Friday, June 19, 2009

[ac-i] cepi sabre : hudan hidayat dan saut situmorang



Cepi Sabre's Notes
Cepi's Notes|Notes about Cepi|Cepi's Profile

hudan hidayat dan saut situmorang

konon, revolusi pada umat manusia dimulai ketika manusia mulai menggunakan api. tidak kurang promotheaus sekalipun harus berhadapan dengan murka para dewa untuk sebuah perkara remeh : membawa api kepada manusia. api yang dikelilingi oleh nenek moyang manusia yang belum berbaju itu telah merangsang timbulnya bahasa. dan dengan bahasa, manusia bisa berbicara satu sama lain alih-alih saling menggeram.

beberapa waktu lalu, saya menambahkan seseorang bernama hudan hidayat dalam daftar teman saya di facebook. saya cukup sering masuk ke halaman facebooknya untuk membaca catatan-catatannya. belakangan, terbaca juga oleh saya keributan antara hudan hidayat dengan saut situmorang. entah soal apa. sepertinya berkaitan dengan teater utan kayu dan goenawan mohamad. ada apa antara hudan hidayat dan saut situmorang dengan teater utan kayu dan goenawan mohamad atau ada apa antara hudan hidayat dengan saut situmorang, tentulah di luar kuasa saya untuk ikut serta turut campur di dalamnya. pertama, karena saya tidak mengerti tentang sstra, apalagi politik sastra. kedua, karena saya tidak kenal hudan hidayat dan saut situmorang secara pribadi. jadi sungguh mati, saya tidak peduli dengan keributan antara hudan hidayat dengan saut situmorang. keributan kemudian melebar pada kegiatan hudan hidayat yang memberi komentar atau catatan atas karya-karya penulis di facebook. dan semakin lebar lagi sampai kepada penulis-penulis di facebook itu sendiri.

tokoh idola saya dalam sastra indonesia adalah iwan simatupang. merahnya merah, lebih hitam dari hitam, tegak lurus dengan langit, ah ... judul-judul karyanya saja pun saya sudah suka. dan entah kenapa, saya menjadi begitu terikat dengan sastrawan-sastrawan dari tanah batak. ketika hudan hidayat membuat catatan tentang iwan simatupang, bersemangat sekali saya membacanya. sayangnya, informasi tentan iwan simatupang di tulisan itu tidak terlalu banyak.

saut situmorang sepertinya saya pernah lihat di film beth karya aria kusumadewa sebagai salah satu pasien RSJ yang tergila-gila pada puisi <kalau saya tidak salah ingat>. gaya bicaranya saat berkata, "bakar ... bakar ... bakarlah!" terus ada dalam ingatan saya. lalu cerita pendeknya dalam sebuah buku kumpulan cerita pendek yang diambil dari tulisan di internet oleh goenawan mohamad tentang tutup botol minuman energi yang menjadi penyebab kecelakaan lalu lintas <lagi-lagi kalau saya tidak salah ingat> juga begitu memukau saya. puisi-puisi saut situmorang belum lagi saya tahu. dulu pernah saya cari-cari dengan mesin pencari google, tapi belum lagi sempat saya membacanya.

hudan hidayat mungkin satu nama besar dalam sastra indonesia. begitupun, saya belum pernah mendengar nama hudan hidayat. jangan salahkan saya atau hudan hidayat, salahkanlah para penerbit buku, karena jarang sekali ada buku sastra di rak-rak toko buku. kalaupun ada, salahkan lagi para penerbit buku itu, karena harganya terlalu mahal. seorang teman saya yang juga suka menulis puisi menyarankan saya untuk berteman dengan hudan hidayat di facebook. maka jadilah saya berteman dengan hudan hidayat dan kita kembali ke awal cerita saat saya suka membaca catatan-catatannya dan membaca juga keributan antara hudan hidayat dengan saut situmorang.

teringat saya pada perdebatan antara saya dengan ayah saya. beliau mengeluhkan anak-anak muda yang gagal dalam sekolahnya dibandingkan dengan beliau yang harus menempuh jarak puluhan kilometer berjalan kaki hanya untuk sekolah, dan berhasil. saya mendebatnya dengan menyebut banyaknya kafe atau mall di sepanjang jalan menuju sekolah. tantangannya berbeda, kesulitannya sama. kata 'sama' inilah yang akan saya berikan kepada saut situmorang ketika saut situmorang menyebut penulis di facebook sebagai pemula. pada sebuah komentar saya di catatan dinding hudan hidayat, saya menulis ,"pada satu periode, bukankah seseorang yang bernama hudan hidayat atau saut situmorang sekalipun adalah juga seorang pemula ..." pemuda paling gagah sekalipun, pada satu periode, adalah juga bayi tanpa daya yang harus menetek di dada ibunya, untuk kemudian menjadi tua dan mati. adakah saut situmorang akan menafikan tahapan-tahapan itu ? penulis-penulis di facebook yang disebut pemula oleh saut situmorang sedang meretas jalan yang dulu pernah dilalui juga oleh saut situmorang dan hudan hidayat. medianya berbeda, kesulitannya sama. beberapa karya penulis-penulis ini memang terasa mentah, tapi bukankah di situ letak godaannya ? begitu mudahnya seseorang untuk mempublikasikan karyanya, sehingga fungsi saringan, bahkan oleh dirinya sendiri, terlupa untuk dilakukan. dan di titik inilah, penulis-penulis pemula itu membutuhkan orang-orang dengan kapasitas seperti saut situmorang untuk memberikan penilaian atau kritik terhadap karya mereka, sebuah tugas yang kemudian diambil alih oleh hudan hidayat.

