pengantar -
novel ini tak akan saya terbitkan dalam bentuk buku. saya sharing agar bangsa ini belajar bagaimana menulis - terutama bagaimana melekatkan ide ke dalam peristiwa.
sehingga dunia abstrak menjadi konkret. saya lecutkan kepada bangsa yang seolah mati enggan hidup tak mau ini, dalam menulis. yang katanya hidup dalam alam ilmiah tapi tanggal dialektikanya.
yang katanya hidup di alam ilmiah tapi lebih suka membuat komen yang tak beda dengan komen di warung pinggir jalan, malas menuliskannya ke dalam tulisan utuh sehingga terasa sebagai igauan.
yang lebih suka bicara negeri asing karena sifat inlanderianya masih berurat berakar dalam darahnya.
yang apalagi terserahlah isi sendiri i hihi.
selamat membaca novel terbesar sepanjang massa. yang tak diluncurkan di mana mana dan tak pula di jual di mana mana. di sini saja dia diluncurkan dan dilatihkan.
agar bangsa ini membuka matanya dari tidur pastoralnya yang panjang. jangan dibaca ya haha.
(huhi)
------------
Novel Hudan Hidayat : Kayu Api (1)
Share
Friday, January 9, 2009 at 9:59pm | Edit Note | Delete
Kayu Api
Bagian Pertama
Jembatan
Senja turun dari langit saat aku memikirkan kembali hidupku. Langit kosong, dan burung-burung melintas di kaki langit.
Seorang perempuan penjual jamu setengah berlari di atas jembatan, jembatan yang telah kupandang dari atas rumahku sejak bertahun-tahun yang lalu. Seakan jembatan itu adalah tali yang direntangkan untukku seorang, dan aku harus berjalan di atas tali jembatan. Tapi sepanjang hidupku aku baru sekali saja berjalan di atasnya.
Jembatan itu seakan sambungan diriku dengan dunia. Rimba di mana segala peristiwa dan benda berlarian dalam teropongku. Sering kubayangkan rimba itu adalah kebun dengan buah dan duri, dan tanganku tinggal memetik buah yang kusukai.
Tapi aku tidak pernah keluar dari hidupku ini. Aku hanya berputar saja dari kamar ke kamar. Turun ke lantai bawah rumahku dan naik ke lantai atas rumahku. Atau berjalan dari tepi ke tepi sudut-sudut rumahku. Di mana aku memandang tiap lengkung atau lebar benda, bau dan warnanya, yang kuresapkan dengan sudut mataku yang bertaut dengan jiwaku.
Kadang aku menonton acara televisi di salah satu kamar di bawah. Di depan layar televisi jari-jari tanganku menekan-nekan tombol acara dengan cepat, seolah tiap acara menungguku dan tanpa kehadiranku acaranya tidak akan dimulai. Kadang aku menonton film perang dan kusaksikan di dalam dunia orang-orang berjuang untuk hidup. Mereka harus membunuh atau dibunuh. Tak pernah ada jalan tengah dalam perang. Misalnya seseorang enggan membunuh karena sayang dengan kemudaan lawannya. Bisa juga lawannya yang muda sayang dengan tubuhnya yang tua. Mungkin dia berpikir dengan membunuh orang tua seolah dia membunuh orang tuanya sendiri. Pikiran yang sama dengan orang yang sudah tua: dengan membunuh anak muda maka seolah ia membunuh anaknya sendiri. Tapi seperti yang kusaksikan dalam film atau dalam cerita yang kubaca, orang terpaksa saling membunuh bukan karena ingin membunuh tapi karena harus membunuh. Sebab dengan begitu mereka akan terus hidup, tidak menjadi korban dan mati di dalam perang. Keniscayaan ini membuatku berpikir tentang relasi tuhan dan dunia. Tuhan membutuhkan dunia untuk menampakkan kebesarannya. Sedang dunia membutuhkan tuhannya untuk kelangsungan hidupnya.
Di rumahku yang besar dengan langit-langit yang tinggi, kadang adegan-adegan film kartun yang kutonton berlarian menjadi tiang-tiang rumahku. Seorang tokoh kartun dengan badan melengkung melompat dari satu tiang ke tiang lain, sementara lawannya sudah menunggu di atas undakan tiang utama dan melepas sebongkah batu tepat mengenai kepala babi. Aku melihat babi tergencet batu. Buntutnya bergerak-gerak lalu tiba-tiba melesat mengejar bebek yang kini berlari menjebol atap rumahku. Kudengar genting-genting berjatuhan ke lantai. Sebuah genting menimpa ujung kakiku. Bayangan bebek, babi dan genting menghilang saat kudengar jam seukuran diriku berdentang tiga belas kali. Jam peninggalan ayah yang kuletakkan di salah satu pojok rumah.
Kadang aku tertawa mengikuti gerak tokoh-tokoh kartun itu. Akupun melompat ke tiang-tiang rumahku. Melihat aku melompat seekor anjing lucu ikut tertawa dan meminta agar aku mengejarnya. Aku pun mengejarnya. Kami melompat-lompat dari tiang ke tiang, turun ke bawah dan berkejaran di lantai-lantai. Saat ia hampir kutangkap, anjing sembunyi di balik lemari yang sukar kujangkau. Aku mendengar suaranya berkata ayo kejarlah aku. Aku membalasnya iya aku akan mengejar kamu. Anjing itu tertawa sambil menyembunyikan tubuhnya.
Begitulah hidupku. Berputar-putar di rumahku sendiri. Tak pernah masuk ke kebun itu dan memetik buah di situ. Tapi aku selalu membayangkan kebun itu. Kebun dengan buahnya yang rimbun. Ada sebuah buah yang sangat menarik hati, tergantung di puncak pohon besar di tengah kebun. Pohon yang elok. Buahnya pastilah manis rasanya. Buah yang bentuknya amat indah dan ada kekuatan yang keluar dari dalamnya, agar aku memetiknya lalu memakannya. Ia amat menggoda tapi kukira ia serupa empedu dalam tubuhku. Aku yakin ia manis seperti empedu, tapi kalau kumakan empeduku akan bekerja dan mungkin melempar tubuhku entah kemana. Karena itu aku lebih suka hidupku di sini. Sehingga aku tak perlu memakan empeduku sendiri.
