Turut berdukacita atas meninggalnya ANNEKE istri Mas Dicky atau D.O.S. Soekardiman:
Mijdrecht 8 Februari 1926 - Hoorn 6 Mei 2009.
Semoga Mas Dicky tabah menghadapi kehilangan yang tak ternilai ini.
Keluarga Asahan dan Sen.
Hoofddorp, 10 Mei 2009.
Sekedar Catatan:
Mas Dicky atau Pak Soekardiman tidaklah asing bagi masyaraktat Indonesia di Belanda (terutama bagi semua yang biasa diundang di setiap pertemuan di Diemen- Amsterdam. Kecuali itu, juga Pak Soekardiman adalah juga anggota pengurus sebuah organisasi Kebudayaan dan Sejarah yang banyak menyumbangkan karya-karya lukisnya, khususnya pada majalah KREASI yang pernah terbit dan sudah lama mati.
Surat dukacita dengan berita meninggalnya istri Pak Soekardiman itu saya terima kemarin sore dan saya langsung menilpon menurut nomor tilpon yang juga ditulis di surat duka yaitu : 0229 - 243294 dan 07052009(nomor ini aneh karena cuma terdiri dari cuma delapan angka sedangkan yang betul seharusnya yang berlaku di Belanda adalah 10 angka). Saya menilpon dengan yang 10 angka (0229 -243294) namun sia-sia meskipun setiap jam saya ulangi hingga enam kali. Besoknya (hari ini 10-5-2009) saya kembali menilpon sebanyak tiga kali tapi juga sia-sia, tidak ada yang mengangkat. Saya lalu menilpon kesana kemari mencari informasi nomor tilpon yang benar dan untunglah ahirnya saya mendapatkan nomor tilpon yang benar dari seorang teman dan ternyata nomor tilpon yang tertulis dalam surat berita duka cita resmi yang saya terima via Pos, adalah salah hingga saya tidak bisa menghubungi Pak Soekardiman untuk sekedar menyatakan turut berduka cita. Hal itu sempat membuat saya panik karena sungguh saya tidak bisa membayangkan tanpa menilpon Pak Soekardiman yang sedang berduka cita sedangkan Pak Soekardiman ini selain juga adalah kolega dalam organisasi Kebudayaan tapi adalah juga besan Sobron, yang abang saya yang juga sudah almarhum dua tahun lalu. Saya merasa bersukur ahirnya saya bisa menilpon Mas Dicky dan menyatakan turut duka cita saya dan istri saya pada Mas Dicky.
Saya merasa perlu sedikit mengoreksi "budaya dukacita" di kalangan Masyarakat Indonesia, terutamanya di Belanda ini.
Pertama:
Perlu memikirkan mengurangi cara-cara klise yang biasa berlaku setiap ada seorang kawan, kenalan, maupun yang cuma kenal nama hingga tak dikenal sama sekali (bukankah tidak setiap orang terkenal dan dikenal semua orang) tapi bila telah meninggal lalu disebutkan sebagai umpamanya: pahlawan HAM, pejuang gigih yang patut diikuti suri tauladan dan lalu harus meneruskan cita-cita revolusionernya dengan kata-kata emosional yang berlebihan. Apakah setiap kematian harus diangkat dengan serta merta sebagai pahlawan padahal semasa hidupnya tak pernah kedengaran berita-berita keperkasaan dan pengorbanannya yang tak ternilai bagi bangsa Indonesia. Apakah tidak cukup dengan mengucapkan rasa belasungkawa tulus dan sepantasnya, sewajarnya tanpa bumbu-bumbu palsu bagi mengiringi jenazah yang sudah tidak bisa menolak atau menerima puji-pujian yang masih hidup.
Kedua:
Berusahalah memberikan informasi yang relatif lenggkap bagi yang sudah meninggal. Umpamanya tanggal dan tempat lahir dan tempat meninggal, hari meninggal, atau sekedar usia yang meninggal bila tidak bisa diketahui data-data kelahirannya yang pasti. Dan bila mungkin disebutkan juga sebab terahir hingga meninggal atau penyakit yang diderita. Tentu semua itu tidaklah wajib dan harus mesti begitu, tapi juga bila menuruti peradaban manusia yang normal, yang Internasional, informasi-informasi seperti itu adalah juga standard yang biasa berlaku yang menunjukkan peradaban manusia yang juga standard.
Ketiga:
Hindarilah ketidak akuratan dalam informasi pada surat berita duka cita dan usahakan memberikan informasi yang benar seperti: nomor tilpon yang benar, alamat atau tempat pengebumian atau pengkremasian agar bagi mereka yang ingin melayat mudah menemukannya. Budaya akurat pada hal yang kecil-kecil ini juga perlu diperhatikan apalagi bagi mereka yang menjunjung cita-cita agung kemanusiaan. Akurat, juga kebudayaan karena sebuah kecerobohan atau sikap slordig bisa membikin orang lain sulit bahkan hingga panik. Surat undangan ataupun surat berita duka cita harus dikoreksi berkali kali jangan sampai salah memberikan nomor tilpon, informasi kendaraan atau jalan yang harus ditempuh oleh yang bersangkutan.
Keempat:
Khusus mengenai kasus meningglanya istri Pak Soekardiman: Hingga detik ini saya tidak menemukan pernyataan turut berduka cita di Mailing-list (internet). Padahal surat berita duka, saya kira .juga dari organiasi tertentu di Belanda. Tidak seperti biasa bila seorang teman atau kawan yang meninggal yang dengan serta merta diangkat sebagai pahlawan HAM atau pejuang gigih yang harus dituruti suri tauladan dan meneruskan cita-cita revolusionernya yang tak kenal lelah hingga nafas terahir yang bergumul jasa selama hidupnya. Istri Pak Soekardiman adalah seorang warga Belanda biasa yang kematiannya menimbulkan kesedihan bagi Pak Soekardiaman yang Pak Soekardiman adalah juga orang yang cukup dikenal di antara masyarakat Indonesia di Belanda. Tentu tidak ada kewajiban apalagi keharusan untuk menyatakan belasungkawa melalui Mailing-list. Tidak harus memang, tapi saya merasa, juga tidak etis. Dan sesuatu yang tidak etis maupun yang etis, memang tidak ada hukumnya karena dia berada dalam lubuk hati manusia dan bukan dalam peraturan tertulis.
Sekian dan anggaplah ini sebagai bukan kritik tapi hanyalah sebagai sebutir pasir dalam empedu bagi mereka yang masih mempunyainya.
asahan.
No comments:
Post a Comment