Sunday, May 9, 2010

[ac-i] Fw: terjemahan: Pemikiran Sukarno Terhadap Republik Rakyat Cina Oleh: Hong Liu

 

--- On Tue, 4/6/10, kawan kawan <papernas_banten@yahoo.com> wrote:

From: kawan kawan <papernas_banten@yahoo.com>
Subject: terjemahan
To: la_luta@yahoo.com
Cc: "misnan pak haji" <dimasbimasakti@yahoo.com>
Date: Tuesday, April 6, 2010, 11:51 PM

Pemikiran Sukarno Terhadap Republik Rakyat Cina

Oleh: Hong Liu

Sukarno pernah  menjadi bahan perdebatan sebagai politisi yang paling penting dalam menentukan lintasan sejarah postkolonial Indonesia sampai dengan tahun 1965. Pengaruhnya yang luas dan pencapaiannya terhadap politik Indonesia di dalam maupun di luar negeri telah terdokumentasikan untuk diteliti dan dianalisis secara ekstensif. Meskipun terdapat beberapa konsensus dasar mengenai kontribusi Sukarno untuk pembangunan politik Indonesia, para ahli banyak yang tidak setuju terhadap sumber-sumber pemikirannya. Sementara beberapa orang melihatnya sebagai seorang negarawan yang telah dibentuk oleh pendidikan Barat dan oleh pengalaman gerakan nasionalisnya, beberapa orang juga melihatnya sebagai versi modern dari penguasa Hindu-Jawa, yang tindakannya dipandu oleh paham Jawa tradisional.

Terlepas dari perdebatan tentang pembentukan pemikiran dan tindakan Soekarno, ternyata hal ini telah bermula lebih dari dua dekade yang lalu, wacana ilmiah ini telah menjadi dirkursus sepanjang kerangka pengaruh Barat melawan tradisi Jawa. Dalam esensinya yang berdasarkan paradigma Barat, belum ada tempat untuk mengeksplorasi relevansi dari persepsi Sukarno dengan pengalaman negara-negara Asia lain (seperti Cina) dalam hal evolusi pemikirannya. Memang, ini bukan berarti sebuah fenomena yang ekslusif. Standar perlakuan Barat terhadap Indonesia di jaman postkolonial, seperti yang dibayangkanoleh Herbert Feith dan Daniel Lev, juga menunjukkan peran Cina yang tidak boleh diabaikan (baik dibayangkan dan yang sebenarnya) dalam transformasi Indonesia. Dalam diskusi-nya dinyatakan secara jelas bahwa terdapat pengaruh eksternal pada pemikiran politik Indonesia, Feith hanya merujuk pada ide-ide Barat saja dan sama sekali mengabaikan ide-ide dari Cina dan Jepang terhadap model tradisi intelektual Indonesia.

Yang pasti, ada beberapa pengecualian. Setidaknya dua penulis ternama telah memperhatikan dampak yang sangat mendalam terhadap eksposur Cina (melalui kunjungan ke negara tersebut) yang dilakukan Sukamo. Ide Anak Agung Gde Agung, Menteri Luar Negeri Indonesia pada tahun 1955, berpendapat bahwa tahun 1956 perjalanan Soekarno ke RRC adalah "tonggak nyata dalam pembangunan politik Indonesia baik di bidang domestik dan dalam menjalankan kebijakan luar negerinya". Demikian juga, George Kahin berpendapat bahwa Sukarno meminjam dan mengadaptasi beberapa teknik Cina dalam politik dan mobilisasi sosial politik saat ia mendirikan sistem Demokrasi Terpimpin. Namun demikian, para ahli ini kurang dapat menunjukan bukti atas pandangan mereka, juga kurang meyakinkan saat mengkorelasikan antara pandangan Sukarno terhadap Cina dan visi-nya untuk Indonesia. Akibatnya, temuan-temuan ilmiah ini diabaikan atau bahkan dipertanyakan.

Makalah ini mendiskusikan konstruksi dari persepsi Sukarno terhadap RRC dan menunjukkan bagaimana relevansi hal tersebut dengan evolusi pemikirannya. Dikatakan di sini bahwa Sukarno pandangannya sebagian besar didominasi gaya China didalam kecenderungannya terhadap Indonesia. Harapan dari pencitraan Cina yang dibuat dan dibawa sendiri oleh Sukarno, lebih mencerminkan kepada ketidakpuasan politik dan ambiguitas intelektualnya dari realitas Cina yang sebenarnya. Dalam merumuskan agenda-nya untuk Indonesia, Sukarno secara konsisten (hanya) menarik pada gambaran positif tentang keberhasilan Cina.

Gagasannya tentang apa yang tidak beres dengan Indonesia terus-menerus menentang persepsinya tentang apa yang sebenarnya terjadi di RRC. Dengan menggunakan Cina sebagai pernyataan politik dan strategi sosial, Sukarno memasukkan beberapa inspirasi konseptual RRC dan sebagai alternatif praktis dalam melakukan pergantian dari demokrasi parlementer ala Barat dengan Demokrasi Terpimpin. Dengan demikian, Sukarno mengkonversi gambarannya tentang Cina ke metafora Cina, sebuah cermin yang membawa konsekuensi perubahan yang signifikansinya jauh melampaui konotasi aslinya.

Perlu dicatat, bagaimanapun juga, bahwa makalah ini bukan studi tentang pemikiran politik Sukarno secara perse, juga bukan sebuah analisis sejarah postkolonial Indonesia. Fokusnya adalah pada bagaimana persepsi Sukarno tentang Cina dibuat-buat dan, yang lebih penting lagi, terletak pada signifikansi transformasi politik di Indonesia antara tahun 1956 dan 1959. Tahun ini merupakan titik balik dalam karir Sukarno sebagai politikus dan pemikir. Dalam banyak hal, apa yang terjadi selama periode antara tahun 1960 dan 1965 merupakan kelanjutan dari tema utama yang diuraikan oleh Sukarno sendiri selama empat tahun yang krusial sebelumnya. Sukarno dan Cina di Pra-Tahun 1956.

Ketika Soekarno pertama kali mengunjungi Cina pada tahun 1956, dia sudah akrab dengan perkembangan politik dan sosial Cina. Dia sudah lama menyadari pentingnya Cina, dan ia mengatakan pada tahun 1930, "Barangsiapa memegang lingkungan Cina akan mengendalikan urusan dunia Timur seluruhnya". Pengetahuan Sukarno tentang Cina selama era Hindia Belanda didasarkan pada dua sumber utama: publikasi tentang Cina dan kontak pribadi dengan orang Indonesia keturunan Cina. Dr Sun Yat-sen, Mao Tse-tung dan Chiang Kai-shek, dan laporan tentang Cina yang ditulis secara simpatik oleh wartawan Barat, John Gunther. Gunther Stein dalam "The Challenge of Red China", diterjemahkan oleh Liem Koen Hian, misalnya, diterbitkan sebagai Chungking dan Yenan pada tahun 1949. Edgar "Snow Red Star Over China" mungkin pernah tercatat menjadi satu-satunya tulisan yang paling penting dalam mempengaruhi pemahaman seorang nasionalis Indonesia ini dalam memahami Cina. Ini diterjemahkan pada tahun 1938 oleh Siauw Giok Tjhan dan diterbitkan dalam bentuk serial di Sin Tit Po.  Sukarno juga mengembangkan hubungan pribadi yang dekat dengan orang-orang Indonesia keturunan Cina yang mendukungnya, dan ia suka mengadakan diskusi rutin dengan mereka tentang strategi aktivitas nasionalis. Gambaran revolusioner Cina, memperlihatkan kepadanya sebagian melalui Cina perantaranya, dan mungkin ini telah menyumbang kepentingan kuat Sukarno dalam membangun kontak dengan revolusioner di Cina.