Pada suatu hari aku tertidur dan bermimpi, tiba-tiba telah berada di depan pohon itu. Pohon itu menjadi mahluk bernyawa menatap ke arahku. Lama dia menatapku begitu, tanpa kata, seakan orang tua yang menyesali anak-anaknya yang tak berguna. Aku terdiam di depan pohon itu. Mengapa setelah begitu dekat pohon ini tak menarik lagi. Aku masih melihat buah-buahnya berjuntaian, tapi sang pohon seakan enggan. Aku merasa ia ingin aku segera pergi. Tapi buah-buah di pohon itu tak setuju dengan kehendak batangnya sendiri. Mereka memanggilku dengan sayang dan memintaku mengacuhkan saja sang batang. Jangan hiraukan batang kami tapi petiklah kami sebagai buah yang bisa kamu makan. Cobalah kelezatan tubuh kami dan kelak kau akan tahu betapa lezatnya tubuh kami.
Di depan pohon itu aku termenung. Aku sudah yakin pohon ini tak menyukai diriku. Aku sendiri merasa aneh di dekatnya. Seakan aku dihinggapi rasa takut yang tua atau rasa kesenangan yang sengsara. Mungkin aku bisa mengambil kapak dan menebangnya. Setidaknya aku bisa memotong ranting-rantingnya agar ia menjadi batang tanpa tangan. Gundul seolah vagina yang kehilangan rambut. Aku tidak tahu apa yang menahanku tidak bermain-main dengan menebangnya. Tapi merasa harus cepat-cepat pergi. Tapi aku ingin memenuhi rasa ingin tahuku akan buah itu. Terutama buah yang letaknya di tengah rimbun buah. Buah itu sendirian menjulang di antara tumpukan buah. Kehadirannya di puncak buah itu menjadikannya buah yang menantang langit. Kini hanya ada dirinya sebagai buah dan langit sebagai atapnya.
Aku memanjat pohon itu dan aku merasa kedua tanganku memegang api kayu dari pohon itu. Panasnya menyambar dan merambat ke seluruh tubuhku. Kukuatkan diriku menghadapi gempuran panas api pohon kayu. Aku naik ke atas dengan tekun. Kadang kadang kalau panasnya sudah tak tertahankan, aku membayangkan buah itu adalah air dingin yang menyiram tubuhku dengan kesegaran. Lelahku naik dibayar dengan nikmatnya meresapkan buah yang segar. Sepadan dengan usahaku merambat naik ke atas puncak pohon.
Aku terus naik sambil menambah kekuatanku dengan mengenang ayah dan ibu. Ayah dan ibu, lihatlah anakmu naik memanjat pohon dan ingin mengambil buah dari pohon. Kelak kalau buah ini kudapat akan kubagi juga dengan kalian. Sehingga kita akan menjadi sasama pemakan buah dari pohon kayu terlarang. Lihatlah ranting-ranting pohon ini sungguh menghalangi tiap upayaku naik ke atas. Di batang induknya aku diserbu panas api pohon kayu, di rantingnya aku ditusuki duri-duri tajam dari ranting pohon kayu.
Tubuhku penuh luka dan darahku membasahi seluruh tubuhku. Aku berhenti sejenak tapi tak hendak turun. Kalau aku harus mati karena naik pohon ini biarlah aku mati di pohon ini. Tak mengapa aku mati di pohon ini. Toh kelak akupun akan mati di pohon lain. Jadi sama saja bagiku mati sekarang atau mati nanti. Kesadaran ini membuatku membulatkan tekad untuk naik terus. Akhirnya aku hanya perlu menyingkirkan ranting terakhir untuk meraih buah di puncak pohon. Ranting yang disegenap tubuhnya bukan saja mengandung duri tapi api yang merambati segenap badannya. Api itu ranting kayu yang biru. Kupejamkan mataku dan kurambati ranting kayu api yang terakhir itu. Tanganku telah memegang buah itu, dalam upayaku yang nyaris tergelincir karena mendadak sang ranting melemparkan diriku dengan bantuan angin, yang menggoyang tubuhnya sehingga ia meliuk begitu rupa, membawa tubuhku melambung ke udara. Aku bertahan dalam gempuran ranting api dan gelombang angin, dengan
memejamkan mataku dan sambil terus mengulurkan tanganku kepada buah itu. Tanganku mencapai sasarannya dan buah itu kupegang dengan hati-hati. Kini aku memegang jiwaku dengan tanganku sendiri. Benar seperti dugaanku, segala kepayahanku mendadak sirna. Panas yang kurasakan berganti kesegaran yang memabukkan. Tubuhku yang penuh luka menutup lukanya sendiri. Luka-luka itu tidak berbekas lagi. Aku melihat tubuhku yang segar bugar di atas puncak batang pohon kayu, sambil menggenggam buah kayu dari pohon terlarang.
Di atasku langit sunyi dan aku memandang ke langit sepi. Aku tidak tahu apa yang mendorongku berkata, seperti aku tidak tahu darimana asal pikiran yang kukatakan. Tapi dari mulutku telah meluncur ucapan yang keluar saja dari jiwaku yang paling dalam: lihatlah tuhan, aku telah menaiki batang dari pohonmu. Lihatlah aku kini tegak dengan batang dan buahmu, menantang langit kosong dari langitmu ini.
