manuscripts marx dan teori hudan tentang puisi
Share
Today at 9:27am | Edit Note | Delete
3 hours ago · Comment · LikeUnlike · Show Feedback (28)Hide Feedback (28)
You, Gantha Aksara, Nani Mariani, Ernita Dietjeria Kokoleoko and 7 others like this.
Gantha Aksara, Nani Mariani, Ernita Dietjeria Kokoleoko and 7 others like this.
Hudan HidayatHudan
Gantha AksaraGantha
Nani MarianiNani
Ernita Dietjeria KokoleokoErnita
Amanda LafemmeAmanda
Teddy DelanoTeddy
Evo MohamedEvo
Deasy 'Elang' NDeasy
Nur JehanNur
Dedo Dpassdpededo
Yudhie Dusone Yarchoyudhie
Hudan Hidayat at 6:07am June 24
di buku tz lavine dari socrates ke sartre, terbitan jendela, bagian tentang karl marx, terbaca kata kata ini:
"mengapa buku economic and philosophic manurscripts yang ditulis marx di paris pada musim panas 1844, tersembunyi dari pandangan publik hampir seratus tahun? mengapa marx tidak pernah memberitahukan keberadaan naskah naskah tersebut...?
pertanyaan mengapa itu, seolah memantul ke dalam sub judul buku itu sendiri, bab 19. yakni "orang yang terasing". mengapa marx mengasingkan pikirannya sendiri ke depan publik?
saya dengan cepat mengangkat misteri itu, mentransendirnya ke suatu arah yang lebih tinggi:
mengapa tuhan mengasingkan manusia, dengan menurunkannya ke dunia?
manusia mengalami kejatuhan, descent, kata arlond toynbee dalam sejarah umat manusia (pustaka pelajar).
manusia diturunkan, "diasingkan" ke dunia, karena memakan buah dari pohon terlarang. karena terbujuk oleh ular, kata alkitab. karena tergoda setan, kata alquran.
buah terlarang yang hendak saya kejar ke balik maknanya dalam novel saya "kayu api". sebuah puncak lain dari kerja saya tentang metapora dalam novel, akan kehendak tuhan memfinalkan, ucapannya ke dalam suatu permainan penundaan atas ucapanya sendiri - paradoks descent-nya manusia dari taman eden itu, dari suatu surga yang entah di mana secara fisik letaknya.
saya payah mencapainya. tapi dengan mata terpejam, saya panjat pohon dari buah terlarang itu. biarkan tubuh saya dirayapi semut api dari api puisi tuhan yang digelarnya, ke dalam suatu permainan penundaan akan sabdanya. tubuh saya naik terus, melawan gelombang api puisi tuhan. angin ombak dari puisi tuhan di surga sana.
"Aku memanjat pohon itu dan aku merasa kedua tanganku memegang api kayu dari pohon itu. Panasnya menyambar dan merambat ke seluruh tubuhku. Kukuatkan diriku menghadapi gempuran panas api pohon kayu."
"Aku naik ke atas dengan tekun. Kadang kadang kalau panasnya sudah tak tertahankan, aku membayangkan buah itu adalah air dingin yang menyiram tubuhku dengan kesegaran. Lelahku naik dibayar dengan nikmatnya meresapkan buah yang segar. Sepadan dengan usahaku merambat naik ke atas puncak pohon."
"Aku terus naik sambil menambah kekuatanku dengan mengenang ayah dan ibu. Ayah dan ibu, lihatlah anakmu naik memanjat pohon dan ingin mengambil buah dari pohon. Kelak kalau buah ini kudapat akan kubagi juga dengan kalian. Sehingga kita akan menjadi sasama pemakan buah dari pohon kayu terlarang. Lihatlah ranting-ranting pohon ini sungguh menghalangi tiap upayaku naik ke atas. Di batang induknya aku diserbu panas api pohon kayu, di rantingnya aku ditusuki duri-duri tajam dari ranting pohon kayu."
"Tubuhku penuh luka dan darahku membasahi seluruh tubuhku. Aku berhenti sejenak tapi tak hendak turun. Kalau aku harus mati karena naik pohon ini biarlah aku mati di pohon ini. Tak mengapa aku mati di pohon ini. Toh kelak akupun akan mati di pohon lain. Jadi sama saja bagiku mati sekarang atau mati nanti. Kesadaran ini membuatku membulatkan tekad untuk naik terus."
"Akhirnya aku hanya perlu menyingkirkan ranting terakhir untuk meraih buah di puncak pohon. Ranting yang disegenap tubuhnya bukan saja mengandung duri tapi api yang merambati segenap badannya. Api itu ranting kayu yang biru. Kupejamkan mataku dan kurambati ranting kayu api yang terakhir itu. Tanganku telah memegang buah itu, dalam upayaku yang nyaris tergelincir karena mendadak sang ranting melemparkan diriku dengan bantuan angin, yang menggoyang tubuhnya sehingga ia meliuk begitu rupa, membawa tubuhku melambung ke udara."