Persepsi Sukarno mengenai Cina dikembangkan sebelum sampai tahun 1956, menampilkan tiga karakteristik utama. Pertama, di Cina telah dipenuhi gambar dengan pewarnaan nasionalis yang kuat, yang menjadi sumber inspirasi bagi dirinya sendiri. Sebagai seorang nasionalis yang berdedikasi, keprihatinan utama Sukarno selama era pra-Perang Dunia II adalah memenangkan kemerdekaan dan dalam konteks ini, Cina melakukan rekonstruksi tentang dunia luar. Sukarno menganggap gerakan nasionalis Indonesia menjadi bagian integral dari "nasionalisme Timur"; seperti yang ia katakan pada tahun 1928, "gerakan nasionalis di Indonesia lahir, antara lain, karena inspirasi dari gerakan di negara-negara Asia lainnya". Cina sebagai salah satu model utama nasionalisme Asia dan Dr Sun Yat-sen berada di pusat bayangan nasionalis Cina. Sukarno menganggap dirinya sebagai "murid" Dr. Sun Yat-sen, yang ia gambarkan sebagai "pemimpin nasionalis yang sangat besar" dan "bapak rakyat Cina". Dia mengakui bahwa gagasan-gagasan Sun Yat-sen telah memberinya beberapa rangsangan intelektual dalam mengembangkan nasionalisme dan ideologi negara Indonesia, yakni Pancasila. Dalam pidato tahun 1945 sampai komite penyusunan konstitusi Indonesia, Sukarno menyatakan bahwa "sejak saat itu [1918], nasionalisme telah ditanamkan dalam hatiku, melalui pengaruh dari [Sun Yat-sen's] Three People's Principles [democracy, nationalism, and socialism]". Pengetahuan pertama Sukarno mengenai konsep Pan-Asianisme juga dari Sun Yat-sen.  Ide-ide yang ditemukan pada essainya tahun 1928, "Indonesianisme dan Pan-Asianisme", ini mirip dengan apa yang diuraikan oleh Sun Yat-sen, keduanya  menekankan nasib umum bangsa Asia.

Kedua, Sukarno yakin bahwa Indonesia dan Cina memiliki tujuan yang sama dan aspirasi yang sama dalam perjuangan mereka untuk kemerdekaan nasional. Keyakinan ini merupakan kelanjutan dari Pan-Asianisme-nya, dan ia menulis di koran Suluh Indonesia Muda pada tahun 1928:
 
Orang-orang mulai menjadi sadar akan rasa persatuan dan persaudaraan antara orang-orang Cina dan orang-orang Indonesia, yaitu, bahwa keduanya orang Timur, keduanya adalah orang-orang yang menderita, orang-orang yang sama-sama berjuang, menuntut hidup bebas.... Karena banyak dari masyarakat Asia pada umumnya melahirkan perilaku seragam;  nasib yang sama pasti melahirkan perasaan yang seragam.

Ia menyimpulkan dengan mengatakan bahwa Indonesia dan masyarakat Cina "teman-dari-satu-nasib, rekan-dari-satu-upaya, kawan-dari-satu-didepan".

Pada tahun 1946, Sukarno saat kunjungan resmi KMT berkata, bahwa teori negara Indonesia tidak banyak berbeda dari Sun Yat-sen. Karena paralelisme ini dapat dirasakan, Sukarno suka untuk mengambil strategi Sun Yat-sen dengan menyatukan para nasionalis dan para komunis sebagai pembenaran dirinya atas sebuah upaya untuk menyatukan nasionalisme, Marxisme, dan Islam.

Ketiga, pasca tahun 1949 Cina sebuah negara nasionalistik dan populis dalam bayangan Sukarno. Seperti kebanyakan cendekiawan Indonesia waktu itu, ia memandang teori Mao Tse-tung yaitu Demokrasi Baru sebagai ekspresi asli nasionalisme Cina dan perluasan prinsip Sun Yat-sen dari Three Peoples.

Sejak Sukarno mengakui bahwa Prinsip-prinsip ini merupakan salah satu fondasi intelektual utama dari ideologi negara Indonesia, tampaknya ada prospek nyata bahwa dia akan mengembangkan rasa kedekatannya dengan RRC dan dengan Mao Tse-tung, yang ia anggap Mao sebagai pengganti dari Sun Yat-sen. Dia mengikuti perkembangan politik Cina erat sepanjang paruh pertama tahun 1950-an dan sangat terkesan dengan "sentralisme demokratis". Dia menyarankan pada tahun 1954 bahwa Indonesia harus membentuk Kongres Rakyat mirip dengan yang ada di Cina. Sukarno juga cukup akrab dengan tulisan-tulisan politik dan budaya dari Mao Tse-tung dan Lu Xun, seorang penulis terkenal Cina yang berhaluan kiri.

Sukarno tentang Cina, secara singkat, memandang negara tersebut sebagai  ketiadaan ideologi Komunis dan dominasi bayangan nasionalistis. Pemisahan Cina dari Komunisme adalah fitur sentral dalam pembangunan Sukarno di tahun pra-1956. Salah satu alasan utama untuk mengecilkan peran komunisme terletak pada fakta bahwa gambaran Sukarno mengenai Cina yang kuno terutama oleh keprihatinan domestik nya. Ketika kemerdekaan nasional yang menjadi pertimbangan utama, ia melihat Cina sebagai cahaya inspirasi nasionalis yang penting. Dengan cara yang sama, ia semakin frustrasi dengan kritik dan demokrasi ala Barat yang memicu suatu kepentingan dalam pengalaman RRC. Sebagai negara non-komunis Cina muncul memberikan alternatif yang masuk akal.

Pemimpin RRC sangat tertarik kepada Sukarno pada paruh pertama tahun 1950-an, terutama karena Indonesia merupakan negara besar di wilayah yang memiliki hubungan diplomatik dengan Cina. Terlepas dari kenyataan bahwa Sukarno merupakan presiden yang hanya memegang kekuasaan simbolis, orang Cina menganggapnya sebagai pemimpin yang memegang otoritas tertinggi di Indonesia terhadap kebijakan domestik dan eksternal. (Kesalahpahaman ini mungkin berasal dari pola politik RRC, di mana konsep demokrasi parlementer dan praktek pembagian kekuasaan tidak punya tempat) Sukarno oleh karena itu di tengah-tengah upaya China untuk menarik simpati dan dukungan Indonesia. Cina rupanya berharap seorang presiden yang pro-Cina akan memiliki pengaruh positif terhadap sikap masyarakat Indonesia terhadap RRC. Sebelum mengambil jabatannya sebagai duta besar Cina ke Jakarta pada tahun 1954, Huang Zhen telah memutuskan untuk memfokuskan upaya diplomatik pada Sukarno. Yakin bahwa "Presiden Sukarno adalah seorang patriot dan pemimpin nasionalis Indonesia", Perdana Menteri Zhou Enlai menginstruksikan Huang Zhen untuk memupuk hubungan dekat dengan Sukarno. Minat kuat Cina dalam Sukarno diwujudkan tidak hanya dalam dimensi kebijakan, tetapi juga pada tingkat pribadi. Cina, misalnya, secara rutin memberikan Sukarno dengan dim sum (salah satu makanan favoritnya) yang dibuat oleh koki duta. Sebuah kepentingan bersama yang dituangkan dalam lukisan juga berkontribusi pada penempaan hubungan pribadi antara Soekarno dan Huang Zhen. Pada musim panas tahun 1956, atas permintaan Sukarno, Huang Zhen mengatur publikasi set enam-suara (pidato Sukarno), lukisan-lukisan dari koleksi Dr. Sukarno (dalam bahasa Cina) di Peking, yang tidak muncul dalam bahasa lain (termasuk Indonesia). Sebuah volume pidato yang dipilih Soekarno, menekankan tema anti-imperialisme dan solidaritas Afro-Asia, diterbitkan di Cina pada saat yang sama. Itu adalah indikasi bahwa Cina tampaknya melihat Sukarno sebagai pemimpin utama anti-Barat di negara-negara yang baru merdeka. Tidak ada pemimpin Indonesia lainnya waktu itu, bahkan ketua Partai Komunis, DN Aidit, belum diberikan pengakuan serupa. Sukarno sangat senang dengan publikasi tulisan-tulisannya dan koleksi lukisan di Cina, yang, kata Sukarno, "telah membuat seni Indonesia dikenal di seluruh dunia". Sementara itu, perbaikan yang signifikan hubungan Sino-Indonesia setelah Konferensi Bandung 1955, di mana Zhou Enlai menerima pujian luas untuk diplomasi itu, yang dinilai realistis dan bijaksana, tidak diragukan lagi telah memberikan kontribusi positif atas gagasan Sukarno tentang Cina. Nafas panjang Perjanjian Sino-'Indonesian Dual Nationality' pada tahun yang sama kemudian membuka jalan baginya untuk melakukan kunjungan mendatang ke RRC.