Aku terbangun dari mimpi itu dan mimpi itu dengan seluruh gema dan nadanya masih bergetar di jiwaku. Apa yang telah kumimpikan tadi, kataku, mengapa ia telah menggoyang sendi tubuh dan jiwaku. Lama aku terdiam dan tidak bisa berkata-kata memikirkan mimpiku itu.
***
Jembatan itu hanya kupandangi dari kamar atas rumah. Setiap pagi aku memandang ke arah jembatan dia selalu ada di sana. Entah mengapa aku pun mulai membayangkan bahwa jembatan itu adalah pohon kayu itu, yang kini merebah sebagai jembatan. Jembatan di mana orang-orang lalu di atasnya. Dan aku pun senang setiap aku memandangnya, jembatan itu tetap ada di sana. Aku tahu aku tidak mungkin menghapus jembatan itu dalam hidupku. Bahkan aku tidak ingin misalnya, entah oleh sebab apa, penduduk di sana melenyapkannya dengan jalan merobohkannya.
Bisa dikatakan antara aku dan jembatan itu, telah terbangun hubungan misterius yang aneh. Sering kubayangkan jembatan itu adalah tubuhku sendiri. Diriku yang terbuat dari pohon kayu dan kini telah menjelma jembatan itu. Pohon kayu di mana aku seolah jembatan dan orang-orang melalui tubuhku untuk mencapai tujuan.
Kalau malam hari, muda-mudi menjadikannya tempat untuk memadu hati. Pernah kudengar suara: andai aku punya uang pastilah kita tidak bertukar hati di sini. Sang perempuan tersenyum mengerti dan memandang lelakinya. Rambutnya yang hitam tumpahan bagi si lelaki. Senyumnya teduh dari tempatku berdiri. Angin membawa lamat-lamat suaranya. Angin yang ingin berkata: sudahlah. Di sini juga cukup. Yang penting kamu setia.
Lama aku memikirkan kata "setia". Apakah maknanya? Seorang suami harus setia dengan keluarganya. Untuk itu ia harus mencari agar hidup tidak berhenti. Tapi kehidupan bisa berhenti oleh sebab lain dan apakah gunanya kesetiaan? Aku pernah melihat seorang ayah meratap pilu, berharap agar anaknya tidak mati. Tapi anaknya mati dan dokter rumah sakit tidak berdaya mencegah kematiannya. Sang ayah membentur-benturkan kepalanya karena anaknya yang berusia lima tahun kini tidak lagi bernapas. Sebelum ia membenturkan kepalanya, ia masih memandangi anaknya seolah anak itu masih bernapas. Ia membayangkan hidupnya yang bahagia saat sang anak masih hidup. Tapi kini anak itu telah mati dan kebahagiaannya pun lenyap bersama maut.
Tapi maknanya mungkin sementara. Bagaimana pun semua orang akan mati. Jadi selagi hidup dia bisa bahagia dengan siapa yang dicintanya. Sampai salah seorang di antara mereka mati dan cintanya mungkin terkubur bersama. Kalau demikian, apalah arti kehidupan. Harusnya tidak ada yang mati, bukan? Tapi kalau tidak ada yang mati akan ke mana hidup ini? Kita menjadi tua, dan ketuaan bukanlah dunia yang bahagia.
Seekor burung hinggap di jembatan itu. Aku tidak melihat lagi perempuan penjual jamu kecuali sang burung. Burung itu nampak kecil dari tempatku bersandar pada pintu kayu. Seseorang telah lewat di jembatan itu dan kini telah mencapai tujuannya, sedang burung itu mungkin hanya singgah sementara. Mungkin ia lelah terbang dan tubuhnya butuh meregang.
Jembatan itu dengan airnya yang berwarna hitam, mungkin tak menjadi soal bagi si burung. Tapi dari tempatku berdiri, anak sungai di bawah jembatan membawa bau khasnya, di mana penduduknya menciprati anak sungai dengan benda-benda. Sering aku melihat dari atas rumahku, sebuah bungkusan mengapung. Kadang aku meneliti isi bungkusan dengan teropong.
Suatu hari kuambil teropong, karena aku tertarik dengan sebuah bungkusan yang terbawa arus seakan kapal hendak berlabuh. Kapal yang membentur-bentur kolam yang dibuat ayah untukku. Ayah tertawa kalau aku berkata, kapal ini membentur dinding bejana seolah jiwa manusia membentur penciptanya. Aku tidak tahu di mana aku mendapatkan kata-kata itu. Rasanya kata-kata meluncur bagitu saja dari mulutku tanpa aku tahu artinya. Tapi ayah senang mendengar aku mengucapkannya. Aku pun ikut tertawa karena kukira ayah bahagia.
Aku selalu ingin membahagiakan ayahku. Tapi kini ayah telah mati dan aku mengambil teropongku kembali. Aku tidak mungkin bisa melihat penyebab kematian ayah melalui teropong. Entah mengapa aku suka membayangkan seolah aku melihat kematian ayah melalui teropong. Seolah teropongku dapat menembus ke balik dunia. Melihat tiap rencana dan tindakan dalam dunia.
Kadang aku seolah melihat dari balik lensa, ayah yang menghembuskan napas terakhirnya. Tangannya terkulai bersama matanya yang meredup. Ayah memandangku tapi kukira ingatannya juga kepada ibu. Waktu yang amat sempit itu dipakainya untuk mengingat ibuku. Ayah selalu berkata bahwa ibu seorang perempuan yang cantik. Andai dia ada bersama kita kau pasti menyukainya.
Aku tidak pernah bisa membayangkan ibu tapi aku kira ayah benar: lewat teropongku, aku sering melihat seorang wanita berkebaya dan kubayangkan dia adalah ibuku. Seorang wanita dengan wajah lembut dan mata bercahaya. Aku sempat berpikir: ibu begitu sabar tapi mengapa sampai meninggalkan ayah. Terutama meninggalkanku.