"Aku bertahan dalam gempuran ranting api dan gelombang angin, dengan memejamkan mataku dan sambil terus mengulurkan tanganku kepada buah itu. Tanganku mencapai sasarannya dan buah itu kupegang dengan hati-hati. Kini aku memegang jiwaku dengan tanganku sendiri. Benar seperti dugaanku, segala kepayahanku mendadak sirna. Panas yang kurasakan berganti kesegaran yang memabukkan."
"Tubuhku yang penuh luka menutup lukanya sendiri. Luka-luka itu tidak berbekas lagi. Aku melihat tubuhku yang segar bugar di atas puncak batang pohon kayu, sambil menggenggam buah kayu dari pohon terlarang."
aku begitu mencintai novelku itu, novel yang kunotekan saja di fb ku. agar semua orang bisa membacanya. dan bersama diriku naik ke puncak puncak penciptaan sastra. biarlah kawan kawanku, bangsaku, mengecap juga ketinggian kawan kawanku, bangsa bangsa sedunia, dalam penciptaan yang datang dari dunia kata kata.
hidup suatu hari nanti pasti berakhir, bukan? dan aku mau meninggalkan kenang kenangan yang indah, kalau akhir itu kelak tiba. kapankah akhir hidupku dan kapan akhir hidupmu? itulah sebuah alienasi, pengasingan, yang dibidikkan oleh kawanku yang lain, marx, ke dalam suatu relasi kapital dan manusia yang menjadi bayang bayang di bawah suatu sistem kapitalistik.
tapi lihatlah keasingan itu begitu banyak wajahnya. wajah tanpa nama, kata kawanku yang lain, levinas, yang tadi malam kuajak bermain main dalam ceritaku, tentang kawanku yang lain: albert camus, dalam cerita yang mungkin kelak akan kutulis: aku dan albert camus.
kematian kita adalah sesuatu yang asing: kapan dia datang dan dengan cara apa dia datang. seasing dengan diceraikannya kita dari dari surga: kapan adam dan hawa turun, dan dengan apa dia turun - ke dunia.
keasingan itu akan melipatkan gandakan dirinya kalau kita mencoba coba berpikir tentang tuhan itu sendiri: duhai tuhan terbuat dari apakah kamu itu, dan darimanakah asalnya kamu itu. jangan takut tuhanku sayang aku tak akan menjadi gila. aku cukup tahu diri untuk kapan berhenti.
tapi dirimu demikian menggodaku. setergoda diriku dengan mahluk mahlukmu di atas dunia. mahlukmu yang asing bernama manusia dan manhlukmu yang asing bernama sebuah kota.
semua itu bagiku adalah wajah wajah lain tanpa nama. tapi wajahmu juga ya tuhanku yang kusayang.
waktu aku ke barcelona, aku datang pagi hari dan sampai di stasiun kereta api. betapa asing diriku di sana: seorang pun tak ada yang kukenal, seorang pun tak ada yang mengenalku.
kuhirup udara yang sama, udara pemberianmu, sambil mengingat kembali desa desa yang sepanjang malam kulalui. dari dalam kereta api yang kumatikan lampunya, diriku seolah hantu, melihat ke hantu lain di luar jendela.
rumah rumah di sana berjajar dan dingin di sana juga berjajar. menyelimuti rumah rumah, mobil mobil yang diam di pekarangan kecil, tiang tiang listrik yang tali talinya mengangkat kita ke dalam dunia mimpi.
aku tahu, di dalam, seluruh penduduk sedang tertidur, wajah wajah tanpa nama yang tak kukenal. lucu juga saat aku mencoba membayangkan salah satu dari wajah wajah tanpa nama itu.
kubayangkan aku turun dengan meloncat ke luar dari kereta. lalu diriku mengetuk salah satu pintu dari rumah rumah itu. penghuninya bangun dengan baju tidur, membuka pintu dan bertemulah kami di tengah malam buta:
aku berwajah asia dan dia berwajah eropa.
dalam suatu pertemuan di tengah malam buta seperti itu, kita semua bisa membayangkan bagaimana kedua wajah tanpa nama itu dalam keasingannya.
maka saya sangat mengerti ketika kawanku marx berkata, bahwa ada empat macam keterasingan, alienasi itu. bahwa "manusia diasingkan dari produk hasil kerjanya, kegiatan produksinya, sifat sosialnya, dan rekan rekan atau publiknya.