Atraksi Sukarno ke RRC sehingga terkonvergensi dengan baik dengan upaya terakhir untuk memupuk dukungannya. Dan ketika Sukarno menyatakan minat berkunjung ke China, orang Cina segera menyampaikan undangannya, sehingga ia dapat memulai kunjungan bersejarahnya di tahun 1956.

Sukarno Pergi ke Peking

Soekarno melakukan perjalanan ke Cina pada musim gugur 1956. Ini adalah saat yang kritis baik dalam sejarah pasca kolonial di Indonesia dan di dalam pengembaraan pribadi Sukarno.  Itu menjadi sangat disayangkan bahwa pada akhir tahun 1955, harapan yang tinggi dalam memenangkan kemerdekaan sebagian besar terpenuhi, mimpi untuk menemukan keadilan dan masyarakat yang sejahtera telah hancur oleh realitas stagnasi ketidakstabilan politik, ekonomi, dan kekacauan sosial. Pemilihan nasional pertama pada tahun 1955 hanya diperburuk masalah negara dengan memperdalam perpecahan yang ada. Dalam lingkungan yang bergejolak, para pemimpin politik Indonesia dan intelektual dihadapkan dengan beberapa pertanyaan yang menakutkan: Apa yang tidak beres dengan bangsa mereka? Apakah demokrasi gaya Barat sistem politik terbaik bagi Indonesia? Jika tidak, apa alternatif yang sesuai? Sukarno memimpin dalam mengartikulasikan arti negara dari keterasingan dan frustrasinya. Pada saat itu, ia juga mencari jalan ke depan. Bahkan sebelum 1956 Sukarno telah menjadi kritikus yang vokal bagi sistem demokrasi parlementer, tapi ia tidak tahu secara persis apa yang terbaik bagi politik dan lembaga sosial  yang mungkin akan menggantikan sistem yang ada, begitu pula apakah ia yakin dengan apa landasan teoritis harus mendasari sistem baru tersebut. Meskipun ia tidak menyebutkan konsep "Demokrasi Terpimpin" di awal 1950-an, banyak pertanyaan yang tetap belum terjawab. Sebagai contoh, bagaimana menyeimbangkan kepemimpinan dengan demokrasi? Bagaimana menggerakkan masyarakat untuk pembangunan sosial-ekonomi, namun pada saat yang sama menjaga stabilitas politik? Apa petunjuk ideologis yang paling efektif untuk struktur baru yang diusulkan? Sukarno tidak memiliki jawaban singkat yang jelas atas pertanyaan yang mendesak ini. Ia berada pada titik kritis yang menjadikan contoh China sebagai faktor yang signifikan mempengaruhi rencananya untuk mereformasi Indonesia.

Di tahun 1956 perjalanan luar negeri Sukarno yang penting dalam menyediakan dirinya dengan contoh-contoh konseptual dan praktis pembangunan bangsa, dan pada gilirannya akan memainkan peranan penting (kembali) dalam merumuskan visi sendiri untuk negara Indonesia. Perjalanan ini juga penting karena mereka memberikan dia kesempatan untuk mengamati dan membandingkan dua  negara dengan sistem sosial yang besar. Setelah kunjungannya ke Amerika Serikat dan Eropa Barat antara bulan Mei dan Juni 1956, Soekarno melakukan perjalanan ke Yugoslavia, Cekoslovakia, Rusia, Mongolia, dan RRC. Sebelum memulai perjalanan negara ini, Sukarno menyatakan bahwa ia memiliki agenda pencapaian jauh dalam pikirannya: "Setelah saya kembali dari kunjungan luar negeri, saya dapat mengatakan dengan pasti apa yang akan menjadi jalan terbaik bagi kita untuk menunaikan tugas sebagai nation building". Dalam nada yang sama, Menteri Luar Negeri, Roeslan Abdulgani, kemudian melaporkan kepada Parlemen tentang perjalanan Presiden ke luar negeri:" Apa yang kami telah lihat setidaknya bisa digunakan sebagai materi untuk perbandingan dan studi dalam tugas kita sendiri, dan dalam upaya kita untuk mencapai produksi lebih besar dari yang telah kita lakukan sampai saat ini .... Di berbagai cara kita mampu memanfaatkan pengalaman mereka."

Perjalanan Sukarno ke Amerika Serikat menuai kekecewaan. Meskipun dia terkesan oleh kemajuan di Amerika, Sukarno menyadari bahwa Indonesia dan Amerika Serikat berada di tahap perkembangan yang berbeda dan bahwa akan sulit bagi bangsanya untuk mengejar ketertinggalan dengan Amerika. Meskipun Indonesia adalah negara yang baru merdeka, Amerika Serikat telah lama memantapkan dirinya sebagai negara yang paling maju di dunia. Sementara itu, sebagai seorang politikus yang membenci kapitalisme dan ketimpangan sosial, Sukarno tidak mungkin tertarik dengan pengalaman Amerika moderen. Ini mungkin alasan utama mengapa Soekarno suka menginformasikan bahwa ia tidak menganggap perjalanan politik ke Amerika sebagai suatu yang signifikan.


Meskipun Sukarno dan partainya diterima dengan baik oleh Rusia, mereka juga tidak terlalu senang dengan perjalanan ke Uni Soviet, yang digambarkan sebagai "sesuatu yang jauh dari sukses kurang wajar tanpa pengecualian". Untuk satu hal, Indonesia cenderung banyak melihat Uni Soviet sebagai negara Barat moderen. Namun, Sukarno dan anggota partainya merasa heran menemukan adanya masalah sosial yang serius di Uni Soviet. Sebagai contoh, meskipun Uni Soviet memiliki kemajuan material yang luar biasa, Indonesia masih melihat kemiskinan, kemelaratan. Mereka juga kecewa karena  perawatan terhadap para Muslim. Menurut Zainul Arifin, wakil pembicara kedua Parlemen Indonesia, "Di sini agama Islam menyerupai lampu terang yang hampir mati dan minyak yang belum diperbaharui". Menurut salah satu ajudan Sukarno, meskipun di Rusia diperlakukan baik dan diatur upaya untuk memenangkan simpati Sukarno, "Aku tidak melihat indikasi apapun pada Bung Karno untuk mengubah pandangannya, dan saya kira majalah Time 17 September [1956], benar dengan mengatakan bahwa "meskipun Sukarno adalah adik ia tidak berarti "kamerad".

Mungkin ada unsur budaya dalam sikap Sukarno yang tidak antusias terhadap AS dan Uni Soviet. Seperti disebutkan sebelumnya, Sukarno sudah lama memeluk ide Pan-Asianisme dan cenderung melihat dunia terbagi antara Timur dan Barat. Ia datang dengan percaya bahwa Timur bisa berfungsi sebagai pemimpin moral dunia. Keyakinan ini jelas dimanifestasikan dalam salah satu pidato 1956 nya, berjudul "gerakan spiritual di Asia sebagai kekuatan moral dunia", yang disampaikan di Heidelberg, Jerman Barat. Menyatakan bahwa kekuatan ekonomi dan militer dan efisiensi yang mengatur negara-negara Barat ibarat seperti toko besar itu kurang jauh lebih penting daripada prinsip-prinsip moral Timur, Soekarno memproklamasikan.