Teropongku tak memiliki jawabnya. Seperti aku tak tahu isi bungkusan yang kupandangi. Sebuah plastik lusuh dengan huruf-huruf berwarna merah yang telah memudar. Aku menjenguk ke baliknya. Tanganku memutar gerigi teropongku agar mataku mendapat fokus yang jelas. Saat aku sudah bisa memandang dengan jelas, nampaklah di depan mataku benda-benda kecil di dalam plastik itu. Benda yang membuat aku begitu kaget karena di sana kulihat barang-barang pribadi milik ayah. Tidak mungkin mataku salah. Aku yakin apa yang kulihat itu milik ayah. Sepasang sarung tangan berwarna hitam. Sebuah pisau belati dengan kedua sisinya yang tajam. Sebuah kitab suci kecil. Serta tiga buah kondom yang nampak baru saja dipakai.
Aku masih memikirkan barang-barang ayah saat kulihat dengan ekor mataku, burung kecil itu jatuh dari jembatan. Lalu kulihat dari seberang seorang anak berdiri dengan ketapel. Aku pun tahu bahwa anak itu barusan saja membidik si burung. Burung itu jatuh ke tepi tiang jembatan. Dengan cakarnya ia berusaha agar dirinya tak terjatuh ke anak sungai. Tiga empat kali ia berhasil menaikkan tubuhnya, walau tidak stabil, tapi cakar-cakarnya berusaha keras mencengkram besi jembatan yang bagian-bagiannya kulihat sudah keropos karena karat. Menyisakan lubang-lubang menganga di bentangan besi. Burung itu akhirnya terjatuh.
Sukar sekali aku melukiskan matanya saat terjatuh: dari balik lensa teropongku aku melihat nyawa di mata burung kecil, bergantung pada cakarnya. Tapi cakarnya tak mampu lagi menyelamatkan nyawanya. Ia jatuh tepat di bawah jembatan dan hanyut terbawa arus ketepian.
Anak kecil itu menjadi murung. Nampaknya dia menghendaki sang burung. Di dekatinya tepian itu dan tubuhnya melongok ke bawah. Matanya pastilah terhalang oleh batu yang sending-sendingnya dipenuhi lumut-lumut hijau. Anak itu gagal menemukan burung itu, yang terjepit di antara batu dan sebuah bungkusan plastik yang tersangkut di batangan ranting, berimpit ujungnya dengan tepian batu.
Aku melihat dari balik teropongku dan berkata, andai tanganmu yang kecil menjulur dengan sebatang tongkat, pastilah kau akan menemukan burung itu. Kau tinggal membalik gerimbun itu dan akan kau temukan burungmu.
Aku bisa meneriakkan semua kata-kataku. Jarak aku dan anak itu hanya dipisahkan oleh sebatang anak sungai. Pastilah anak itu akan mendengar seandainya aku berteriak. Sejenak aku mempertimbangkan untuk benar-benar berteriak. Kalau aku berteriak suaraku pastilah sampai ke tepian.
Aku berpikir hanya karena pandangan yang salah anak itu tak mampu menemukan sang burung. Sedang aku berpandangan benar karena dibantu oleh teropongku dan karena sudut pandangku. Lalu apa salahnya kalau aku meneriakkan kebenaran sudut pandangku? Tidak ada yang salah, bukan? Siapa tahu dengan anak itu sang burung malah bisa terawat dengan baik. Pastilah anak itu tidak akan menjadikan burung sebagai santapan. Pastilah dia akan pelihara burung itu dengan kasih-sayang. Tapi mungkin dari sudut pandang burung, betapa pun baik manusia memeliharanya, dirinya tetaplah terkurung. Sedang dia tak hendak terkurung. Bukankah burung dibekali sayap dan dengan sayap dia mengepak-ngepak di udara. Di udara, dia benar benar akan menjadi burung. Sedang dalam sangkar dia bukanlah burung tapi burung yang sudah kehilangan sayapnya. Matanya tak bisa melihat luasnya dunia. Tubuhnya tak bisa merasakan dinginnya angin di atas sana.
Ah burung yang baik, harusnya kamu tidak berada di atas jembatan, sehingga anak itu tidak membidik kamu dengan ketapelnya. Harusnya kamu segera terbang pulang ke sarangmu di sana.
Di mana sarangmu berada, wahai burung kecil. Tadi kau ada di atas jembatan itu. Sedang aku di sinilah sarangku. Aku sering merasa jembatan itu seolah sebatang tubuh yang mati. Dan itu adalah tubuhku sendiri, yang membujur kaku membentuk jembatan. Tempat di mana orang-orang menyeberang.
Aku sering merasa aneh saat orang-orang itu melalui tubuhku, yang terbentang sebagai jembatan. Mereka tidak tahu bahwa diriku menjadi gabungan besi, yang diaduk pasir dan semen serta batangan-batangan besi yang bersambungan membentuk selajur pagar. Saat mereka lewat aku merasa sedih. Bagaimana orang-orang bisa tidak menyadari kehadiranku di antara mereka. Bukankah kaki mereka yang bersepatu itu menginjak-nginjak tubuhku? Bahkan suatu ketika berlari-lari di atasnya.
Kadang anak-anak bermain layang-layang sambil menjeritkan kebahagiaan. Lihat, layanganku terbang. Angin membawanya jauh ke angkasa. Anak-anak tertawa gembira dan lupa bahwa mereka memasangkan paku kepada tubuhku, saat seorang di antaranya melepas layangannya dengan seutas benang yang diikat kepada paku dan pakunya ditancapkan ke tubuhku.
Sebab lapisanku sudah terkelopak aspalnya, lalu tanah kering yang basah oleh guyuran hujan meninggalkan genangan. Anak-anak melompat-lompat di atas genangan tubuhku, membuat tubuhku bergetar karena menahan beban. Kalaulah mereka tahu aku terbaring sebagai jembatan, barangkali mereka akan berhenti melompat lalu dengan rasa sayang menegakkan tubuhku. Bukankah tubuhku seperti tubuh mereka, yang mengenal arti sakit dan senangnya saat bahagia.
