[HALAMAN GANJIL]
Kelabakan Menatap Esok Hari
--Anwar Holid
Mendengar selintas tentang kampanye dan jumlah kekayaan para calon presiden Indonesia beserta wakilnya malah membuat aku menoleh pada kondisi terakhir diri sendiri. Kepalaku sulit membayangkan kekayaan mereka seperti apa wujud aslinya, persis karena aku tak pernah menyaksikan kekayaan segigantik itu. Alangkah menyedihkan pengalaman kehidupan ekonomiku selama ini. Begitu hina.
Sudah beberapa hari ini aku kehabisan uang, bingung mau berutang pada siapa. Tabunganku sudah ludes kembali. Kemarin aku datang ke seorang teman dengan harapan bisa pinjam uang sekitar 500 ribu, ternyata dia dan kawan-kawannya juga tengah kesulitan menalangi seorang tua yang tengah sakit-sakitan dan butuh perawatan intensif. Kondisinya lebih gawat dari aku.
"Untuk periksa ke dokter sih, ada. Tapi buat obatnya masih belum ada," kata temanku. Orang tua itu konon mantan wakil rakyat Indonesia di masa lalu. Aku pernah beberapa kali ngobrol dengan orang tua itu. Jadi aku pun hanya bisa tersenyum menghadapi kondisi yang sama-sama sulit.
Beberapa minggu lalu aku dapat email dari seorang teman di kota budaya, dia kesulitan mendapat uang untuk melanjutkan kontrak rumahnya. Aku sengaja membiarkan email dia, karena tak bisa berbuat apa-apa. Tadinya aku berharap ada transfer masuk dari klien untuk sisa pembayaran kerja lama, tapi nggak datang juga. Aku sudah kontak orang bersangkutan, sms tidak dibalas.
Keadaan terdesak ini membuat kepalaku selalu menuju ke harta para calon presiden. Alangkah kaya mereka, jumlahnya fantastik. Sementara aku di sini kelabakan mencari utangan, untuk beli sayur dan lauk pauk, bayar ini-itu, ongkos sana-sini, sulit konsentrasi kerja, dan akhirnya hanya bisa kirim sms bernada getir ke seorang teman yang biasanya lebih jenaka: APA ARTINYA ORANG KALAU DIA GAGAL MENCARI UANG? Kasar.
**
Aku juga warga negara Indonesia, punya KTP, kemarin ikut pemilu, bayar retribusi dan pajak, bahkan kini sudah punya NPWP. Apa artinya itu semua, bila aku toh tetap merasa sendirian harus berjuang untuk mendapatkan nafkah bagiku sekeluarga, nggak ada tuh peran pemerintah dalam menjamin kesejahteraan sosialku. Aku jadi merasa sangat dilecehkan oleh uang dan politik dan pemerintahan dan segala sistem sosial yang mungkin nggak ada hubungannya dengan aku semua.
Kalau aku nanti mencontreng salah satu dari tiga pasangan itu, memang apa pengaruhnya? Kalau juga abstain, memang apa ada dampaknya? Kondisi ini membuat aku merasa absurd. Kekayaan keenam orang itu tak menetes sedikit pun kepada orang seperti aku, yang dari kejauhan dan sekilas-sekilas tertoleh oleh peristiwa politik. Mending aku bersiap-siap tegang nonton laga Manchester United versus Barcelona FC di Roma dalam duel final Liga Champions 2008/09. Lebih seru tentu saja.
Setelah mikir-mikir cari utangan, aku teringat target-target ekonomi yang belum tercapai. Aku sudah lama belum juga bisa bikin sertifikat untuk sepetak tanah di lahan sempit, belum bisa bikin asuransi pendidikan buat anak bungsu, belum sedikit pun menabung untuk bayar asuransi pendidikan si sulung tahun ini. Wah, sial, aku jadi kasar. Frustrasi mudah membuat aku hilang kendali.
Sering aku bertanya: bagaimana calon presiden dan wakilnya bisa sekaya itu? Apa yang telah mereka lakukan sampai bisa mengumpulkan kekayaan sebanyak itu? Bisnis apa yang mereka operasikan? Strategi macam apa yang mereka jalankan agar bisa sesukses itu? Apa mereka mempraktikkan ilmu Robert Kiyosaki? Menyewa Brian Tracy agar terus bersemangat kerja? Menyerahkan pengelolaan uang pada Warren Buffett? Menghabiskan buku-buku manajemen tingkat dunia? Punya tim hebat tiada tara? Kerja sama seperti apa yang mereka tanda tangani hingga nilai kekayaannya begitu luar biasa bagi rakyat jelata seperti aku ini? Atau malah mereka menggadaikan kekayaan negara dan mengutip imbalan dari sana?
