Sunday, June 21, 2009

[ac-i] menunda relatifitas, menunggu finalitas - pengarang facebook



buah manggis dalam bahasa - waktu mode, mode waktu

Share
Sat at 4:01pm | Edit Note | Delete

bagaimana pengarang-pengarang melakukan revolusi kebahasaan
dimana kata-kata yang mereka lahirkan memberikan
ruang imajinasi baru tentang kota

1. bahasa yang menjauh dari tuhannya

dapatkah sebuah dusun, yang agraris, kita kenali tanpa ruang dalam diri? ruang kesadaran. dapatkah sebuah kota, yang industrialis, kita kenali tanpa ruang dalam diri juga? ruang bahasa. adakah kota tanpa bahasa? adakah bahasa tanpa kota? tapi, siapakah pencipta bahasa dan siapakah pencipta kota? dan siapa pula pencipta manusia dan dunia?

filsafat bermula dari metafisika. berakhir dengan sains. sains, pengolah dan pembentuk alam, mencari titik titik di mana hukum fisik alam bekerja. menegakkan dirinya ke dalam ruang bahasa yang objektif - ruang bahasa sains, ruang bahasa kaum saintis.

tapi hanya satu sentuhan dengan kaum politisi, sentuhan yang dijangkar pengusaha senegeri negeri, ia menimbulkan kolonialisasi dan imperialisasi, melebar dalam "one dimension man", dalam demam dehumanisasi, dalam wajah patos global.

bahasa hendak merekamnya, hendak mengejarnya, hendak menaruhnya ke dalam ingatan. bahasa menciptakan bahagia, bahasa menciptakan juga derita. bahasa melahirkan aktivitas, bahasa juga membawa orang bermenung.

bahasa dan kota. manusia dan lingkungannya.
apakah sifat kota dan apakah karakter bahasa?

kota tumbuh bersama bahasa dan bahasa tumbuh bersama kota. bahasa kaum penguasa menciptakan realitas. bahasa kaum penguasa yang turunan langsung dari bahasa kaum ilmuwan - mereka yang telah menemukan hukum hukum alam, tempat segala benda dan jasa dipertukarkan dalam pasar modern.

bahasa yang telah menciptakan segala patos bagi kehidupan modern: sebuah bujukan yang datang dari bahasa kota, tapi kemudian akibatnya menjadi, atau manusia kota terlibat, dalam lingkaran waktu yang dikurung oleh bahasa itu sendiri.

waktu yang membuat luka. waktu yang menciptakan bagi warganya akan sebuah dunia yang tak pernah hendak sudah: waktu mode - sebuah waktu di mana gabungan keputusan politik, yang ditopang oleh suborninatif elemen elemen masyarakat, telah menghasilkan laju dan deru, dari sebuah kota yang menata dirinya ke dunia fisik dan dunia pikiran - sebuah dunia di mana sebuah guyub ditelan oleh deru hidup, oleh waktu itu sendiri yang diputar keluar melampaui bahasa yang dibutuhkan oleh tubuh kita sendiri.

manusia kota berputar, masuk menemui labirinnya sendiri. terjebak dalam labirinnya sendiri. dalam gedung gedung yang makin naik ke langit, dalam betapa sebuah manajemen tiap urusan hidup makin, membuat manusia menjawab orang lain seolah mesin.

bahasa kaum ilmuwan sosial yang kritis menjadi pengingat akan sebuah pertumbuhan semacam itu. seolah sebuah benda yang laju ditarik, diingatkan kembali identitasnya di tengah identitas tanda dari lautan tanda - citra dan benda benda sedunia. bahasa yang melahirkan "pikiran budaya" semacam feminisme, postkolonilalis, postkota, melahirkan perlawanan atas waktu yang menjadi mode.

tapi filsafat mutakhir membawanya ke arah lain. ke arah bahasa. seolah retakan retakan tiap kenyataan kini hendak diteguhkan, bukan menampitkannya kembali ke dalam suatu holistisisme akan identitas manusia dan alam, alam dan tuhan, dan itulah saat ketika logosentrisme telah ditolak.

ditepikannya suatu acuan ilahiah ini, membuat filsafat mutakhir (posmodrnisme - yang radikal) seakan kehilangan "akses" untuk ikut menangani dunia benda benda.