Kekuatan terkuat di dunia ini adalah gagasan. Filosofi kami bersandar pada prinsip-prinsip etis dan negara kita dibangun di atas dasar etis ini. Dan prinsip-prinsip etis menentukan seluruh kehidupan kita .... Kekuatan gagasan itu tinggi daripada semua kekuatan lain dan semua bangsa telah mengakui ini setiap saat dan telah membentuk spiritual dan tatanan moral. Tapi kau sering menyalahgunakan pesan ini dan telah memberikannya jejak materialistis dengan hasil yang ada konflik antara prinsip-prinsip dan praktek.

Singkatnya, situasi yang tidak diinginkan dalam  negeri di Indonesia mendorong Sukarno untuk membandingkan  negara sendiri dengan dunia luar dalam  usahanya untuk mencari "jalan keluar", sedangkan hasil yang mengecewakan dari perjalanannya ke Amerika dan Uni Soviet memaksanya untuk melihat ke China sebagai sumber inspirasi . Sukarno berniat untuk membangun sistem politik Indonesia masa depan yang didefinisikan secara luas dalam tradisi Timur  dengan meningkatkan daya tarik RRC sebagai contohnya.

Sukarno di Cina: Transmutasi Melalui Pariwisata

Sukarno tiba di Peking pada tanggal 30 September 1956. Segera setelah mendarat di Cina, ia melihat bahwa resepsi untuk semua kunjungannya di negara-negara lain sangat kerdil dibandingkan oleh skala kemegahan dari cara penerimaan yang diberikan RRC. Sukarno memuji "the most distinguished visitor and a staunch champion of anti-colonialism", Cina memuji kunjungannya sebagai peristiwa paling penting dalam hubungan Sino-Indonesia. Seorang wartawan Cina dengan jelas menggambarkan adegan penyambutan yang berwarna-warni:

Pentingnya kunjungan Presiden Sukarno ke Cina itu cukup tercermin dalam semangat dari penyambutan yang diberikan oleh rakyat Cina kepadanya. Kemana pun ia pergi, ia disambut oleh kerumunan massa besar, yang menyoraki dia dengan tepuk tangan hingga memekakan telinga. Hampir seluruh pemerintah Cina pergi ke bandara untuk bertemu dengannya. Mobil di mana ia dan Ketua Mao naiki diikuti oleh garis-garis yang dipenuhi orang.

Lebih dari 300.000 Cina berbaris di sepanjang jalan dari bandara ke pusat kota untuk menyambut Sukarno. Menurut asisten pribadi Sukarno, "Itu adalah karpet merah manusia dengan denyutan manusia yang menelan Sukarno pada saat kedatangannya, dipimpin langsung oleh Ketua Mao Tse-tung. Karpet manusia ini berteriak dan bersorak 'Hidup Bung Karno' (Long Live Bung Karno)." Roeslan Abdulgani juga sama terkesan dengan resepsi tersebut, "yang begitu penuh warna itu seakan mencerminkan kemuliaan dan ribuan tahun sejarah lama dan kebudayaan Cina".

Sukarno pasti sangat merasa tenang ketika tiba di Peking; seperti yang dikatakan ajudannya, "sepertinya garis komunikasi antara kedua pemimpin [Sukarno dan Mao] langsung terbangun (diantara mereka) dan mereka berpelukan seolah-olah mereka saling kenal sejak lama". Sensasi kedekatannya ini secara pribadi dipertegas dengan penekanan konstan pemimpin Cina pada tema-tema kepentingan bersama. Dalam sambutannya, Mao Tse-tung memuji Sukarno sebagai "kepemimpinan yang luar biasa" dalam perjuangan melawan kolonialisme dan mengingatkan tamu-tamunya bahwa kedua negara berbagi aspirasi yang sama. "Apa cita-cita rakyat Indonesia?" Mao mengajukan pertanyaan yang tajam dan melanjutkan, "mereka mencita-citakan kemerdekaan, perdamaian, dan sebuah dunia baru ini adalah cita-cita yang sama persis orang-orang Cina..". Mengulangi Mao, Sukarno menyatakan, "orang-orang Cina dan Indonesia telah memiliki banyak hal yang sama.... ideal anda sama dengan kita, ideal anda adalah untuk membangun sebuah dunia baru yang bebas dari eksploitasi, penderitaan, dan penindasan - sebuah dunia di mana orang dapat hidup bebas dan bahagia.. hal tersebut juga cita-cita kami" Sukarno. menganggap Cina tidak hanya sebagai" saudara ", tapi sebagai "kawan seperjuangan". Kemenangan Cina adalah kemenangan Indonesia", ia menyatakan, "dan kemenangan Indonesia adalah kemenangan Cina".

Dalam suasana ramah, Sukarno mengelilingi Cina selama 17 hari dan mengunjungi kota-kota Peking, Shengyang, Anshan, Changchun, Luda, Nanjing, Shanghai, Hangzhou, Wuhan, Guangzhou [Kanton], dan Kunming. Seperti orang Indonesia yang lainnya pergi ke Cina di tahun 1950-an, ketertarikan Sukarno kepada RRC sangat menguntungkan, yang diperkuat oleh fakta bahwa delegasi sengaja ditunjukkan oleh tuan rumahnya hanya contoh model kemajuan Cina dalam bidang sosial dan ekonomi. Dia sangat kagum dengan kemajuan ekonomi yang luar biasa di Cina, kepemimpinan yang kuat dan stabilitas politik, dan mobilisasi massa dari orang-orang yang memiliki semangat tinggi.

Sukarno menunjukkan rasa kagum yang tulus pada pembangunan besar-besaran ekonomi Cina. Ia terutama tertarik kepada proyek-proyek besar Cina yang sedang berjalan, seperti Jembatan Sungai Yangtze. RRC sedang memasuki era "dengan masa depan yang cerah", Sukarno mengatakan bahwa prestasi baru di bidang ekonomi akan mengikuti "prestasi luar biasa yang ada". Laporan kepada Parlemen Indonesia melalui Menteri Luar Negeri Roeslan Abdulgani, yang dapat diartikan sebagai indikasi daya tarik Sukarno dengan kemajuan China, ia menyatakan bahwa para delegasi tertarik dengan tayangan konkret yang ditunjukan Cina, "Republik Rakyat Cina sekarang mengejar Barat dalam bidang produksi dan industri ".

Bagi Sukarno kunci keberhasilan Cina tidak terletak pada ideologi komunis, tetapi dalam stabilitas politik, yang dilambangkan dengan penyatuan orang-orang Cina yang merupakan "satu kesatuan". "Karena ini solidaritas", Sukarno mengumumkan, "RRC tidak akan dihilangkan". Stabilitas politik ini lebih lanjut difasilitasi oleh adanya kepemimpinan yang kuat dan bersatu. Sukarno mengatakan kepada para wartawan Indonesia "pemimpin Cina merupakan model kerja manusia; mereka sedikit berbicara dan banyak bekerja."

Kesan Sukarno yang paling mendalam terletak pada semangat tinggi orang-orang Cina. Berikut Sukarno berbagi interpretasi populis dengan mayoritas pengamat Indonesia China. Nada populis ini ditandai dengan asumsi bahwa tanggung jawab akan prestasi yang luar biasa dari RRC terletak pada rakyat Cina itu sendiri daripada Partai Komunis yang ada disana. Tersirat dalam penjelasan ini adalah kecenderungan untuk meminimalkan pengaruh ideologi Komunis dan teori perjuangan kelas. Sukarno menyebutkan beberapa kemajuan pesat Cina karena dua faktor utama: Cina diberkahi dengan semua sumber daya alam yang diperlukan untuk pembangunan ekonomi, dan lebih penting lagi, orang-orang Cina "aset RRC paling berharga" yang bekerja giat dan bersedia untuk mengorbankan kepentingan individu untuk kepentingan bangsa. Penekanan pada semangat, kerja keras, dan disiplin dari orang-orang Cina melalui semua pengamatan Sukarno tentang Cina. "Ketika Ketua Mao Tse-tung tinggal di pegunungan [selama perang anti-Jepang dan anti-KMT], apa yang dia miliki? Apa yang pengikutnya miliki?" Sukarno mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk khalayak Cina dan memberikan jawaban: "Semua yang mereka miliki adalah semangat tinggi dan semangat membara, yang menjelaskan mengapa Ketua Mao akhirnya mampu mendirikan RRC". Semangat ini bisa menghasilkan konsekuensi yang nyata.. "Karena hati kuat dan semangat membara, anda dapat membangun industri perusahaan raksasa di sini", yang ia katakan kepada para pekerja di sebuah kota industri. Sukarno menyimpulkan bahwa semangat besar adalah senjata paling efektif baik bagi Indonesia maupun di Cina.