Seorang perempuan keluar dari rumahnya dan mengajak anak itu pulang. Anak itu menangis dan sang ibu membujuknya. "Diamlah. Nanti ayahmu akan membelikan burung untukmu. "Mereka menghilang ke sebuah rumah reot di atas sana. Dekat ke jalan raya. Sementara aku masih menduga-duga apakah isi plastik di dekat burung itu. Burung itu kukira akan mati. Tubuhnya menggigil. Dan benar: tak lama kemudian kulihat burung itu tidak bergerak lagi. Punggungnya terbalik dan ia bersandar dekat plastik yang sedang kuamati. Kembali aku melihat hal yang sama: plastik yang pernah kulihat waktu itu. Bagaimana plastik itu ada di sana: plastik itu adalah plastik yang sama yang kulihat dulu. Di dalamnya barang-barang pribadi milik ayah bisa kulihat dengan jelas. Tapi kuhitung kondom itu sudah berkurang satu. Tinggal dua kondom dalam plastik itu. Sementara pisau dan sarung tangan ayah masih ada di dalamnya. Utuh seperti kitab suci yang kulihat tempo hari.
Hari-hari berganti. Tapi aku tak pernah beranjak dari rumahku ini. Lagi pula mau kemana? Aku sudah cukup bahagia dengan jembatanku, arus sungai dan sawah-sawahku. Tempat di mana orang-orang desa seputar rumahku mengirim padi-padian ke kota.
Aku juga punya burungku. Burung yang setua aku sendiri. Ayah sering menowelnya waktu aku kecil. Ayah memandikanku sambil sesekali menjentik burungku. Burung kamu kelak akan membesar. Seperti burung ayah. Ayah menampakkan burungnya dan aku diminta memegangnya. Kupegang sedikit. Terasa kenyal.
Ayah meminta agar aku menggoyang-goyang burungnya dan aku pun menggoyang-gayang burungnya. Coba kamu goyang-goyang burung kamu pula, kata ayah. Baik ayah, kataku. Lalu kugoyang-goyang burungku. Lalu ayah berkata, burung kita ini adalah alat untuk meneruskan kehidupan. Tanpa burung kehidupan akan berhenti. Mengerti, kata ayah. Iya, kataku. Padahal aku tidak mengerti. Bagaimana sesuatu yang tergantung di bawah pusarku, yang ukurannya tidak lebih dari kelingkingku, bisa mendatangkan hidup yang baru. Ayah tertawa. Kamu tidak mengerti, katanya. Tapi seolah mengerti karena ingin menyenangkan ayahmu ini.
Iya ayah, kataku. Lalu entah mengapa aku teringat ibu. Aku berkata, ayah, ibu ke mana. Ayah memandangiku, lalu tawa hilang dari wajahnya.
Aku menyesal telah bertanya tentang ibu. Aku tidak ingin melihat ayahku sedih. Tiap kali tanpa sadar aku bertanya tentang ibu, ayah terlihat seolah lelaki tanpa daya. Sedang sehari-hari dia begitu teguh di tepi jalannya.
Aku tahu jalan ayah sering terantuk batu. Hidup bagi ayah adalah mencari jalannya sendiri. Carilah jalanmu, kata ayah. Sebuah jalan nampak lurus bagi kebanyakan orang, tapi tidak lurus bagi mereka yang mencari tepinya. Kau tahu apa tepinya itu? Itulah jalan yang kita renungi dengan tubuh dan jiwa. Sehingga misterinya datang. Lalu ayah mengajakku melalui jembatan. Saat aku melangkahkan kakiku, aku mencoba apa yang dikatakan ayah. Inilah jembatan yang sering kupandangi dari jendela kamar. Di mana tiap orang melaluinya. Semuanya kelihatan begitu mudah. Tapi aku ingin mencari tepi jalan ini. Aku ingin dia datang padaku seperti yang dikatakan ayahku. Kubuka jiwaku dan kuserahkan diriku pada jalan itu. Lalu aku merasa ada sesuatu yang menarikku. Tenaganya begitu besar, mengisapku dari tenaga pusaran yang datang dari jembatan. Meleburku ke dalam kekuatannya sendiri. Tubuhku berkeringat dan ayah meraih tubuhku yang penuh dengan keringat. Aku terserang demam dan keringat itu membasahi seluruh tubuhku.
Ayah menatapku. Matanya bersinar aneh di atas jembatan itu. Aku seakan bukan melihat ayahku lagi. Ayah telah menjadi orang lain yang tak pernah kukenal. Orang lain yang berambut putih dan nampak begitu perkasa.
Tubuh itu memintaku meneruskan langkahku, mengiringi dirinya yang menuntun tanganku berjalan di atas jembatan. Aku pun berjalan. Melangkahkan kaki kanan. Langkah keduaku di atas jembatan. Saat kakiku menjejak ke tubuh jembatan, saat itulah kurasakan diriku diisap oleh kekuatan yang aku tak bisa lagi menolaknya. Sampai aku mengapung di udara. Berpegang dengan ayah yang memakukan kakinya ke atas kayu-kayu. Ayah seperti hantu di tengah jembatan itu. rambutnya yang panjang dan selalu menutupi wajahku kalau ayah memelukku, mendadak menegang, membentuk helai dari panah api yang siap membalik ke langit sunyi.
Ayah menggelengkan kepalanya, seolah kepala ayah adalah tali busur, dan dalam upayanya menembak langit, ia melepaskan rambutnya, sehingga panah-panah api serentak menyerbu ke arah langit. Memutus apa saja yang datang dari langit. Tubuhku pun kembali di samping ayahku. Lalu kudengar suara dari hidup yang terputus. Semacam doa. Doa yang entah bagaimana kurasakan sebagai kalimat pertama di dunia. Yang mengajari tentang nama-nama benda.