benda benda, kota, tapi tampil ke dalam cerita yang dibentukkan kaum sastrawan ke dalam puisi dan ke dalam prosa. dalam bingkai bahasa yang telah menjadi waktu mode, atau mode waktu, karena hubungannya yang bersifat kausaliistik, adalah menarik untuk mengajukan suatu pertanyaan. yakni:

mampukah kaum sastrawan menarwarkan, dan atau mengambalikan, sesuatu yang telah retak dalam waktu mode, atau mode waktu, itu?

mampukah puisi atau novel, menawarkan, atau menjadi pengingatnya? dengan bahasa, dan bersama bahasa, menghela waktu mode, mode waktu, itu ke dalam suatu tatapan holistik. dapatkah sebuah bait dalam puisi, larik dalam puisi, atau suatu totalitas sebuah novel, atau bagian dalam novel, menjadi sebuah cara pandang baru, akan kehidupan kota yang dinamik dalam retakan?

dapatkah manusia sastrawan menawarkan suatu gagasan baru tentang dunia dan kota-nya, dalam ciptaan? ataukah suatu ciptaan sastrawan, seperti ciptaan ciptaan lainnya di tengah masyarakat, justru hanyut dalam lautan citra dan benda se-kota? kita harus kembali ke imajinasi dan metapora, sebagai bungker ampuh dari tiap ciptaan seni, seni dalam bahasa - prosa dan puisi itu sendiri.

2. imajinasi

seni bahasa adalah dunia rekaan, dunia yang bukan fakta tapi fiksi. imajinasi, seolah tuas dari persneling mobil untuk melonjak laju saat gas diinjak sekuatnya. ia api dalam ledakan tiap seni. tapi saat mobil sudah didorong laju dalam ledakan sebuah mesin, maka setir apakah yang dibutuhkan agar api itu tidak membakar dirinya?

seni yang meledak ke dalam tenaganya sendiri, tanpa dibentukkan oleh sebuah format - format dalam ruang cerita, format dalam ruang sintaktik dan semantik dalam puisi, dalam plot dan alur serta pergerakan tiap tokoh dalam novel, adalah sebuah seni seolah kita sedang berhadapan dengan orang mabuk yang marah, dan kini meracau tak tentu arah, di sebuah pusat keramaian.

hanya menimbulkan kegemparan tanpa sebuah makna pun yang bisa ditarik. hanya chaos - bahkan patos. bukan sebuah makna yang bisa menjadi bungker bagi manusia lain untuk bertahan, dari hujan yang berjatuhan dari sebuah paradoks dan kontradiksi hidup.

ia menjadi tenaga mata tapi mata itu tak dapat memandang makna. ia menjadi tenaga telinga tapi telinga itu tak dapat mendengar suara.

ia mati dalam dirinya sendiri. terbenam dan membakar dirinya sendiri.

tapi apakah itu imajinasi, apakah itu imajinasi yang kelak dibentukkan dalam metapor - metapora? saya hendak menjejerkan tiga imajinasi yang saya letakkan sambung menyambung. imajinasi yang terbentuk dan membentuk ke dalam formatnya secara niscaya, adalah sebuah dugaan akan sesuatu yang belum hadir. ia sudah ada. tapi tangan kita belum menjangkaunya. ia sudah ada tapi kita belum menuliskannya. ia sesuatu yang in absentia.

ia mungkin bisa mengatasi soal soal kota, tapi boleh jadi ia menjadi palu penghancur kota itu sendiri. sebab term penyelamatan bukanlah soal yang telah selesai. kalau tak hendak dikatakan: adalah bagian dari soal itu sendiri. hidup adalah gugus maut dari kabar yang datang dari langit. hidup adalah gugus niscaya akan sebuah paradoks dan takdir dunia. tapi manusia hendak menafsirkannya juga. memberinya bingkai dalam suatu tafsir dunia. dalam suatu ciptaan sebagai pengenang dunia.

2.1. imajinasi tuhan

imajinasi terjauh adalah saat kita membayangkan bagaimana tuhan membentuk dunia. tuhan yang maha rasional dan maha pintar, tuhan yang maha ide, yang berkata dalam kitabnya : aku membentuk dunia dalam enam masa.

apa yang ada dalam pikiran tuhan saat ia menciptakan model dalam benaknya dan saat ia mengoperasikan modelnya ke dalam tahapan tahapan kerjanya. saat tuhan yang mempunyai ide tentang dunia dan memformat dunia idenya ke dalam dunia benda benda - universe ini.

kita tahu memang tuhan memiliki kun: kun, maka jadilah apa yang hendak dijadikannya. tapi kita tahu pula bahwa kunnya tuhan itu menempuh suatu proses - enam masa membentuk dunia. enam masa dari sebuah waktu yang belum sebuah buku pun di bumi bisa mengurainya - berapa tahunkah enam masa yang disebutkan tuhan itu?