pada sebuah catatan dindingnya, hudan hidayat menulis ,"sudah menulis sastra tiap hari. tinggal membaca dan menulis." mungkin yang dimaksud oleh hudan hidayat adalah ,"sudah menulis sastra tiap hari. tinggal membaca dan memberi komentar." saya pikir, hudan hidayat sedang mengembangkan tradisi berbicara. tradisi yang sudah dimulai oleh nenek moyang manusia ratusan ribu tahun yang lalu. tradisi yang diperluas oleh alexander graham bell untuk kemudian dijadikan barang dagangan utamanya PT. TELKOM. tapi tradisi berbicara ini memang penting, karena menurut saya tradisi inilah yang menjadi agen perubahan. tradisi yang dikembangkan hudan hidayat yang kemudian disebut saut situmorang sebagai rumpi atau ngrumpi sastra. tidak soal juga, karena ngrumpi pun hanyalah varian dari berbicara, sama dengan menelepon atau berpidato atau siaran atau seminar atau menulis dan membaca.

saya adalah seorang arsitek. dikutuk untuk menjadi seorang arsitek. saya juga menulis tentang arsitek, tentang karya-karya arsitek, tentang pekerjaan saya. satu dua kali saya menulis puisi yang satu dua kali juga saya publikasikan di halaman facebook saya. beberapa teman saya yang cukup beriman menanggapinya dengan macam-macam pujian, yang lain rupa-rupanya kurang imannya dan tidak menyukainya, yang lain lagi hanya mencantumkan sebaris tanda tanya di kotak komentar. satu dua kali hudan hidayat memberi jempolnya sebagai tanda suka. sungguh sebuah kehormatan. tapi belum ada kehormatan pada saya untuk dibahas lebih jauh dalam catatan hudan hidayat atau sekedar dikutip dalam catatan dindingnya. tidak mengapa. toh saya bukan sastrawan, pun tidak berkeinginan untuk menjadi sastrawan. dalam salah satu catatannya, hudan hidayat menulis ,"... penulis-penulis ini merasa terhormat karena seseorang sehebat hudan hidayat mau mengomentari karya mereka ..." <saya lupa seperti apa persisnya tulisan di catatan hudan hidayat, tapi kira-kira seperti inilah yang ditulis olehnya> terdengar narsis dan terlalu memuja diri sendiri. tapi benar. tanggapan dari teman-teman saya pun bisa melambungkan saya begitu tinggi, apalagi acungan jempol dari hudan hidayat. saya sendiri satu dua kali memberi komentar pada karya teman-teman saya, dari pandangan saya sebagai pembaca tentunya. tidaklah ada kapasitas saya untuk menanggapinya dengan istilah-istilah diksi, metafora, atau baju bahasa, karena saya sendiri tidak mengerti artinya. kalau saya paksakan, malah bisa membuat teman-teman saya tersesat. berbeda dengan hudan hidayat yang mendalami bidang ini. tahapan menulis-membaca-berkomentar ini, saya pikir akan menjadi tradisi berbicara yang baik sekali untuk perkembangan sastra atau bidang apapun.

jadi bagaimana saya harus menutup catatan saya ini ? dengan 'berdamailah hudan hidayat dan saut situmorang' atau 'teruslah berkarya dan majulah sastra indonesia' ? aah ... lebih baik saya tutup dengan : saya sudah menulis, silahkan membaca dan memberi komentar.
----------------------------------------------------------
- end of note -
Updated 5 minutes ago · Comment · LikeUnlike · Report Note
You like this.

__._,_.___
blog: http://artculture-indonesia.blogspot.com

-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
Recent Activity
Visit Your Group
Give Back

Yahoo! for Good

Get inspired

by a good cause.

Y! Toolbar

Get it Free!

easy 1-click access

to your groups.

Yahoo! Groups

Start a group

in 3 easy steps.

Connect with others.

.

__,_._,___

No comments:

Post a Comment