Yang pasti, penekanan pada kekuatan spiritual, kepemimpinan yang kuat, dan kesatuan merupakan hal yang penting bagi Sukarno jauh sebelum ia berkunjung ke Cina. Apa yang dia lihat di RRC, ternyata untuk pertama kalinya bahwa unsur-unsur ini tidak hanya mendasar bagi gerakan nasionalis yang sukses, tetapi juga penting untuk pembangunan bangsa. Contoh Cina demikian mempertegas kembali validitas ide Sukarno yang telah lama ia pegang. Penemuan inspirasi baru ini menjadi salah satu kekuatan pendorong penting dalam upaya selanjutnya Sukarno untuk mengubah masyarakat Indonesia.

Dengan pemahaman tentang kemajuan Cina dan dinamikanya, Sukarno menjadi sangat tertarik pada metode negara ini dalam menempa persatuan dan menyalakan kekuatan spiritual rakyat. Selama tinggal di RRC ia mengangkat sejumlah pertanyaan menunjuk dengan para pemimpin Cina tentang pendekatan mereka untuk pembangunan nasional. pertanyaan-nya itu dibingkai dengan harapan menemukan solusi untuk masalah-masalah dalam negeri Indonesia sendiri. Salah satu masalah utamanya adalah hubungan antara demokrasi, kediktatoran, stabilitas politik dan kepemimpinan. Mao Tse-tung, yang telah lama berpendapat bahwa demokrasi hanya "sebuah sarana untuk mencapai akhir", menyarankan kepada Sukarno bahwa "perlu ada demokrasi, tetapi juga penting untuk memiliki solidaritas demi menghindari kekacauan". Baik Mao dan Zhou Enlai dilaporkan mengatakan bahwa Sukarno tidak harus menjadi komunis tetapi Sun Yat-sen yang bisa menyatukan semua faksi politik. Marsekal Chen Yi, wakil perdana menteri Cina (setelah tahun 1958 menteri luar negeri), memainkan peran penting dalam bagian menyampaikan informasi positif mengenai China ke Sukarno. Chen Yi, yang telah bertemu Sukarno di tahun 1955 saat Konferensi Bandung, mendampingi delegasi Indonesia tersebut sepanjang perjalanan di Cina. Atas permintaan Soekarno, Chen Yi memberikan penjelasan rinci tentang pengalaman Cina dalam pembangunan ekonomi. Pada satu titik Sukarno bertanya tentang teknik yang digunakan untuk mengontrol militer (tampaknya merupakan refleksi dari usaha Sukarno untuk mengatasi semakin tegangnya hubungan sipil-militer di Indonesia pada saat itu). Chen Yi mengatakan bahwa salah satu metode yang paling efektif adalah rotasi reguler komandan militer regional. Dia juga menjelaskan kepada Sukarno dasar-dasar "demokrasi Cina dengan kepemimpinan" dan bagaimana hal itu berbeda dari demokrasi "palsu" dari Barat. Sebelum meninggalkan Cina, Sukarno meminta Chen tentang metode kepemimpinan memerintah sebuah negara besar seperti RRC. "Ketua Mao Tse-tung telah merumuskan metode kepemimpinan yang terbaik", jawab Chen Yi, "ia sering berkata bahwa yang paling penting adalah untuk memberikan inspirasi dan ide-ide untuk memanfaatkan kader". Chen kemudian mulai menjelaskan secara rinci aplikasi dari metode ini.

Perjalan Sukarno di tahun 1956 ke Cina adalah faktor penting dalam membentuk persepsi tentang RRC. Karena Sukarno dianggap China sebagai contoh keberhasilan pembangunan sosial-ekonomi di negara-negara yang baru merdeka, dia suka menggunakan Cina sebagai antitesis untuk menunjukkan kekurangan transformasi postkolonial Indonesia. Dia yakin bahwa RRC mwmpunyai efek besar dalam usahanya mencapai harapannya untuk Indonesia. Dalam perjalanan pulang, Sukarno mengatakan kepada wartawan Indonesia "selama kunjungan saya ke negara demokratis saya menyaksikan realisasi cita-cita saya telah dirumuskan sejak 1929.... Di RRC saya melihat praktek demokrasi terpimpin (Demokrasi terpimpin ), dan hanya demokrasi dengan panduan ini dapat membawa orang ke dalam dunia baru, sebuah dunia baru benar-benar adil dan makmur ".

Persepsi Sukarno terhadap Cina dan Visi-Nya untuk Indonesia

Transisi ke Demokrasi Terpimpin dan Inspirasi Cina
Di tahun-tahun antara 1956 dan 1958 menjadi penting bagi Sukarno di perumusan cetak biru untuk Indonesia. Dalam proses ini ia terus-menerus dan konsisten memanfaatkan contoh Cina sebagai pernyataan politik dan perangkat strategis mendukung seruannya untuk perubahan politik. Ini diilustrasikan dengan banyaknya menggunakan referensi China di hampir semua pidatonya terutama setelah ia kembali. Lebih khusus lagi, presentasinya mengenai gambaran Cina agaknya terkait dengan pandangan-pandangannya transformasi masyarakat Indonesia, yang dapat dilihat dari tiga aspek: kebutuhan untuk perubahan, arah perubahan, dan metode-metode perubahan.

Pertama-tama, contoh Cina memperkuat keyakinan Sukarno bahwa Indonesia harus meninggalkan sistem politik yang ada. Situasi kacau di negeri Indonesia yang disajikan sangat kontras dengan apa yang ia saksikan di Cina. Begitu mendarat di Jakarta pada tanggal 17 Oktober 1956, Sukarno berkata bahwa "ia merasa muak melihat kondisi kami di sini" dan ia terkejut oleh "degenerasi" partai politik di Indonesia. Pada tanggal 28 Oktober, dalam pidato pertamanya di hadapan publik setelah kembali dari perjalanan luar negeri-nya, Sukarno menyatakan bahwa ia sangat terkesan oleh upaya rakyat Cina untuk membangun sebuah masyarakat baru. Komentar yang posititf mengenai Cina menjadikannya sebagai alasan untuk mengkritik situasi Indonesia: "kita membuat kesalahan yang sangat besar pada tahun 1945 ketika kita mendesak pembentukan partai, partai, dan partai". Dua hari kemudian, Sukarno mengungkapkan bahwa ia memiliki sebuah "konsepsi" untuk mengatasi permasalahan Indonesia. Dia sudah lama merasakan ketidakpuasan melihat partai-partai telah menjadi kendaraan untuk melayani kepentingan pribadi para pemimpin mereka, kata Sukarno, padahal ia sebelumnya tidak pernah menyatakan ketidakpuasannya ini. Perjalanan ke Cina telah membawa perubahan parsial pada pemikirannya. "Aku datang kembali dari kunjungannya dari Uni Soviet, Yugoslavia, Cekoslowakia, Mongolia, dan Republik Rakyat Cina dengan rasa yang luar biasa takjub", Sukarno menyatakan, "Aku tidak sedang bermimpi .... saya mengusulkan  para pemimpin rakyat untuk berunding dan memutuskan untuk membubarkan semua partai-partai." Dalam pidato yang disampaikannya di Banjarmasin, 22 Juli 1957, Sukarno melanjutkan serangan (kritikannya) terhadap demokrasi parlementer yang tidak cocok bagi Indonesia dan  mendesak Indonesia untuk mengadopsi pendekatan Cina untuk keluar dari situasi yang sekarang ini.