uraikanlah pikiranmu secara teliti, demikian salah satu poin penting dari prinsip kerja descartes. dan coba kita tuntaskan kehendak menepikan tuhan dalam dunia oleh kaum saintis, melalui hukum yang dipeluk oleh kaum saintis itu sendiri. yakni hukum kausalistik - kaum ilmuwan yang memuja hukum evolusi darwin. bahwa semua terbentuk dalam suatu proses. tak ada yang bim salabim langsung jadi. maka kalau kita tak bisa menguraikannya, setidaknya jauh lebih aman kembali ke tuhan daripada menolak tuhan.

dalam suatu proses, yang berarti tuhan pun tak berdaya membentuk dunia secara bim salabim, maka jiwa dan tubuh kita akan meledak jadi gila, kalau imajinasi terjauh ini kita naikkan setingkat lagi:

darimana asal tuhan itu, dan bagaimana terjadinya tuhan itu. pertanyaan ini masuk akal saat dunia ketuhanan itu sendiri mengiktibarkan proses dalam tiap kehadiran di dunia.

o jiwaku gemetar! o jiwaku terbakar!

2.2. imajinasi goethe

seni mimetik ditepikan oleh seni karakteristik. seni dari alam ditundukkan oleh seni dari dalam jiwa manusia. kini bukan alam lagi yang "ditiru" tapi adalah luapan emosi yang datang dari jiwa sang seniman. tapi satu pertanyaan telak yang bisa ditembakkan di sini, adalah "mungkinkah manusia bisa berpikir di luar bahasa? dan mungkinkah bahasa bisa terjadi di luar alam benda benda?"

tapi kita tahu bukan saja (sebagian) kaum saintis yang menolak hadirnya tuhan dalam universe, tapi juga filsuf posmodernisme, dengan mencampakkan segala sesuatu yang bersifat ekstra bahasa.

seperti tuhan, seperti ide tuhan tentang dunia dan lalu memformatkan idenya ke dalam dunia (universe), sang seniman pun membutuhkan formatnya. memerlukan bentuk dari jiwanya yang telah meledak itu.

"begitu ia terbebas dari duka dan cemas," kata goethe yang dikutip cassirer, "sang makhluk setengah dewa, yang kreatif namun sedang istirah, mulai meraba raba sekeliling mencari materi untuk dicurahi rohnya."

2.3. imajinasi hudan

kita tidak perlu duka dan cemas. yang kita butuhkan hanya menguntit kitab besar tuhan, yang diletakkannya di lauhmahfuz, dan dicicilkannya seolah tapak kaki kita yang tersapu hujan.

manusia hanya perlu menghidupkan hati untuk mengetahui apa yang akan terjadi. membuka hati seolah kelopak bunga yang terbuka kena matahari. lalu membentukkannya kembali seakan kita memandangi segenap anggota tubuh kita sendiri.

apa yang hendak saya katakan dengan kutipan dari suatu kenyataan yang in absentia itu, adalah suatu sinyal bahwa ciptaan hendaklah kreatif, bahwa ciptaan kreatif itu hendaklah bermain di dalam suatu bahasa ciptaan. bermain dalam suatu bahasa ciptaan adalah bermain dengan metapor - metapora.

tanpa metapora, maka ia sungguh menjadi api di mana tuas persneling sudah ditarik, gas sudah diinjak, dan mobil melaju ke depan, tapi kanal belum kita siapkan. metapora, adalah kanal bagi api imajinasi. adalah format dari tiap ciptaan dalam seni - seni bahasa. seni bahasa yang hendak kita tatapkan dalam lajunya sebuah kota. dalam waktu mode, mode waktu, di sebuah kota yang tak harus bernama ibu kota kita sendiri.

3. metapora

metapora adalah bahasa itu sendiri. dia melampaui pengertian yang biasa kita rujukkan kepada aristoteles. metapora penghuni ruang kesadaran, saat penghuni ruang kesadaran itu hendak bergerak menukik ke dalam atau menjangkau keluar. sebuah pergerakan melalui bahasa dan hanya dengan bahasa - bahasa aksara atau bahasa batin. ia hendak mengidentitaskan benda dan perisitiwa, dan segalanya di atas dunia bisa kita rujukkan semata benda. hanya benda, benda abstrak dan benda konkret. benda abstrak dan benda konkret yang bisa dan hanya dipikirkan melalui bahasa dalam ruang kesadaran.

