan,
Di tempat penampungan ini kami sudah diperkenalkan kepada calon Komandan Unit kami,seorang kapten dari Corps Polisi Militer (CPM).Seorang perwira dengan perawakan badan dibawah standar,saya kira dia b erasal dari generasi tua dan bukan perwira pendidikan akademi,karena tingginya pasti tidak memenuhi sya rat. Usianya jelas diatas 40 tahun,berkulit kuning dan berbicara dengan aksen bahasa Sunda medok,berasal dari Pusat Pendidikan (Pusdik) Polisi Militer di Cimahi – Kapten Doim Indrapradja.
Kapten Doim tidak membuang waktu dan di tempat penampungan ini sudah mulai menjelaskan bahwa di Unit XVI Indra Karya,dimana kami akan ditempatkan,
Dengan nomor baju 360 saya akan berada di barak 8,barak yang berisi tapol asal Jawa Barat,termasuk tapol asal Banten. Saat pemilihan Kepala Barak,teman-
Kami harus berpisah dengan beberapa teman yang selama di penjara Karangtengah bekerja sama dengan ka mi,seperti ir.Roespanadi,
Sebelum diberangkatkan ke unit masing-masing,
Saat kami tiba di pulau Buru yang menjabat sebagai Komandan Tefaat adalah seorang Letnan Kolonel CPM Rangkuty,yang pada hari itu mengenakan topi cowboy terbuat dari bahan loreng,berpidato dilapangan terbuka didampingi beberapa perwira menengan berpangkat mayor.
Acara mendengarkan pengarahan tidak berkepanjangan dan letkol.Rangkuty,
Pamudji Achjono,Mohammad Sidik, En dang Sawinadi, Mochammad Tojib, Rasmad,Nani Surjani,Achmad Dasuki,Gembor Prawoto,Sumarna dan Hartono. Hanya nama-nama tsb yang bisa saya sebut dan simpan dalam ingatan.
Tempat kami sudah jelas : Unit XVI Indra Karya dengan Dan Unit Kapten CPM Doim Indrapradja dan kami tinggal menunggu hari pemberangkatan.
Get your preferred Email name!
Now you can @ymail.com and @rocketmail.
http://mail.
[Non-text portions of this message have been removed]
-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
No comments:
Post a Comment