Kedua, Cina dianggap memberikan Sukarno contoh  model yang layak untuk mengarah kepada perubahan. Jika perubahan itu diperlukan, sebagaimana sebagian besar orang Indonesia setuju dengan ini, lalu bagaiman perubahan ini seharusnya diarahkan? Sukarno telah menjelaskan bahwa demokrasi gaya Barat dan pola pemikiran Barat tidak berfungsi di Indonesia. Dia juga mempunyai kesimpulan bahwa Amerika Serikat dan Uni Soviet terlalu maju bagi Indonesia untuk di contoh dalam kondisi praktis mereka. Di sisi lain, dalam pengamatan Sukarno praktek Cina memperkuat pendapatnya yakni Asia berbeda (dengan Barat) dan masalah-masalah Asia semestinya harus ditangani dengan menggunakan "rumus Asia". Sebagai negara Asia yang baru merdeka,  membuat pencapaian ini terlihat luar biasa, RRC jelas memiliki daya tarik yang besar kepada Sukarno. Mengikuti Mao Tse-tung, ia mulai percaya bahwa demokrasi hanya "sebuah sarana untuk mencapai tujuan". Bagi Sukarno terdapat dua hal penting dari sistem baru yang akan diusulkan seperti "kepemimpinan" dan "sosio-demokrasi". Keyakinan ini terinspirasi dari apa yang ia sendiri saksikan di Cina, yaitu, peran vital dari kepemimpinan, dan stabilitas dalam membangun bangsa. Dalam "Konsepsi Pidato" pada tanggal 30 Oktober 1956, Sukarno memaparkan, demokrasi yang saya inginkan bagi Indonesia bukanlah demokrasi liberal Barat .... Apa yang saya inginkan untuk dimiliki Indonesia adalah sebuah demokrasi terpimpin, demokrasi dengan kepemimpinan. Sebuah demokrasi terpimpin, sesuatu yang dipandu tetapi masih demokratis... terutama jika kita ingin melakukan pembangunan seperti orang di negara-negara lain yang pernah saya lihat, misalnya, di RRC.

Praktek Cina dalam sosio-demokrasi sebagaimana yang dipahami oleh Soekarno telah meninggalkan jejak/pesan pada substansi yang spesifik demi memperbaiki Indonesia. Pada 3 Juli 1957 Soekarno menyampaikan apa yang dianggapnya "sebagai salah satu pidato paling penting dari seluruh hidupnya" sebelum Konferensi Partai Nasionalis Indonesia di Bandung . Membedakan sosio-demokrasi dari demokrasi parlementer (yang merupakan filosofi "dari borjuis yang bangkit. "di Barat), Soekarno berpendapat bahwa Indonesia harus mengadopsi sosio-demokrasi yang akan mengarahkan pada kesejahteraan ekonomi dan kesetaraan sosial. Untuk tujuan itu diperlukan  tempat bagi konsep "kebebasan" dalam konteks yang tepat. "Di Amerika Serikat, mereka memprioritaskan kebebasan berbicara akan tetapi kebebasan from want di kemudiankan" praktek ini menurut Sukarno, telah menciptakan kesenjangan sosial. Di sisi lain, di Uni Soviet dan RRC, "apa yang diberikan prioritas, apa yang dicari pertama adalah kebebasan from want; kebebasan berbicara, jika perlu, datang setelahnya". Sukarno kemudian memaparkan secara rinci percakapannya dengan Madame Soong Ching Ling (janda Dr. Sun Yat-sen's) di Peking bulan lalu, dan Sukarno setuju dengan mengutip jawaban Soong saat ia bertanya mengapa Cina menempatkan freedom from want sebelum freedom of speech: "karena perut tidak ingin menunggu". Maka Sukarno menyimpulkan bahwa Indonesia harus memiliki sistem sosio-demokrasi,." di mana Parlemen memiliki kewenangan untuk menentukan kebijakan bangsa politik dan ekonomi, seperti di RRC dan Uni Soviet".

Ketiga, RRC sebagai model sebagaimana untuk menghasilkan perubahan politik yang positif. Dengan pertanyaan-pertanyaan tentang perlunya perubahan dan menjawab soal arah perubahan, masalahnya bagaimana menerapkan perubahan yang diperlukan ini dapat muncul ke permukaan. Sekali lagi, Sukarno menggunakan Cina sebagai contoh untuk alat politiknya dalam memvalidasi pendekatan itu. Dua poin utama yang menarik perhatian Sukarno: memobilisasi rakyat dan membentukan sistem kader. Mobilisasi massa sudah lama menjadi cara favorit Sukarno dalam pendekatan untuk melakukan perubahan sosial; pengalaman RRC memperkuat kepercayaan Sukarno terkait dengan keefektifan hal tersebut. Misalnya, dia menunjukkan bahwa Cina telah membuat kemajuan luar biasa dalam bidang produksi, dan Indonesia bisa meniru beberapa metodenya. Setelah kembali dari RRC, Sukarno menjabarkan lebih lanjut pendapatnya, bahwa kesuksesan Cina terletak bukan pada sistem politik negaranya, tetapi bagaimana mobilisasinya dan semangat yang tinggi rakyatnya. Kemudian pertanyaannya, bagaimana memobilisasi rakyat. Dalam menghadapi masalah ini, Sukarno mungkin teringat diskusi panjang dengan Marsekal Chen Yi, yang menyarankan tentang beberapa unsur-unsur penting dari metode kepemimpinan Cina, yakni "menawarkan gagasan yang inspiratif dan memanfaatkan kader sebaik-baiknya". Pada perjalanan pulang kembali Sukarno telah tertarik dengan apa yang dicontohkan Cina: "Karena orang-orang Cina memiliki tujuan yang jelas dan semangat yang tinggi, mereka mampu melaksanakan pembangunan besar-besaran secara berhasil. Pemimpin Indonesia harus memberikan inspirasi kepada rakyat-rakyatnya dengan cita-cita, sehingga pertumbuhan ekonomi dapat tercapai " Sistem kader. juga menjadi perhatian Sukarno. Dalam "Konsepsi Pidato" 30 Oktober 1956, Sukarno menegaskan pandangannya bahwa mobilisasi besar yang Cina lakukan merupakan produk dari sistem kader yang terorganisir dengan baik, yang secara efektif dapat menyatukan bangsa. Dia kemudian menyerukan untuk membentuk suatu sistem yang dapat mengobarkan semangat rakyat Indonesia demi memfasilitasi kesatuan nasional. Soekarno merasa bahwa Indonesia harus mengadopsi pendekatan Cina "mencapai solidaritas melalui kritik konstruktif" dalam upaya untuk keluar dari krisis politik dan ekonomi yang ada saat itu. Dalam pidatonya di depan sekelompok perwira militer di Bandung, Soekarno mencontohkan militer Cina, "subordinasi dmi revolusi dan bukan membentuk suatu kelompok militer", yang merupakan justifikasinya terkait dengan upaya mempertahankan supremasi sipil. Dia juga mengatakan pemerintah Indonesia harus mengirim delegasi ke Cina untuk mempelajari masalah tentang bagaimana keseimbangan hubungan antara sipil-militer.

Pemahaman Sukarno atas pengalaman RRC dan perubahan dalam ide-idenya menjadi salah satu faktor utama di balik pembentukan Demokrasi Terpimpin pada tahun 1959. Sistem politik yang baru ini ditandai dengan tiga pengaturan kelembagaan utama. Pertama, di bawah UUD 1945 Presiden memiliki kewenangan tertinggi atas kebijakan-kebijakan domestik dan luar negeri. Kedua, kabinet dioperasikan pada prinsip gotong-royong, dan semua partai besar (termasuk Partai Komunis) berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Ketiga, Dewan Nasional mengganti Parlemen. Dewan adalah sebuah badan penasehat tertinggi di berbagai kelompok fungsional - buruh, petani, pengusaha nasional, pemuda, perempuan, dan seterusnya - diwakili, dan dioperasikan melalui konsultasi (musyawarah) dan konsensus (mufakat) daripada melalui voting.