tak ada bahasa tanpa ruang kesadaran dalam diri. bahkan tak ada diri tanpa bahasa yang diucapkan. sebab berpikir hanya berpikir dengan dan melalui bahasa. dan bahasa adalah suatu repsentasi dari suatu kenyataan tertentu - alam benda itu. tak ada bahasa tanpa benda dan tak ada benda tanpa bahasa. hidup adalah hidup dengan bahasa. bergerak dan tindakan hanya dan melalui bahasa.

hidup dalam bahasa berarti hidup dalam metapora. pergerakan dalam bahasa adalah pergerakan dengan metapora - menyebutkan suatu kenyataan melalu identitasnya, melalui tanda dan lambang yang hendak dibentukkan atas suatu identitas yang kita berikan terhadap suatu kenyataan.

tanpa bahasa tak ada kenyataan dan tanpa kenyataan tak ada bahasa.

maka kalau metapora adalah bahasa, maka isi dari ruang kesadaran, yakni kesadaran, atau roh itu, sendiri adalah metapora. metapora ganda dari suatu fungsi yang bisa memberi suatu penamaan terhadap apa yang disentuhnya. sekaligus suatu metapora terhadap tenaga atau energi (roh) yang berdaya atas tiap ucapan, dan tindakan benda benda fisik tubuh, dan di luar tubuh - saat tubuh itu sendiri melakukan pergerakan.

bahkan tuhan sendiri adalah maha metapora dengan dua fungsi, seperti retakannya yakni manusia. memberi nama, dan sekaligus pencipta dan penggerak dunia. dalam suatu pergerakan, di mana dekonstruksi bisa dikembalikan kepada pergerakan dan ucapan di langit, dengan merujukkan kenyataan akan sebuah paradoks dan kontradiksi ucapan yang membatalkan, atau menunda kebenaran atau kehadiran, dengan perlambangan yang diwujudkan ke dalam kisah adam sang pemakan buah kuldi.

di mana makan dan buah, adalah suatu kondisi yang sin qua non, taken for granted: buah itu akan di makan karena begitulah amanat yang sudah ditetapkan: wahai manusia, sesungguhnya kamu akan aku turunkan ke dunia. dan karena itu sang adam dan kekasihnya hawa akan memakan buah dari pohon terlarang - suatu iktibar, atau kiasan, dari suatu hal yang final - agama sebagai finalitas bagi pemeluknya yang fanatik, yang tak menyelam dan menyemak ke balik ayat ayat. sekaligus kabar tentang penundaan dan pembatalan sebuah kehadiran - hiduplah kamu di surga ini selamanya wahai adam - atau tak hidup kamu di dunia itu selamanya wahai manusia.

maka penundaan atau pembatalan, yang misalnya diperagaan dengan menolak "teks budaya" seperti yang dilakukan oleh derrida adalah, dalam suatu arti, pergerakan tuhan itu sendiri. tapi dalam arti yang lain, sebuah kisah samar betapa sambil mengiktibarkan kebaruan alias kebenaran yang telah tergenggam tangan - dekonstruksi itu - adalah meleset ketika hendak menepikan logosentrisme, menepikan keilahiaan, dari tuhan sang pencipta dunia yang dipuja filsuf metafisika.

begitulah metapora ganda itu bekerja. metapor tuhan dan tuhan sebagai metapor. metapor manusia dan manusia sebagai metapor. metapor atau metapora yang mewujud ke dalam bahasa yang kini sedang kita tatapi. ke dalam bahasa yang hendak kita liat bekerjanya sebuah metapor, dalam cerita yang hendak kita acukan dikdaktisnya saat menatapi sebuah gejala kota, atau kalau kita perluas: hendak mengatasi gejala dari kehidupan kemanusiaan itu sendiri.

apakah yang dapat dipetik dari suatu seni dalam bahasa - cerita itu - puisi dan prosa - dalam dan untuk serta demi agar terus hidup?

apakah yang harus dikerjakan dalam bahasa untuk mencapainya - atau untuk menguakkan hakekatnya - cerita pembatalan, penundaan, atas sebuah kehadiran, dari suatu teks yang bukan semata "teks budaya", tapi "teks universe" itu sendiri. yakni teks yang dibentukkan tuhan atas ciptaannya, yang telah terbukti dibatalkannya sendiri, ditundanya sendiri, sebuah kehadiran yang karena dugaan finalitasnya, telah menjadikan banyak orang fanatik.