ke empat ini bagiku bisa menjadi sebuah agenda dari suatu program penulisan puisi. kalau saya berkata puisi, maka saya sedang berkata tentang suatu seni yang datang dari dunia kata kata. bahkan datang juga dari dunia indera yang lain: telinga dan warna.
saya membaca manusia diasingkan dari produknya dalam pengertian marx itu, adalah manusia yang sedang melakukan posisi tawar menawar dalam penciptaan puisi. sebuah tawar menawar yang bahkan bisa kita kembalikan ke dalam gerak seluruh hidup sang penyair.
yakni gerak dari persentuhannya dengan tiap gejala kehidupan. yakni alam ini sendiri yang saya tatapi dalam instansinya yang terakhir: sebagai benda abstrak dan benda konkret yang mendinamik dalam suatu hidup.
dan bandingkanlah dengan produk sang buruh di sebuah pabrik yang membuatnya terasing itu: ia yang mengerjakannya tapi produk itu bukan miliknya - milik sang pemilik modal. sedang sang buruh hanya memiliki tenaga, jasa, yang diserahkannya dengan secara tidak suka rela kepada sang pemilik modal - pabrik itu.
maka kini kita mendapati dua hal yang sejajar:
sang pengusaha pemilik pabrik dunia dan sang tuhan pemilik pabrik semesta. di mana kita dalam hubungan yang rumit dalam permainan peran telah bertukar tukar: menjadi sang pengusaha di suatu saat lain, dan menjadi pekerja di suatu saat lain lagi.
apakah artinya ini? bahwa keterasingan adalah suatu yang niscaya, suatu hal yang datang pada siapa saja, dalam permainan dan pertukaran peran semacam itu.
sang pengusaha terasing saat ia menjadi tamu di sebuah desa terpencil: ia tak sekehendak hatinya memerintah di sana, tapi akan tunduk kepada suatu cara hidup, tradisi, di desa itu sendiri. sebaliknya sang orang desa, andai ia masuk kota dan kemudian, secara tidak suka rela, menyerahkan tenaganya kepada sang pengusaha melalui pabriknya, maka ia pun akan menjadi orang asing di pabrik itu, sebagaimana orang orang asing lainnya.
asing, dari suatu penamaan akan relasi yang kelak menjadi akrab, menjadi familiar.
tapi tampaknya benda, produk itu, yang telah dihasilkan oleh sang asing yang kini, secara horisontal di pabrik itu, telah menjadi ia sang yang telah dikenal. tapi dalam konteks kepemilikan, terhadap hasil pabrik, sang ia yang telah dikenal tetap menjadi asing dengan anak batin yang ia sendiri telah ikut melahirkannya: barang barang produk pabrik.
ia mungkin familiar dengan fisik benda yang dibuatnya - tekstur, warna dan baunya. tapi semua itu bukan miliknya. seperti di dunia kepenyairan, sang penyair mungkin familiar terhadap dunia benda dan peristiwa di mana benda benda itu bermain, atau dimainkan, tetapi mereka bukanlah miliknya. suatu saat akan menghilang seperti kita kehilangan sesuatu, dan kelak akan membawa sedih dari kehilangan semacam itu.
namun tak pula bisa dikatakan ia bukan milik kita. bagaimana pun ia hadir dan bisa kita pandang. seorang buruh pabrik barangkali begitu mengidamkan sebuah mesin laptop yang dibuat oleh tangannya sendiri. ia tatapi laptop itu. ia elus dengan penuh kasih sayang. andai, andai saja mesin laptop ini milikku, mungkin aku bisa kreatif menceritakan betapa derita dan putus asa kami di sini. sayang mesin ini bukan milik kami.
ia tak sepenuhnya hilang, walau ia tetap bukan milik kita. milik sang penguasa pabrik dunia. jadi benda benda dan peristiwa familiar kepada kita, tapi selalu berjarak karena bukan milik kita.
familiarisasi memang suatu gejala yang tak hendak memfinalkan diri. ia selalu menciptakan ruang, ruang yang datang dari sudut, atau celah, pengetahuan kita pada benda.
situasi itu membuat tiap benda dalam peristiwa menjadi separuh familiar, dan separuh asing. familiar karena kita jumpai dalam keseharian. asing karena ia selalu menciptakan sebuah lubang.
pada konteks peran dan fungsi masing masing, maka mencuatlah apa yang kita sebut kepemilikan dan kehilangan. kita memiliki sesuatu tapi pada saat yang sama, kita kehilangan sesuatu.
contoh paling nyata mungkin bisa kita acukan kepada hidup kita sendiri: kita memiliki sang istri atau sang suami, dalam hal itu kita familiar padanya. tapi pada saat yang sama sang dia yang milik kita, mendadak menjauh dan menjadi asing karena lubang dari sifatnya sendiri: ingin bereksistensi pada dirinya sendiri. ingin menjadi asing, menjadi wajah tanpa nama yang lain. pada saat itulah kita menderita kehilangan.