Sukarno kian menjadi terpikat oleh Cina sepanjang era Demokrasi Terpimpin. Misalnya, dalam September 1965, dia mengirimkan lebih dari enam delegasi pemerintah ke Cina, dengan misi utama (menurut petunjuk Sukarno) untuk pembelajaran "tentang apa yang terjadi di China, yang dapat berguna bagi Indonesia di kemudian hari". Faktor Cina menjadi semakin kentara terwujud dalam kondisi politik Indonesia. Selama tahun-tahun terakhir rezim Demokrasi Terpimpin, Sukarno menjadi lebih peduli akan ketidakmampuannya dalam  hal mengontrol militer, dimana hal tersebut telah berkembang  menjadi  kekuatan  politik yang  relatif  independen. Salah satu cara Sukarno mempertahankan supremasi sipil adalah dengan  membentuk "kekuatan kelima" para pekerja dan petani yang bersenjata untuk melawan/menyeimbangkan kekuatan yang muncul dari militer, tetapi metode yang lebih efektif muncul demi mempengaruhi pemikiran para perwira militer . Terkesan dengan teknik Cina dalam hal indoktrinasi politik, Sukarno meminta Marsekal Chen Yi, dalam waktu yang singkat, datang ke Indonesia di bulan Agustus 1965 untuk mengajar jenderal-jenderal Indonesia. Salah satu sesinya berlangsung selama lima jam, Chen Yi berbicara detail tentang 'pandangan Cina terhadap dunia dan analisisnya mengenai situasi internasional.

Eksperimen dalam Rekayasa Sosial Baru

Telah menjadi bukti bahwa persepsi Sukarno terhadap RRC digunakan untuk menangani permasalahan di Indonesia. Cina seperti yang terlihat di mata Sukarno telah menjadi tolak ukur atas penilaian intelektual dan titik acuan dalam pemikiran politiknya. Dengan kata lain, Cina dikonstruksikan sebagai cermin untuk merefleksikan ketidakpuasannya - dan aspirasi - dengan mempertimbangkan aspek-aspek tertentu dari transformasi postkolonial Indonesia. Metafora Cina ini bukan hanya merupakan faktor yang signifikan dalam agenda politik ala Sukarno untuk Indonesia, tetapi juga berperan dalam melengkapi sistem baru melalui jenis baru dari rekayasa sosial. Untuk batas tertentu, usaha Sukarno untuk memobilisasi rakyat Indonesia di tahun 1959-1965 dipengaruhi oleh metode Cina dalam menghasilkan perubahan sosial yang 'top down'. Peluncuran Gerakan Hidup Baru merupakan titik kasus.
 
Pada Agustus tahun 1957 dalam sambutannya di Hari Nasional, Sukarno menyerukan upaya penghematan nasional, disiplin, dan kerja keras. Konsep gerakan ini dirumuskan lebih awal, dan mungkin merupakan bagian sesudah dari model Gerakan Hidup Baru yang diprakarsai oleh Jepang di Jawa selama Perang Dunia II. Hal ini erupakan inspirasi langsung, tetapi tampaknya Sukarno telah mengagumi lebih dulu  disiplin dan keuletan yang luar biasa yang ditampilkan oleh rakyat Cina. Pada April 1957 Sukarno menyerukan "disiplin diri dan koreksi diri sendiri," formulasi yang mengingatkan kekagumannya terhadap pendekatan Cina "mewujudkan persatuan melalui kritik dan kritik diri sendiri". Perbandingan ini dapat dilihat sebagai titik awal dari Gerakan Hidup Baru, tetapi spesifik konten dari gerakan ini masih tetap tidak jelas sampai kembalinya Kolonel Dr Sumarno dari perjalanannya ke Cina. Sebagai wakil presiden di organisasi Palang Merah Indonesia dan direktur dari Departemen Kesehatan Angkatan Darat Indonesia, Sumarno adalah kepala wakil delegasi militer yang mengunjungi RRC pada Mei 1957, kelompok itu dipimpin oleh Jenderal Gatot Subroto, wakil kepala staf tentara. Selama mereka tinggal 40 hari di Cina, mereka bepergian ke berbagai wilayah dan kembali dengan membawa kesan yang positif, tidak hanya dari integrasi militer dengan masyarakat Cina, tapi juga kemajuan ekonomi Cina dan dinamika sosialnya.

Tak lama setelah delegasi kembali di bulan Juni, Sumarno menyampaikan pidato publiknya kepada para pejabat pemerintah Indonesia di Jakarta, di mana ia memuji gerakan kebersihan nasional Cina yang diadakan tahunan, inisiatif pemerintah dalam mendidik warga negaranya, dan usaha pemimpin Cina dalam pelayanan yang baik bagi rakyatnya. Sumarno kemudian mengusulkan pemerintah dan rakyat Indonesia harus menggunakan contoh RRC dengan meluncurkan Gerakan Hidup Baru. Pada awal bulan Agustus, Asosiasi Persahabatan Indonesia-China konsepnya dikembangkan lebih lanjut, dan pada pertengahan Agustus Sukarno secara resmi mengumumkan awal Gerakan Hidup Baru, yang sentral ajaran dasarnya sejalan pada observasinya terhadap Cina dan rekomendasi dari Sumarno. Tujuan dipromosikannya gerakan itu antara lain, hidup tenang, kesehatan dan kebersihan, dan melek huruf. Sukarno juga menantang "kelas atas" untuk hidup "sederhana" dan untuk memberikan contoh bagi rakyatnya.

Meskipun gerakan tersbut hanya singkat, namun hal tersebut telah menunjukkan niat serius Sukarno untuk mengubah masyarakat dengan memanfaatkan negara sebagai pusat katalisator. Alasan di balik gerakan itu sesuai dengan keyakinan Soekarno yang kuat yaitu kepemimpinan dan inisiatif rakyat harus menghasilkan perubahan politik. Upaya serupa dalam rekayasa sosial yang dilaksanakan pada periode Demokrasi Terpimpin, dan upaya ini juga tercermin karena pengaruh dari Cina. Dalam lingkup pendidikan, misalnya, pendekatan RRC yang mengintegrasikan para intelektual dengan masyarakat diperkenalkan pada Indonesia. Mahasiswa didesak untuk pergi dari "Menara Gading ke Desa". Mereka harus menghabiskan setidaknya satu hingga dua bulan setiap tahunnya di daerah pedesaan, bekerja dan tinggal dengan para petani, sebagaimana yang dilakukan oleh mahasiswa di Cina. Dengan benar-benar memahami kehidupan masyarakat, mereka bisa mempersempit perbedaan antara "pekerja manual" dan "pekerja mental" dan dengan demikian dapat membantu membentuk kesatuan nasional. Pada awal 1965 Marsekal Surjadi Surjadarma, kepala staf pertama dari Angkatan Udara Indonesia yang juga menjabat sebagai penasehat militer Sukarno, kagum dengan yang dicontohkan Cina, dimana Cina mengirim mahasiswa ke pedesaan sebagai cara untuk memperkuat solidaritas sosial. Lebih luas lagi, seruan Sukarno demi menyelesaikan revolusi Indonesia, ia mencoba untuk menjembatani kesenjangan antara elit dan massa dengan menggunakan konsep Cina "pergi ke tingkat yang lebih rendah" (TURBA, atau kebawah Gerakan turun). Seperti yang ditunjukan oleh Peter Hauswedell, meskipun pendekatan ini terganggu oleh kudeta tahun 1965, "dalam konteks Jawa priyayi (elit) gagasan politik tentang belajar dari masyarakat, bukan berarti hanya turun ke massa, tetapi sudah menjadi implikasi budaya yang revolusioner". Memang, gagasan "pergi ke tingkat yang lebih rendah" juga dipengaruhi pandangan budaya dan politik penulis Indonesia yang berhaluan kiri, misalnya, Pramoedya Ananta Toer yang antusias menguraikan pendekatan ini pada paruh pertama tahun 1960-an.

Penutup: Menjelaskan Ketertarikan Sukarno terhadap Cina Komunis

Sudah jelas bahwa Cina menjadi bahan konseptual dan praktis yang menginspirasi Sukarno dalam usahanya untuk mengubah program pembangunan sosial-politik di Indonesia tahun 1956-1965, khususnya antara tahun 1956 dan 1959. Ketika ditanya apakah sistem sosial dan politik Indonesia pada tahun 1959 meniru kepada beberapa negara yang mempraktikan Demokrasi Terpimpin, Sukarno menjawab "contoh yang tepat tidak dapat ditemukan di luar negeri". Meskipun demikian, ia mengakui hal tersebut.

