OPEN STUDIO AGUNG KURNIAWAN Berlangsung dari 7 27 Mei 2009, di Ruang Pamer Kedai Kebun Forum (KKF) Buka setiap hari, jam 11:00 21:00 WIB (Kecuali Selasa, KKF libur) From 7 27 May 2009 At KKF Gallery Open everyday, from 11 a.m. 9 p.m. (Except on Tuesday, KKF is off) Agung Kurniawan lahir tahun 1968 di Jember, Jawa Timur, adalah seorang perupa yang banyak bekerja dengan media drawing. Sepanjang 2006 2008 diantara waktunya yang sibuk dengan kerja-kerja sosial kebudayaan, dia mengeksplorasi tema seksualitas sebagai cara untuk melihat sisi munafik kebudayaan. Selain bekerja sebagai seniman, ia juga adalah pemilik dan pendiri Kedai Kebun Forum (KKF) sebuah ruang yang mengeksplorasi seni pertunjukan dan seni visual berdasar pada ruang, baik secara fisik maupun ideologis. Selain Kedai Kebun Forum, ia juga salah seorang pendiri Yayasan Seni Cemeti yang sekarang berubah menjadi Indonesian Visual Art Archive (IVAA). Karyanya tersebar dan dikoleksi di berbagai Negara oleh kolektor pribadi maupun lembaga. Karyanya yang paling mutakhir produksi tahun 2008, adalah instalasi "Becom(ing) Dutch Project," disimpan di Museum Seni Kontemporer Van Abbe, Eindoven, Belanda, dengan status permanent loan. Memahat Ingatan dalam Garis Kabur Saya menemukan sebongkah album foto lama di lemari, tertumpuk seperti ingatan yang terserak di pojok tergelap otak sebelah kanan. Foto-foto itu berisi tentang kebahagiaan dan kematian, rekam cahaya dari mulut-mulut yang terbuka karena tawa dan duka. Seingat saya album foto keluarga ini jarang dibuka, entah kapan terakhir kali lembar-lembar foto menguning ini menyerap terang neon. Kunjungan ke rumah orang tua bukan peristiwa yang sering saya lakukan, tetapi sesekali ketika datang saya selalu tertarik membuka almari itu. Seperti ada magnet yang menarik saya untuk membuka rak terbawah, kemudian memungut foto album tua dengan sampul bergambar bunga dan perempuan mengenakan longdress dengan senyum yang bagi saya nampak begitu palsu. Hampir semua foto itu berisi tentang keluarga kami: bapak, ibu, kakak, dan adik. Ibu meresmikan sebuah acara, bapak yang nampak selalu jarang tersenyum, kami anak-anak yang selalu berpose seperti habis Lebaran; necis dan nampak bersih serta bahagia. Pada awalnya saya mencoba memindahkan ingatan-ingatan itu pada kanvas, akan tetapi gagal. Kanvas nampak terlalu genit dan palsu. Tak cocok, seperti Osama bin Laden memakai blangkon, kanvas bukan media yang tepat untuk tema ini. Saya kemudian memindah foto itu dalam lembar-lembar plastik untuk saya perbesar dengan kotak terawang (OHP). Merencanakan untuk memindahkannya ke atas kertas, akan tetapi ketika tengah menyelesaikan plastik pertama, saya menemukan bahwa garis di atas bidang transparan itu sungguh menarik. Ketika diterawang pada lampu ada bayangan yang membentuk garis-garis baru. Sebuah gambar baru, tapi kabur. Temuan itu mengingatkan saya pada karya besi gambar yang saya buat untuk sebuah proyek di Belanda. Teralis orang menyebutnya. Tapi saya lebih suka memanggilnya dengan besi gambar. Teralis adalah "seni" yang berkembang di Indoensia sejak munculnya kemampuan menempa besi dan semakin diperluas perkembangannya dengan maraknya teknologi las karbit. Besi yang pada awalnya harus ditempa, dipukul, dan ditekuk untuk membentuk, dengan las karbit semuanya menjadi lebih mudah, dan cepat. Apa pun bisa dibuat. Dari pengalaman inilah kemudian saya memutuskan untuk memindahkan potret lama yang usang itu menjadi besi gambar. Tertarik akan munculnya bayangan dan sifat yang transparan, gambar besi membuat potret keluarga menjadi kenangan yang membias. Seakan dipotret kembali oleh cahaya, dipendarkan kembali menjadi rangkaian garis baru yang membuat gambar dari besi yang padat itu seolah merapuh oleh bayangannya sendiri. Dengan besi gambar ini saya melakukan ziarah pada masa lalu, membaca kembali kenangan yang terekam dalam foto usang. Memendarkannya kembali dalam garis lamat-lamat, berharap tetap bisa mengenang. (Agung Kurniawan) Agung Kurniawan was born in 1968 at Jember, Carving Memories in Blurry Lines I found a hunk of old photo albums in the closet, pilled up just as if memory scattered at the darkest corner of the right brain. Those pictures are about happiness and death, the "light record" of the opened mouths for laughing and sorrow. These photo albums are rarely opened; do not know when the last time of these yellowing pictures absorbed the fluorescent light. Visiting parents' house is not my regular event to do, but some of the time, when I came by, I always feel attracted to open that closet. As if a magnet pulled me to open the lowest drawer, and then picked up the old photo album with flower and a smiling woman wearing long dress, whose smile seems false to me, as its cover. Almost all pictures are about our family: father, mother, brothers, and sisters. My mother inaugurated a program, my father who looked rarely to smile, and we, the children, who always posed just like having Lebaran (Islamic Christmas), well groomed also seem clean and happy. At the beginning, I tried to transfer those memories into canvas, but I failed. Canvas seems too flirtatious and false. It does not seem right, as if Osama bin Laden wears blangkon (Javanese traditional hat), so canvas would not be the exact media for this theme. Then I transferred those pictures into plastic sheets to be enlarged with Overhead Projection (OHP). I planned to transfer them into papers, but, when I was finishing my first plastic, I found that the lines on that transparent sheet are so interesting. When it is seen under the light, there are shadows that formed new lines, a new picture, but blurry. This finding reminds me to my steel-works that I had made for my art project in the Interested in the shadow that showing up and the transparent characteristic, the drawing iron makes the family portrait becomes a reflecting memory. As if it is retaken by light, and luminesced back into a series of new lines that makes the picture of solid iron becomes fragile by its own reflection. Using this drawing iron, I have pilgrimage to the past, rereading the recorded memory in old pictures. Luminisced back in vague lines and hoping able to keep recall it. (Agung Kurniawan)
Jl. Tirtodipuran No. 3 Yogyakarta 55143 Indonesia
Telp./fax. +62 (0) 274 376114
E-mail: kkforum@indosat.
Website: http://www.kedaikeb
Office and Gallery hours, 11.00 am - 07.00 pm
Restaurant hours, 11.00 am - 11.00 pm
We are closed on Tuesday
KKF is a small community established since 1996 with the purpose of providing an arena of learning and studying, in the context of developing sensibilities to all phenomena of social transformation through art.
All activities of KKF are supported by its extraordinary restaurant.
-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
No comments:
Post a Comment