3.1. seni : menunda relatifitas

ambiguitas tuhan yang datang dari situasi paradoks dan kontradiktif itu, telah menjadi watak bagi tiap ciptaan. seolah ciptaan seni adalah bayang diri dari pribadi yang ambigu, yang berwatak paradoks dalam gerak jiwanya dan melahirkan kontradiksi dalam ciptaan seni yang dihasilkannya.

pun dalam tingkatan benda, ambigu itu bekerja. paradoks dan kontradiksi itu bekerja. saat seorang ilmuwan menemukan hukum hukum benda dan lalu membentukkannya menjadikannya utility bagi kemanusiaan, pada saat itu pulalah situasi paradoks, situasi ambigu, suasana kontradiksi, sekaligus terjadi dengan acuan benda yang diasumsikan dapat membawa bahagia, ternyata berbuah juga sebagai derita.

seperti yang kita bisa saksikan dari gerak tiap peradaban, di mana kebudayaan kapitalistik hendak ditawar oleh solusi sosialistik, tapi kemudian telah membuat dunia menjadi pecah ganda dengan prismatik satelitnya menghujam ke belahan belahan negara lain.

membawa banjir darah dan air mata, menguras segala sumber alam yang konon tak bisa disembuhkan lagi.

3.2. puisi dan prosa pengarang facebook - ambigunya relatifitas

demi pembentuk dan terbentuknya makna, di mana manusia berpilin dan seolah selang seling - bertukar tangkap dengan lepas, kata larik amir hamzah yang gemilang itu, atau akulah elang dan aku pulalah ikan, kata frasa dari sebuah cerita deasy nathalia yang tak kalah gemilangnya.

gemi mohawk ingin menyirami semua itu dengan cinta, tapi burung gereja dewi maharani telah mematuk tiang tiang peradaban manusia kota. tiangku retak, katanya sambil termenung.

atau bahasa kota itu melebar ke desa desa, membawa banjir darah yang datang dari (keputusan politik) manusia bahasa kota. dan itulah saatnya penyair yang datang dari dunia frasa hitam menuliskannya sebagai kiasan nasib seolah sepucuk daun. senja di selembar daun, kata sudi ono.

gedung jiwa atau at the teater manusia seperti dalam puisi penyair eidmons esya yang gemilang, terus merangkak hendak menuju muaranya. tapi tiap muara terhenti ke dalam pembatalan dari hadirnya kebenaran itu sendiri.

kebenaran yang terasa bagi saya sebagai burung yang mencong dalam cerita burung bamby cahyadi, dan yang dengan mudahnya kita goyang goyangkan sebagai monas di tengah kota yang sedang terbakar matahari: mengacu terus ke langit, tak hendak loyo sebagai burung yang diderita aku prosaik bamby di selangkangan, tak hendak menyibak dari warga kotanya yang tak juga, hari sudah sore, dapatkan uang untuk sekedar mereka makan malam yang nyaman.

kita membutuhkan "hening" - kata sayuri yosiana, seorang penyair yang diberi "wajah paradoks" yang lain: matanya bening bersinar seolah puisi.

tapi hening apa?

hening dari kaki borokan seperti dalam cerita rini asmoro, yang tak mampu lagi disembuhkan oleh medis tapi oleh jikir jikir dalam diri. tapi siapa yang hendak berpikir lagi? yang mengucapkan pelan seolah anak memandang ke langit dalam puisi saut situmorang - tuhan, di sanakah engakau itu? atau seorang anak kehilangan topi koboi pemberian ayahnya dalam cerita puisi cekikikan nuruddin asyahadie. kita memang masih memiliki jikir tapi jikir tubuh seperti puisi tjes cesilia atau adiez, yang berulang ulang menatapi passionnya sendiri - bergunakah passion semacam itu, dalam kepungan kehendak mereka yang ingin mendaratkan finalitas ayat yang separuh benar itu?

semua orang telah memungut puntung rokok yang dijatuhkan orang lain dalam mobil, seperti yang kita baca dalam puisi nina yuliana. semua orang telah bolong sepatu hidupnya - dan sepatu itu kini telah mati, kata larik puisi priatna.

camelia camel datang dengan tuhan yang riang dari segala ceritanya tentang ketuhanan. saya sebut cerita semacam itu sebagai kisah lain dari wajah sastra kita: muram yang riang. bahwa seorang hendak mencari tuhan dengan frasa dan kosa kata berkaya remaja. di mana bahasa saya lihat telah semacam dikelupaskan di sana. dan kini yang tinggal roh yang terkelupas dari tubuh dosanya di mana separuh roh kotornya telah ikut pula terkelupas.