Aku berpikir bagaimana dari sebuah pergulatan tiba-tiba menjadi semacam wejangan. Jelas kekuatan itu telah diputuskan tangannya oleh panah api ayahku. Tapi mengapa kini kudengar malah untaian kata-kata yang isinya tentang nasib dunia. Di mana dosa dan pengampunan berjalan bersama-sama. Dosa siapa dan pengampunan siapa. Apakah suara yang kudengar itu.
Sejenak aku ragu telah mendengar suara itu. Dari dalam jiwaku timbul kekuatan yang hendak memberontak terhadap suara itu. Tapi makin kuat aku mengerahkan tenaga untuk menolaknya, makin kuat pula gelombang suara yang seperti gumam dalam nadanya.
Kuputuskan untuk mendengar suara itu. Siapa tahu ada hikmahnya. Kita tidak boleh menolak sesuatu sebelum membuktikan sesuatu, begitulah kata ayah. Dan aku ingin membuktikan suara itu. Setidaknya menegaskan memang ada suara dan suara itu seperti yang didengar oleh jiwaku. Tapi suara itu tak kembali lagi. Telingaku hanya mendengar sebentuk sepi. Sepi dari gurun salju yang memutih dan terbentang tak berkesudahan. Untuk terakhir kalinya aku mengerahkan tenaga untuk mendengarnya. Tapi ia benar-benar telah menghilang dan lenyap dari mata jiwaku.
Lalu aku terjerembab di atas jembatan dengan tubuh biru-legam. Ayah mengangkat tubuhku seakan mengangkat seseorang yang telah mati. Dia berbalik arah dan membawa tubuhku kembali ke rumah.
------------
Written about 5 months ago · Comment · LikeUnlike
You, Cesillia Cesi, Deasy 'Elang' N, Maghie Oktavia and 3 others like this.
Cesillia Cesi, Deasy 'Elang' N, Maghie Oktavia and 3 others like this.
Hudan HidayatHudan
Cesillia CesiCesillia
Deasy 'Elang' NDeasy
Maghie OktaviaMaghie
Erna HernandithErna
Nani MarianiNani
Poncowae LouPoncowae
Yuswan Taufiq at 1:08am January 10
Membaca bovel pada bagian pertama ini, seolah membaca falsafah hidup dan kehidupan, yg terus beranak pinak tentang jiwa-jiwa yg diberkahkan kepada manusia dalam kehidupan, selayaknya manusia yg dibekali oleh nafsu (sesuatu yg membuatnya mulia di hadapan Tuhan dibandingkan dg makhluk Tuhan lainnya - karena didalamnya diberikan pilihan-pilihan)
Sepeti panasnya kayu api, yg tidak menyurutkan keinginan untuk terus naik (wakau ada pergulatan batin yg menentang), namun rupanya 'angan kenikmatan' mengalahkan semua rintangan dalam meraihnya. Di sini pilhan jiwa berbicara.
turun temurun beranakpinaknya jiwa fitrah manusia digambarkan pula ketika sang anak diajak ayahnya mencoba melintasi jembatan. Sorang anak kecil yg kaget terhentak jiwanya ketika menemu kenyataan jiwa kehidupan. namun dg pertolongan inangnya (sang ayah yg lbh dahulu mengenal jiwa dunia), sang anak seperti menjadi 'maklum' walau tak berdaya (yg pd akhirnya adalah jiwa yg menyatu jg)
Yuswan Taufiq at 1:14am January 10
secara garis bear, jembatan itu adalah simbol peradaban manusia. Di mana merupakan titian yg harus dilalaui oleh manusia dalam menemu Tuhan, entah akhirnya bertemu dalam keadaan utuh seperti sedia kala seblum dilahirkan, atau jiwa yg sudah compang camping krn terhanyut oleh jiwa dunia.
Begitu kira2 pendapat saya bang Hudan.
Maap, saya hanya mencoba mempraktekan cara bang Hudan dlm membaca hidup sebuah karya. Yg tentunya ya saya belum bisa dan masih jauh di bawah, jika dibandingkan dg bang Hudan..xixi
Saya cm mencoba berkaca dari guru yang baik, yg memandang sebuah karya dari kacamata yg memihak. Dan sungguh itu memang menyenangkan.
demikian bang Hudan.
salam hormat dari saya,
yuswan
Yuswan Taufiq at 1:26am January 10
maap ada yg kurang. siapa tahu, dg cara begini suatu saat nanti saya jg bisa melukis esei seperti bang Hudan. Karena dlm esei bang Hudan saya jg membaca adanya apa-apa yg hrs menjadi bekal untuk menulis esei, yaitu pemahaman wawasan sastra yg luas, salah satunya.
(walau saat ini hal semacam itu terasa berat dan mustahil bagi saya, yg sudah telat secara usia untuk masuk ke dunia sastra..hehehe)
Sekali lagi, terima kasih bang Hudan.