jadi kepemilikan bersamaan datangnya dengan kehilangan. ruang sambung antara kepemilikan dan kehilangan inilah yang menciptakan jarak yang bisa kita isi dengan apa saja. sebuah waktu untuk dunia imajinasi memainkan dirinya.
dia seolah tabularasa dalam puisi: bernama sedih, bernama misteri, bernama ingin, bernama putus asa, kecewa, harapan, dan entah apa lagi wajah wajah tanpa namanya.
penyair merenggutkannya dari dunia benda benda dan peristiwa. pertaliannya dengan benda dan peristiwa yang sekaligus akrab dan sekaligus asing itu, telah membawanya ke suatu penolakan dan penerimaan yang juga sekaligus. seolah telah terjadi holistik dari proses penciptaan puisi - suatu ruang yang direngutkan, tapi sekaligus direguknya, ditolaknya sekaligus diterimanya.
ruang yang menimbulkan api dalam puisi. api di mana sang penyair hendak membentukkan suatu dunia yang berasal dari surga yang hilang.
kita telah memakan buah kuldi puisi tuhan. kita telah terasing dari buah kuldi puisi tuhan.
tapi sekaligus bisa kita ajukan pertanyaan bersamanya: tidakkah buah kuldi itu sendiri adalah sebuah buah dari pohon terlarang, yang sebenarnya telah dan adalah keasingan dari suatu pertemuan kita pertama atas dunia benda benda. kata kata tuhan hey adam dan hawa, jangan kau dekati pohon ini, adalah suatu penjarakan kita, suatu pengalaman keasingan kita kepada benda benda yang pertama.
tapi sekaligus dengan larangan itu, telah timbul hasrat dalam diri, yang difasilitasi oleh ular atau setan, sebagai kasus belli, bahwa kita memiliki gerak hati untuk akrab kepada benda dari pohon terlarang itu. kita ingin mengenalnya, dan kita juga tergoda ingin memakannya.
puisi lahir dari suatu proses aneh semacam itu. proses kepemilikan sekaligus proses kehilangan. proses penyuruhan sekaligus proses penjanganan. sebuah ambigu, sebuah finalitas yang dibatalkan, menjadi suatu penundaan dalam bahasa derrida.
puisi hendak merekamnya. hendak mencatatnya. dan puisi memang telah merekamnya. dan mencatatnya.
adalah menarik dalam kerja puisi, untuk merekam dan mencatat pula, untuk mencari dan merambah, ke daerah daerah lain dari suatu produk pembatalan yang ditunda tuhan, yang digeserkannya ke apa yang kita sebut dengan masa depan - suatu peristiwa yang belum terjadi, tapi telah berbuah puisi dari kitabnya sendiri: lauhmahfuz, sebagai induk dari segala induk puisi. muara sekaligus hulu dari segala grand narrative itu.
tak mudah mencapainya. tapi bukan pula tak mungkin mencapainya. tapi saya mendakinya dengan puisi kayu api.
ai apolah sayo ni
hanya seekor hh
hudan hidayat - at 8:58am June 24
- filsuf
------------
Dedo Dpassdpe at 6:13am June 24
teralienasi, marx adalah the black swan!
Written 4 hours ago · Comment · LikeUnlike
You, Ita Mifazah, Tjes Sesillia, Cepi Sabre and 4 others like this.
Ita Mifazah, Tjes Sesillia, Cepi Sabre and 4 others like this.
Hudan HidayatHudan
Ita MifazahIta
Tjes SesilliaTjes
Cepi SabreCepi
TRia NinTRia
Ping HomericPing
Pakar DukunPakar
Gantha AksaraGantha
Joe Akib
Joe Akib at 9:56am June 24
tuhan hudan,, boleh tanya,, bagaimana hubungan antara materialisme dialektika dengan alienasi,,hehe
N'na Sastradihardja
N'na Sastradihardja at 10:22am June 24
bang hudan : aq temukan sst dari note abang nee....hakikat suatu "proses" penciptaan etc...smoga tdk salah ya bang...msh aq renungkan lah...bout'note ...hehee wait ya is about time....
Hudan Hidayat
Hudan Hidayat at 10:28am June 24
terima kasih n'na asik ya.
apa itu ya joe akib hehe coba kau urunkan menurutmu, kami ingin mendengarnya juga agar ai asiknya hehe.
Yessi Greena W Purba
Yessi Greena W Purba at 11:57am June 24
bang hudan...
Joe Akib
Joe Akib at 1:39pm June 24
ah tuhan canda aja deh,, hihi
Write a comment...
-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
No comments:
Post a Comment