yang tinggal kini adalah separuh roh yang bersih dan roh yang bersih itulah yang bersinar gilang gemilang hendak bercanda dengan tuhannya: tuhan boleh curhat lagi ga neh...? suatu frasa yang tak mungkin dituliskan oleh orang semisal chairil, tapi mengandung tingkat kebenaran dari kualitas puisi bahkan oleh orang semacam sutardji calzoum bahcri - yang mencari tuhan dengan semacam kucing yang meraung mencakar menunggu, itu.

hidup seolah tinta biru dalam guratan puisi endang tirtawati, tapi hidup berakhir juga di mana manusia menjadi belukar ular seperti puisi fitrah anugerah. atau manusia yang tak juga tentram di mana bayang diri dan bayang benda telah bertukar tukar dalam prosa geger riyanto: aku melihat wajahku di dinding apartemenku sendiri - sebuah apartemen modern berlantai 30 an.

hidup memang seakan lemari jiwa yang bertukar tukar dalam puisi weni, di mana kita bisa mengambil dan melihat artefak jiwa kita sendiri. dan kuacukan juga semua tanya ini ke langit, kata puisi herlinatiens.

tapi langit diam dan memberi keputusan lain. keputusan wajah gandanya dan wajah ambigunya jiwa manusia. yang memantulkan paradoks, yang mengembuskan kontradiksi terus menerus sehingga sang anak hendak mabuk dengan rendaman arak dari sungai derita seorang ibu dalam puisi hanna fransisca.

apakah manusia? apakah ciptaan manusia? apakah seni dan apakah kota - kehidupan itu sendiri, kemanusiaan itu sendiri.

apakah hidup? tak ada. hidup hanya meratapi ayah dan ibu yang mati seperti dalam puisi imron tohari. atau perempuan yang membayangkan dirinya seperti air dalam perempuan air yang bisa kita baca dalam puisi faradina i. atau aku prosaik yang telah kehilangan dirinya entah terangkat di mana dalam jaganya seperti cerita pendek anita rachmad yang mengejutkan saya itu - karena tingkatannya mencapai kemencekaman cerita.

semua itu seolah berputar pada masa lalu dalam puisi shinichi kudo dalam puisinya enau. atau sang aku lirik dalam puisi yang bolak balik bergema sepanjang puisi ts pinang mengabarkan kesakitan dan kekecewaannya pada kota - aku dan kota, yang dibacanya dalam sebuah renungan yang berlangsung tinggi terus menerus.

seolah kita manusia sedang berjikir dengan jikir jikir pembunuh malam hitam seperti terbaca dalam puisi timur itu.

manusia berjikir dengan dirinya sendiri dalam pengucapan seni. seni puisi dan seni prosa. terbacalah di sana tiap retakan jiwa manusia yang adalah wajah lain dari kehadiran yang ditunda itu dalam sebuah ambigu yang datang dari tuhan itu sendiri.

ambigunya cinta yang bergoyang goyang dan menggoyang goyangkan dirinya terus menerus dalam kisah cinta dalam puisi kwek li na.

atau dalam puisi enyair jehan dan penyair kurniawan yang saling membelah dan saling merogoh diri mereka sendiri dengan berbekal pisau tajam puisi - kurogoh igamu dengan pisauku ini. sakitkah, kata kurniawan. masih juga kau lihat luka itu, kata jehan. ia hendak mengering dan berikanlah baju kuning kesukaanku itu - terasa bagi saya dialog ini adalah seolah kabar dari kiasan yang lain - kiasan sapi kuning dalam kitab itu.

ruh kita bisu, kata ping homeric, dan apa kata jehan syauqi? bagaimana kita hendak menggerakkan sudut mata dalam dunia (meminjam judul puisi pow mahawi). bagaimana kita hendak memutarnya dalam kehendak kener creek yang melihat dengan mata puisinya tingkat tingkat kebenaran yang bergema dalam kidung penyair yulia?

manusia hanya mengkiaskan dirinya sebagai perindu matahari yang memberi harapan sekaligus mengucurkan peluh dari segenap badan seperti dalam puisi tukang bangunan penyair cepi sabre yang amat menyentuh itu.

akhirnya hanyalah pingga seperti kata penyair antok serean, hanyalah lalat hijau juga seperti tragedi yang diceritkan dalam sayir lalat hijau ariana pegg. fak you semua kamu, kata bambang saswanda. tapi inilah dunia. dunia yang menunda kehadirannya dalam ambigu, dalam paradoks dan dalam kontradiksinya tiap ucapan dalam prosa dan dalam puisi.