... Read More
salam,
Hudan Hidayat at 1:26am January 10
kamu tandemku yang cerdas, yuswan. kukira kamu, bila bersungguh, bisa menjadi esais masa kini, bersama aku ini. sungguh tafsir yang begitulah tafsir: angle seorang pembaca.
ingin kutegaskan pendirianku, bahwa saat berhadapan dengan karya sastra, yang pertama tama posisi kita bukanlah sebagai kritikus sastra. sebab lihatlah alam: apakah manusia pertama tama tampil sebagai pengkritik alam? tidak. ia menikmati alam lalu belajar dari alam. dan alam, taken for granted ada tinggi ada rendah. semacam itulah.
maka semua karya punya arti, dan sang kritikus sebenarnya bukan membelah belah karya, tapi mengapresiasinya - atau menikmatinya seolah kita menikmati alam.... Read More
jadi begitulah yus, yang hendak dikedapankan itu bukan awal awalnya adalah curiga pada karya, tapi menemukan sisi sisi yang tersembunyi dari sebuah karya.
untuk berlaku seperti ini, tentu dibutuhkan kerendahan hati, terutama empati kepada pengarangnya. bukan malah datang datang memaki sebuah karya: karya ini jelek. apalagi
Hudan Hidayat at 1:27am January 10
tanpa adanya sebuah tulisan utuh tentang karya itu. empati pada karyanya juga
Kurniawan Yunianto at 1:53am January 10
bung hudan, sayang
aku coba melihat pada dirimu,
kau selalu bergulat dengan apa yang ada di kepala dan mungkin pula hati, pada keheningan malammalam panjang,
lalu menggeliat dan menggelinjang ... Read More
menjaga setitik demi setitik nyala agar kemudian berkobar
dan kubayangkan ..... itu semua kau lakukan seperti layaknya kau bernafas tanpa pernah menghitung berapa kali kau telah menghirup dan menghembuskan udara, dan tak pernah pula berpikir untuk apa, selain telah menjadi sesuatu yang memang tak butuh dipertimbangkan lagi
sebuah kesadaran akan keyakinan yang telah mendarahdaging
keyakinan yang memang seharusnya melandasi segenap diam dan gerak jiwa maupun raga
jaga kesehatan, sayang
Bamby Cahyadi at 7:56pm January 10
Halah, pantes kutak tahu, gak nge-tag. Nah, aku tuh jatuh cintrong ama tulisan mas hudan karena narasi, cara bertuturnya wuenak tenan. Haha, bagian burung yang kenyal itu cukup nakal. Lanjuuuut.
Ternyata tentang Teropong, punya kesamaan ide dengan cerpen Bambang Sukma Wijaya. Dunia memang aneh...
Hudan Hidayat at 5:16am January 11
ini menjawabmu juga bam walau tak langsung, soal bakal novelmu itu. bagaimana sebuah ide dan benda, diolah secara metaforis. tapi sungguh aku belum sempat mengolah bakal novelmu itu. walau kelak pastilah tersentuh juga.
Dewi Maharani at 11:36pm January 11
@ Bang HUdan : waaaaah , apakah ini bagian dr riwayat hidup bang ?
bahasanya sangat mudah saya fahami , membuat sy tak bosan utk membacanya walaupun tdnya berfikir " wah puanjaaang tenan"
sy bs mengambil sedikit kesimpulan ttg "aku" yang sangat menikmati dunianya , kehidupannya ... walaupun yg dihadapinya hhanya rutinitas yg berputar dari A memutar ke A lagi .. tanpa ingin mencoba sesuatu yg menggoda krn tau akan resikonya ...
mgkn itu saja dr saya Bang ..
Hudan Hidayat at 11:39pm January 11
terima kasih dewi, untuk kata kata mudah dipahami dan enak dinikmati itu. itu artinya sebuah karya seni sudah sampai pada pembacanya. itu memang dan bukan biografiku sendiri hehe iya.
bagaimana hari ini?: dapat puisi apa kamu dewi?
Dewi Maharani
Dewi Maharani at 11:45pm January 11
maksud sy riwayat hidup seseorang ya ...hehehe
hari ini belum ada Bang , lagi buka puisi2 teman2 FB yg di post kan ..
wah , makin giat saya belajar ttg puisi ..
Hudan Hidayat at 11:46pm January 11
sorry ya aku lupa canda padahal engkau hehe mau rasane nganggo bahasa sing paling aku suka: jowo. mbuh mbek boso ki aku kesengseng dew tenan asli lo hehe
Dewi Maharani at 11:55pm January 11
kesengseng opo kesengsem bang ? heheheeee
monggo kerso'o lho ... hehehee
Hudan Hidayat at 11:59pm January 11
iyo tak dimonggo iki dew hehe
Mbah Kuntet Dilaga at 1:49pm January 12
Membaca awal-awal cerita mengingatkanku akan puisiku " Penciptaan Adam" yang mana kau singgung kembali tentang bentangan taman dan pohon larangan yang hakekatnya adalah Nafsu Sahwat Manusia. dan kemudian kau ajak kembali aku kealam nyata, dimana engkau si pemilik burung hihihi, mendapatkan ajaran moral dari ayahmu untuk menggunakannya.
hahahaha
Dan pada akhirnya, memanglah benar segala yang bernyawa akan mengalami kematian dan akan kembali kepada rumahnya (Sang Khalik)....
... Read More
Mungkin itu aja ya.. heheheh
Eri Irawan at 7:10am January 13
pencarian yang tak sudah-sudah. belum ada yg final di dunia ini. itu saja, mungkin.
Hudan Hidayat at 12:20am March 30
aku mengunjungi kamu lagi, sayangku. setelah sekian lama kita tak jumpa, selalu aku ingat kepadamu lagi dan kau pun kan? sabar ya. aku masih ada yang kukerjakan. kelak kita bermain bersama lagi. kau dan aku menarikan dunia ini dengan tarian yang getir tapi indah.
Hudan Hidayat at 8:42am March 30
aku tahu sebentar lagi seseorang akan datang padamu. namanya alicia. aku baru saja mengenalnya dan kukira gaya gaya bertuturnya banyak sekali kemiripan dengan kita. agak bergila gila gitu. kemarin dia bilang huehue dan bukankah itu gayamu saat sudah jenuh dengan keadaan. dia mengaku tak membuat seni aku melihat lihat ke rumahnya memang tak ada ... Read Moredunia kata kata, mungkin belum, mungkin tersembunyi letaknya. tapi aku yakin sekali orang seperti dia itu tinggal meledak saja lalu seni akan lahir dari dirinya. kita lihat saja nanti. jadi tenang tenanglah kau di tempatmu ya sayang. tunggulah sebentar lagi dia akan datang.
pagi ini ada yang harus kukerjalan dan kita berpisah dulu ya. salam padamu, yang selalu menemaniku dengan setia.