Jika hal itu serupa, maka apa yang dikatakan serupa itu, misalnya, di Republik Rakyat Cina. Ada sebuah badan perwakilan rakyat yang mereka sebut Kongres. Dan ada sesuatu, gerakan (melihat gerakan tangan kanan) ada kombinasi di sana - tanpa sengaja!, Dikatakan - partai komunis dengan kaum intelektual, dengan angkatan bersenjata, dengan petani, dengan para pekerja.

Sukarno yang mengadaptasi praktek Cina tidak luput dari perhatian beberapa pengamat Indonesia kontemporer. Sebuah redaksi koran nasionalis Merdeka, misalnya, menunjukkan bahwa konsep baru Sukarno ini mungkin terinspirasi oleh apa yang ia amati di Cina. Kolonel Zulkifli Lubis, yang mementaskan dua usaha kudeta di akhir tahun 1956. Menuduh Sukarno membawa Sistem Kongres Rakyat China ke Indonesia. Menteri Luar Negeri Indonesia Ide Anak Agung Gde Agung juga mengakui "dalam merumuskan sistem Demokrasi Terpimpin. Presiden Sukarno sangat dipengaruhi oleh apa yang telah dilihatnya di Cina".

Bagaimana kita menjelaskan daya tarik dari praktik Cina komunis bagi Sukarno, yang dia adalah seorang nasionalis? Sebagian dari jawabannya terletak pada eklektisismenya, yang jelas diilustrasikan oleh catatan berikut:
 

Ketika diwawancarai oleh wartawan Perancis Tibor Mende, dia [Sukarno] mengatakan: "filsafat saya terdiri dari nasionalisme, keyakinan agama dan analisis historis Marxis". Ketika wartawan berkomentar kepada Presiden, tentang analisisnya yang menggabungkan kepercayaannya seorang Muslim dengan sejarah Marxis, merupakan hal yang aneh, Sukarno membalas pandangnya dengan berkata: "Anda Barat tidak memahami kita. Aku hanya seorang yang kompleks".

Sukarno memang individu yang kompleks, dan citra Cina di mata Sukarno menunjukan kompleksitasnya. Benar, ia melakukan saha secara sadar untuk memasukkan beberapa perangkat konseptual dan praktis Cina ke dalam agendanya sendiri, tetapi ia tidak melihat ketidakcocokan antara ide-ide dan pandangannya sendiri. Alasannya jelas sekaligus rumit: Cina menurutnya sangat jauh berbeda dari China yang ada dalam benak kebanyakan para politisi dan akademisi Barat. Di Barat, Cina digambarkan sebagai sebuah negara komunis yang menindas dan kejam. China dibayangkan oleh Sukarno, dari sisi yang lain, yang esensinya adalah sebuah rezim populis yang didukung oleh rakyat dan bekerja untuk kepentingan rakyat. Persepsi Sukarno mengenai Cina, dengan memisahkan Cina dari idelogi komunisme, Sukarno mengabaikan dimensi ideologis ketika ia mengambil Cina sebagai sumber inspirasi untuk Indonesia. Dia berulang kali menekankan bahwa perbedaan ideologis tidak akan menjadi masalah ketika Indonesia berusaha untuk belajar dari RRC. Hal ini menjelaskan saat memuji prestasi Cina mengapa ia biasanya sering menambahkan, bahwa tidak semua Cina adalah anggota Partai Komunis,. Soong Ching Ling bukan komunis, Sukarno suka mengingatkan kepada pendengarnya di Indonesia. Ini juga menunjukkan upaya Cina dalam menampilkan citra diri yang positif kepada Sukarno telah memberikan kontribusi yang menguntungkan tentang RRC .

Terlepas dari kenyataan bahwa Sukarno sering menyebut-nyebut Cina dan Uni Soviet dalam konteks yang sama, ia ternyata menemukan contoh Cina lebih menarik (ketimbang Soviet), hal ini dibuktikan oleh frase yang sering digunakan Sukarno, "terutama di Cina" Selanjutnya, ia cenderung untuk memisahkan Cina dengan Soviet. Ia merasa bahwa tidak ada kebebasan berbicara di Uni Soviet, Sukarno tampaknya percaya bahwa Cina tidak memiliki "kebebasan berbicara", meskipun kebebasan itu ada setelah "freedom from want". Misalnya, dia berulang kali memberitahu orang-orang Indonesia, bahwa tidak ada kerja paksa dan tidak ada resimentasi di RRC, bahwa dalam pemikiran Sukarno yang memandang Cina bukan suatu rezim komunis. Persepsi ini, sejalan dengan paham Pan-Asianisme yang lama dipegang oleh Sukarno, hal tersebut memainkan peranan penting dalam romantisasi tentang RRC serta identifikasinya.



Akan terlalu berlebihan jika mengatakan bahwa politik pemikiran Sukarno ditentukan oleh pandangannya terhadap Cina. Namun, ia melihat RRC sebagai sumber inspirasi penting dalam merumuskan visinya sendiri untuk Indonesia. Bahkan, daya tarik ke China punya dasar tonggak sejarah. Karena ia melihat Mao Tse-tung dengan Demokrasi yang baru sebagai kelanjutan dari Three People's Principle yang diuraikan oleh Sun Yat-sen, yang sudah lama dikagumi Sukarno, dia pasti merasakan tingkat kedekatannya dengan rezim RRC. Tur-nya 17-hari di Cina memberinya kesempatan untuk menyaksikan proses pembangunan bangsa di negara Asia yang baru didirikan. Sebagai seorang nasionalis yang menolak teori perjuangan kelas dan berusaha bekerja keras untuk mencapai persatuan nasional, Sukarno cenderung untuk menafsirkan Cina sebagai entitas sosial yang harmonis dan terpadu. Dengan kata lain, ia yakin bahwa ada tingkat yang signifikan dari pertemuan antara ide-ide pembangunan bangsa Cina dan agendanya sendiri untuk Indonesia. Memang itulah keyakinan yang membuatnya untuk menyatakan bahwa ia melihat demokrasi terpimpin China sebagai realisasi cita-cita-nya yang ia telah anjurkan setelah tahun 1929. Kepercayaan ini juga yang sehingga mendorongnya untuk mengusulkan bahwa Indonesia harus – dan bisa belajar sesuatu dari Cina. Selain itu, dimasukkannya beberapa konsep RRC dalam pemikiran Sukarno berasal dari karakteristik kepribadian politiknya sendiri. Sebagaimana John Legge telah menunjukkan hal tersebut dengan meyakinkan, Sukarno bukan seorang pemikir murni, dan pemikiran politiknya merupakan "akumulasi  bukan sistematis". Pengetahuan kumulatif Sukarno tentang Cina, yang dikembangkannya setelah tahun 1920-an, bersamaan dengan kekaguman nya kepada Sun Yat-Sen dan pada kemajuan Cina dari segi materi, memperkuat kecenderungan Sukarno untuk menggabungkan pengalaman Cina ke dalam pemikirannya sendiri dan rencana untuk reformasi (bagi Indonesia). Dengan mengubah persepsi tentang Cina menjadi Metafora Cina, Sukarno menemukan inspirasi konseptual dan praktis bagi upayanya untuk mengakhiri demokrasi parlementer dan menetapkan Demokrasi Terpimpin.

Information about KUDETA 65/ Coup d'etat '65click: http://www.progind.net/  
http://sastrapembebasan.wordpress.com/



__._,_.___
Recent Activity:
blog: http://artculture-indonesia.blogspot.com

-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
MARKETPLACE

Stay on top of your group activity without leaving the page you're on - Get the Yahoo! Toolbar now.


Get great advice about dogs and cats. Visit the Dog & Cat Answers Center.


Hobbies & Activities Zone: Find others who share your passions! Explore new interests.

.

__,_._,___

No comments:

Post a Comment