kita hanya memiliki peluang untuk sebuah sudut menertawakan diri kita sendiri sebagaimana sering saya baca dari pengarang yang menamakan dirinya sebagai neonlight sisca dalam banyak milis itu. yang saling bermain prosa di laut bersama pengarang berbakat habibi atau lampu senja yang saya baca di milis apresiasi sastra.

tapi manusia terus maju, merangkak menjadi kabar akan sebuah keyakinan akan sebuah gugatan seperti kita bisa lihat dari dunia syair yang bernada hitam dari penyair blalang kupu kupu atau gieb lintang mijil. manusia yang bersyair dalam bahasa lokalnya sendiri seperti sajak sajak penyair haung atau bernama pakar dukun itu.

yang hendak menanak nasi dalam rumahnya sendiri seperti dipuisikan oleh cavita jamie - ia yang beken dengan nama jasmine flame di dunia maya multiply.

manusia yang bermain main dengan imaji hujan sapardi seperti puisi suasana yang mengaburkan aku lirik dan aku engkau orang lain dalam puisi kris budiman - yang hendak memakan kaki dari sup lawan bicaranya. kita memang membutuhkan padi dalam hidup ini, seperti larik puisi pendek penyair naz yang cemerlang.

tapi siapakah kita itu?

sebutkanlah tiap pengarang di facebook seperti penyair gita pratama, pring, m aan mansyur, bernard batubara, hasan aspahani, samsudin adlawi, andikha mappasomba dan erna rasyid, iwan kurniawan, miranda harland, ichasan amin, em muhlash emer, yayan r triyansah. trie iie utami, maghie oktavia, nala arung, poncawae lou, t wong, mey, zuraidah abdul aziz, mega kristian, erwin k wardhana, mikael johani, yuswan taufiq, senggutru singo, desiyanti wirabrata, sitok atau nirwan dewanto - siapa lagi? - adalah manusia pembuat seni yang retak dalam dirinya sendiri.

seorang doktor dari jerman, herr berhold damshauser merespon esai saya "menunda relatifitas", esai yang belum selesai itu, dan berkata tentang manusia dengan sebuah deskripsi yang datang dari kaum ilmuwan:

Jiwa, Roh dan Sang Aku

Ditemukan oleh para ilmuwan:
Dalam otak manusia
100 milyar sel saraf bertukaran informasi,
Yang dibungkus dalam sinyal biokimia.
Sel itu terkait satu sama yang lain
melalui sinapsis berjumlah 1000 milyar.
Jumlah kontak di antaranya
Yang dimungkingkan secara teoritis
Lebih besar daripada jumlah total
semua atom di universum.

Sebuah mega-bio-komputer,
Sangat cepat, bermemori luas,
Itukah manusia?
Copy "Diriku" ke harddisk C:,
Dari situ melalui internet
Ke mana pun?
Maka ditemukankah sudah
Jiwa, roh dan Aku?

Ada cerita:
Setelah kapalnya terbenam
mereka yang selamat
terdampar di suatu pulau kecil dan terasing.
Ketika penghuni pulau untuk pertama kali
mendengar musik dari pesawat radio,
kepala suku memerintahkan
untuk membuka benda itu
dan mengeluarkan dari dalamnya
para pemusik serta peralatannya.
Namun – tak ditemukannya orang kerdil,
gendang-gendang mini pun tidak.

itulah manusia perdefenisi, yang diimpikan kritikus ahyar anwar dan penulis anton dwisunu hanung agar membuat seni yang menginspirasi, dan di bawah respon dorktor berthold ini penyair dan penggiat sastra di ngeri kita, nugroho sugsmanto, pun membuat respon atas ucapan berthold itu.

katanya:

(manusia) semua berasal dari gelombang getaran yang bermutasi, terprogram berinteraksi menjadi ujud phisik, enerji, atau kombinasi perangkat keras dan perangkat lunak yang menciptakan identitas diri. dan diri yang paling mulia adalah makhluk yang disebut manusia. yang konfigurasi otaknya, sebagaimana digambarkan berthold ... menakjubkan !. gelombang getaran yang terprogram menjadi perangkat keras ( fisik ) akan mengalami deformasi. sedang yang terprogram menjadi perangkat lunak ( ruh ) akan mengalami degradasi atau upgrading, bergantung kepada perilaku si perangkat keras menjalani kodratnya.