Hudan Hidayat at 9:53am May 25
ni kayu api yang kubilang itu. bacalah dan kalian akan memetik makna yang tinggi atasnya.
Kris Budiman at 11:44am May 25
kepanjangan kalo sbg notes di fb!
kayu api? knp tdk air api aja hung?
Hudan Hidayat at 11:52am May 25
novel kok kris ih kamu itu hehe
Sudi Ono at 12:07pm May 25
kayaknya saya pernah baca yang ini bang, mungkin di jurnal tuhan hudan. Bagian bapak yang menowel-nowel burung si anak itu selalu lekat dalam pikiran saya, bagian yang sangat natural dalam novel kayu api ini. Dan selalu saya ingat ketika saya memandikan anak saya. Hanya, dalam dunia keseharian saya akan mengucapkan: burungmu kelak akan besar dan jauh lebih besar dari milik bapak...
Nani Mariani at 12:45pm May 25
Pak Pres Hud Hud yang ganteng.., jauh lebih ganteng dr SBY.., dorrr.., punya buku kumpulan tulisanmu kah?, dimana aku harus cari.., mohon konfrmasi ya Pres Hud Hud.., , semua bagus tulisanmu, aku mau bawa kemana saja aku pergi..., makasih...
Anita Rachmad at 12:56pm May 25
aduh sayang sekali......
Hudan Hidayat at 1:01pm May 25
ini kan ada misi di dunia maya - mungkin saya satu satunya pengarang di dunia ini yang memajang novel di dunia maya. novel benaran tinggal cetak aja. tapi biarlah untuk kawan kawan belajar.
kelak ya bu nani. sungguh saya ini pemalas kalau mau ke kantor pos. kalau ndadak ada orang saya beri. atau minta sama bamby kelak bamby minta sama aku jadi aku... Read More terhindar dari kantor pos itu. aku kan tak pernah kemana mana lagi - rumah kantor rumah kantor rumah mabuk di tim haha
uah makasih ya bu dubes yang ehm maniszzz hehe
Poncowae Lou at 1:02pm May 25
Aku tahu jalan ayah sering terantuk batu. Hidup bagi ayah adalah mencari jalannya sendiri.
Carilah jalanmu, kata ayah
semakin manarik.
lanjut
Anita Rachmad at 1:04pm May 25
ah mas hudan hidayat.....
Camelia Camel Dananjaya at 1:07pm May 25
rasanya seperti orang yang hidup dalam kesunyian dan ma masa lalu, ya...
Hudan Hidayat at 1:07pm May 25
masa sih idih hehe
Arif Gumantia at 1:38pm May 25
inilah yang aku rasakan:
Kata-kata tidak lagi direkatkan dan ditempelkan.
salam dari cah kentir madiun...luar biasa sekali....bagian dari novel ini....
Susy Ayu at 2:06pm May 25
setuju dgn Mas Arif, ini yang kutemukan pada tulisan Mas Hud ini. mengalir ke tiap tikungan, ke belokan, berputar putar..aku tahu kelak akan bermuara pada sesuatu. Lanjuut...Maseee.
Hudan Hidayat at 2:53pm May 25
tahukah kalian komen komen kalian itu telah mencapai komen tingkatan (walau dalam kesimpulannya) kritikus2 indonesia dan dunia. nah maka tafsirkanlah sendiri artinya dan nah mengapa kita tak percaya dengan orang kawan kita sendiri hehe ada ada aja ya karena kita kayaknya ini dikuntit terus ih ih hehe
arif itu dengan komennya agaknya sedang membuat novel lo cah cuci ayu hehe aku mau mendampinginya membuat novel juga mau mendampingi tiap orang buat novel
Abdullah Sajad at 3:54pm May 25
wahaha. hebat-hebat ini...
tiba-tiba larik-larik huruf dan kata, kalimat ini dari atas sampai bawah. menjadi novel. hehehe. suwun.
Susy Ayu at 5:01pm May 25
makasih banyak Mr. President. baru sketsa sketsa yang kubuat , kayaknya harus make up lagi neh, rombak lagi dr awal biar step by step, kalo langsung dibombardir nulisnya bisa gak ajeg tiap bab nanti, begitu ga? soalnya belum pernh bikin novel..takut di satu bab penuh, di bab lainnya garing...:)
Maghie Oktavia at 6:56am May 26
bang Huhi !!! idih...bny sekali makna yg tersirat dari setiap rangkaian kata di novelmu ini,membawaku merenung,tersenyum geli,menari lalu hiks..ada yg menohok relung hati yg sunyi lalu menari lagi....
aku jd berpikir,bgm ya caranya bisa menulis spt ini? dimana setia kata mengalirkan energi tersendiri bagi pembaca??? weleh...weleh.
*belajar lagi ahhhh...(yg tekun ya Maghie??) hehe
duh.. pak Presku yg baik hati ini....ada saja pembelajaran yg bisa diserap...
yuks lanjut ke episode berikut...brengkets
Deasy 'Elang' N at 7:08am May 26
Duh..aku berputar-putar nyaman pada setiap kata-kata yang kau guratkan disini. kau pandai membawa aku hanyut jauh ke dalam cerita itu..ddduuuuuuhhhh.
Priatna Ahmad Budiman at 9:13am May 26
labirin sunyi...hipnotis freud dengan mantra jung menyeret ke dalam. Tolong huhi, nak kau bawa kemana kami. Tolong..
Hudan Hidayat at 5:37am June 19
sabar ya sayangku. kelak aku akan menuliskan kamu lagi. tak kan lama.
Hudan Hidayat at 5:37am June 19
hehe aku mangsud arti help mu pri i hehe
-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
No comments:
Post a Comment