Aku tertekan karena merasa terinjak untuk mengais sedikit saja. Gila. Aku optimistik, tapi terhadang. Di satu sisi ada orang punya kekayaan melimpah ruah sampai rasanya sulit dipercaya, di sisi lain ada orang iri hati karena merasa begitu sulit mendapatkan sejumlah porsi untuk membiayai kebutuhan hidupnya. Hidup macam apa yang aku alami ini? Apa aku kurang kerja keras, kurang profesional, kurang smart, bodoh, sial, kurang melayani, kurang ambisius? Kalau per hari ini aku bandingkan dengan keadaan keuanganku yang rata dengan tanah, rasanya aku mau putus asa setiap kali mendengar kata capres, cawapres, kampanye, janji politik, pemilihan presiden. Apa hubungan semua itu dengan aku?
Aku mulai dihinggapi tanda-tanda frustrasi. Kesulitan untuk mendapat nafkah sedikit saja sampai memaksa aku mengeluh seakan sudah sekarat. Keterlaluan. Apa aku sudah terobsesi dan buta oleh kekayaan? Bagaimana bila faktanya aku memang kesulitan? Tiap hari uang dicetak dan diedarkan, tapi alangkah sulit aku dapatkan sisa-sisanya. Sementara di tempat tertentu, sejumlah angka disimpan, disiapkan untuk membayar iklan di media massa, tim sukses, alat kampanye, membentuk citra, minta dukungan, menjamin logistik, menggalang massa, menyiarkan propaganda, mengklaim pekerjaan, bahkan mungkin juga uang tutup mulut dan demi menutupi kebusukan.
Di saat aku sulit begini, politik dan pemerintahan seperti kehilangan relevansi dengan kehidupan sehari-hari. Setelah kemarin secara gratis memberi suara untuk wakil rakyat asing dari partai tertentu yang jelas tak punya komitmen apa pun dengan konstituennya, segera para peserta pemilu itu ribut soal kekuasaan dan koalisi. Mana pernah mereka kembali membicarakan janji-janji politik dan kesejahteraan, bagaimana mewujudkan semua itu. Rupanya mereka merasa baru bisa bekerja untuk rakyat dan negara bila punya kuasa.
Andai salah satu dari kandidat yang aku pilih itu gagal atau berhasil jadi presiden, apa akan mengubah keadaanku? Mungkin tidak. Jadi kenapa juga aku harus ikut merasa terlibat dengan gegap gempita kampanye? Aku bukan bagian dari tim sukses, bukan kerabat, bukan kenalan, tak terikat secara emosional dan personal dengan mereka. Aku hanyalah sasaran tembak, dibidik agar percaya pada salah satu kontestan, yang jangankan peduli pada kehidupan kesejahteraanku, bersimpati pada kondisiku saja tidak. Mending aku konsentrasi lagi menyelesaikan kerja-kerjaku yang tercecer. Menata diri lebih baik.
Tapi ini juga sukar, karena pikiranku melayang-layang memikirkan harta benda orang, yang suka atau tidak, akan jadi presiden di negara tempat aku tinggal, selama lima tahun ke depan. Wajarkah bila aku malah berprasangka berapa kekayaan yang akan mereka dulang selama memerintah, sementara aku juga harus bekerja sendiri memenuhi kebutuhan hidup sekeluarga? Punya presiden atau tidak, hidupku toh begini saja. Semua tergantung dari usaha dan jerih payahku sendiri.
Dengan kekayaan sebesar itu, sudikah mereka juga benar-benar berkorban bagi warga negara, apalagi yang memilih serta menyerahkan kepercayaan dan harapannya? Menyisihkan sebagian buat menambal jalan berlubang, memperbaiki got di RW-ku yang selalu jebol kala hujan deras, maukah mereka? Ikut menyelesaikan utang warga, menolong orang yang kehilangan mata pencaharian, atau daya tawarnya rendah. "Kamu harus bisa membedakan mana uang pribadi dan anggaran dari negara," demikian kira-kira jawaban sopan mereka.
Ha ha... ilusi demokrasi. Aku berharap pemerintah ikut menyelesaikan masalah warga negara sebagai pribadi; padahal mereka juga sibuk dengan urusan masing-masing. Urusan yang lebih besar, katanya. Yaitu urusan negara, urusan sosial, utang luar negeri. Bedanya, sementara mereka tetap bisa mengambil sebagian untuk uang saku sendiri, aku di sini kelabakan menatap esok hari.[]2:34 PM 5/26/2009
Anwar Holid, bekerja sebagai editor, penulis, & publisis; eksponen TEXTOUR, Rumah Buku Bandung, blogger @ http://halamanganji
Anwar Holid: penulis, penyunting, publisis; eksponen TEXTOUR, Rumah Buku.
Kontak: wartax@yahoo.
Sudilah mengunjungi link ini, ada lebih banyak hal di sana:
http://www.goethe.
http://www.rukukine
http://ultimusbandu
http://www.gramedia
http://www.mizan.
http://halamanganji
Come away with me and I will write you
---© Norah Jones
-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
No comments:
Post a Comment