dua kutipan di atas hanyalah sebuah kemungkinan dari kehadiran yang mungkin tertunda, tak final, saat kita merentangkan usia universe yang akan memanjang dalam lintas waktu yang miliran tahun lagi itu.

dan kota, dan bahasa, adalah dua unsur yang berjalan bolak balik seperti unsur tubuh dan jiwa manusia. yang memantul mantul ke dalam ciptaan para pengarang di facebook atau para pengarang di manapun.

dalam segala finalitas yang kehadirannya tertunda itu, kita mungkin bagian dari pemeluk wajah tuhan yang lain:

miskin, tapi tidak sombong seperti yang menjadi judul buku penyair dan penulis bung kelinci itu. tapi relatifitas yang ditunda itu juga mengabarkan wajah lain dari tiap kehadiran umat manusia di bumi: miskin tapi sombong.

keangkuhan, mungkin tak akan dapat menduga felatifitas yang belum hadir itu. in absentia fisik kota, yang kelak akan dibaca dan dituliskan oleh in absentia para pengarang pembangun jiwa manusia.

adalah menarik untuk merenungkan sebuah kenyataan, apakah surga yang dijanjikan adalah wujud dari kehadiran yang tertunda kebenarannya, di mana sang ilahiah tak lagi memeluk dirinya dalam suatu paradoks, tapi telah tenang dan berdamai dengan segenap kontradiksi dalam dirinya sendiri.

apakah surga yang dijanjikannya itu, adalah akhir dan berakhirnya suatu masa yang tak terpermanai akan kisah ambigu yang panjang itu.

hudan hidayat
- penghancur dan pembangun bahasa

Written on Saturday · Comment · LikeUnlike
You, Dewi Maharani, Amik Koofee, Endang Goenawan and 7 others like this.
Dewi Maharani, Amik Koofee, Endang Goenawan and 7 others like this.
Show 11 more comments...
Bagas Dwi Bawono
Bagas Dwi Bawono at 8:56pm June 20
terus mencermati, menghaus ilmu...
Geger Riyanto
Geger Riyanto at 9:44pm June 20
Ya, mampukah sastra tetap menjadi sastra dalam hubungannya dengan kota? Ataukah dia akan ikut menjadi kota? Akankah dia ikut mengejar pertumbuhan tanpa akhir, tren tanpa selesai, tangga tanpa batas... atau ikut menjadi kota? Bisakah dia mengingatkan kota? Bisakah dia tetap menjadi sastra?
Bamby Cahyadi
Bamby Cahyadi at 9:46pm June 20
bahasa melahirkan bangsa, bangsa memeliki kebudayaan, kebudayaan memerlukan toleransi. Maka dengan berbahasa menjadi beradab.
Wah, menarik sekali. Bocoran hari senin di UI depok nich hehe
Bamby Cahyadi
Bamby Cahyadi at 5:52pm June 21
Sirami Jakarta dengan Cinta, kata Gemi Mohawk hehe
Imron Tohari
Imron Tohari at 7:21pm June 21
Makasih mas Hudan. Sangat bermanfaat buat aku untuk lebih mengenal hal-hal yang berkaitan dengan sastra tulis.

Salam lifespirit!
Endang Goenawan
Endang Goenawan at 9:24pm June 21
mas hudan...makasih ya bwt kiriman cerita n karya2 indah nya...bagus n menarik cerita nya...sukses n sehat selalu ya bwt mas hudan n sahabat2 ku semua yg chantik n chakep juga baik....GBU
Jehan Syauqi
Jehan Syauqi at 9:26pm June 21
@-@ menyimak yg lg ngemil, yg lg diskusi, dan yang lg ngajarin.
Sayuri Yosiana
Sayuri Yosiana at 9:58pm June 21
hmm..mikir dulu bacanya hehe...perlu waktu mencerna.
Amik Koofee
Amik Koofee at 2:55am June 22
semoga tak ada buah beracun dalam bahasa...
Dewi Maharani
Dewi Maharani at 5:26am June 22
sudah kubaca bang ... siiippp , tambah lagi ilmuku ... gak ada cemilan .. cuma kopi panas , kental yg nikmat ... hmmmm
tengkyuuukkk bang Huds cuw !

__._,_.___
blog: http://artculture-indonesia.blogspot.com

-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
Recent Activity
Visit Your Group
Give Back

Yahoo! for Good

Get inspired

by a good cause.

Y! Toolbar

Get it Free!

easy 1-click access

to your groups.

Yahoo! Groups

Start a group

in 3 easy steps.

Connect with others.

.

__,_._,___

No comments:

Post a Comment