----- Original Message -----From: Fakih, RidwanSent: Sunday, June 21, 2009 7:50 AMSubject: RE: #sastra-pembebasan# Perbaikan masa kelam, belum terlambatSaya juga mengalami ini jaman pengganyangan PKI 1965 -1966
Tetapi saya berbeda persepsinya terhadap tulias Anwari dibawah
Saat itu terjadi karena konteksnya saat itulain dengan konteks saat ini
Saat itu juga belum ada UU HAM.
Dulu itu Yang anti PKI jelas menindas PKI...SAYA SETUJU.Karena
sebelumnya
Semua yang Anti PKI juga diam tak berani berkutik dan terasa tertindas
oleh PKI
Karena Bung Karno Pro Komunis.
Seandainya PKI menang....mungkin Indonesia juga ribut terus...Karena
Sebagain besar rakyat Indonesia tidak Pro PKI.......
Dan Ingat sejarah Kejatuan Komunis di Eropa Timur
Kalau PKI menang...Indonesia, mungkin setelah Komunis jatuh di
Eropa.......
Negara Indonesia juga akan menjadi terpecah menjadi Banyak Negara
........Apakah ini yang
diinginkan???? Hai kaum simpatisan PKI
Jadi:
Bersyukurlah saat itu ada RPKAD yang pro Rakyat Anti Komunis.
Ingat saat itu belum ada UU HAM......jadi syah-sayah saja....ada
pembunuhan 1965 -1966 .........(bukan berarti saya suka
pembunuhan...)...Cuma logika
kontekstual ...kejadian harus diukur Dengan situasi saat itu...
Kalau itu melanggar HAM...yah semua Rakyat Indonesia melanggar HAM semua
Tidak hanya Angkatan Darat......
Kesimpulan.....
Sudahlah kita nggak perlu kita ungkit ungkit lagi
Anda mengungkit ini untuk siapa...kalau anda Simpatisan PKI
Yah nggak ada masalah......tapi untuk apa.....supaya aliran Komunis
Hidup lagi di Indonesia......Mungkin itu jawabannya.
Peace
ridwan
From: sastra-pembebasan@yahoogroups. com
<mailto:sastra-pembebasan% 40yahoogroups. com>
[mailto:sastra-pembebasan@yahoogroups. com
<mailto:sastra-pembebasan% 40yahoogroups. com> ] On Behalf Of adoelarnowo
Sent: Sunday, June 21, 2009 1:57 AM
To: sastra-pembebasan@yahoogroups. com
<mailto:sastra-pembebasan% 40yahoogroups. com>
Subject: #sastra-pembebasan# Perbaikan masa kelam, belum terlambat
Anwari Doel Arnowo - Sabtu, 20 Juni 2009
44 Tahun Yang Lalu
Umur saya waktu tahun 1965 sudah 27 tahun, tinggal di Jakarta, sudah
bisa mengabsorb gosip apapun, gosip kelas tukang becak dan gosip produk
intel, bertebaran. Kaum intelekpun juga bergosip dan lebih seru karena
mereka menyebut nama-nama terkenal baik politikus maupun perwira tinggi
militer yang begitu banyak. Bukan gampang bagi saya menghafalkan pangkat
militer dan istilah-istilahnya yang sering disingkat-singkat. Ada Kodim,
ada Lettu ada PHB dan RPKAD serta ada DenPom dan Koramil. Dengan
terpaksa karena ingin juga ikut mendengarkan gosip yang sedang in, maka
saya ikut menghafalkan kata-kata tersebut yang juga amat berguna untuk
digunakan bila saat kita mendengarkan warta berita baik televisi maupun
radio. Banyak hari harus kita lalui dengan mendekam di rumah dalam
keadaan gelap serta tidak bisa, karena tidak berani, pergi ke luar
rumah, karena ada jam malam. Siapa bikin jam malam? Membingungkan
sekali, Tentara atau Polisi, yang jelas rakyat harus tetap di rumah
masing-masing tidak dibolehkan sama sekali berada di luar halaman. Musuh
kita tidak jelas. Ada perebutan kekuasaan di tingkat atas dan ada
beberapa perwira tinggi militer yang mati. Tersebar luas bahwa PKI
adalah dalang segala-galanya, yakni dalang pembunuhan para jenderal,
dalang kerusakan ekonomi, kerusakan moral dan melakukan perbuatan
amoral. Sukar bagi saya untuk mendapat berita atau gosip yang patut
diandalkan kebenarannya.
Banyak yang isinya bombastik, berlebih-lebihan seakan-akan orang-orang
PKI mau menyerbu dan merampok daerah Kebayoran Baru di mana saya
bertempat tinggal di jalan Airlangga. Meskipun hal itu tidak pernah
terjadi, kita telah terpaksa wajib berjaga-jaga sepanjang malam sampai
pagi, di tingkat RT dan RW. Tidak berani saya menolak dan membolos dari
giliran jaga, meski keesokan harinya saya bekerja di Departemen
Perindustrian Maritim. Semua orang bisa menuduh orang lain dan dituduh
PKI oleh siapapun, hanya karena ada masalah suka dan tidak suka.
Sampai sekarang, keadaan 44 tahun yang lalu, 1965, banyak yang tidak
jelas, karena sengaja disamarkan dan kita banyak pula kita yang tidak
perduli lagi. Tidak hirau, tidak mau tau dan beranggapan bahwa itu semua
kan masalah yang sudah lama berlalu. Sing wis yo uwis, yang sudah ya
sudah. Seperti ini begitulah masyarakat kita melalui masa empat puluh
empat tahun lamanya. Meskipun banyak, tetapi amat sedikitlah mereka yang
perduli, mereka yang berani bersuara, memberitakan, merekam dan menulis
dalam kerahasiaan. Mereka sadar banyak hal telah tercipta sehingga
mereka harus begitu, karena penghalang yang mereka jumpai adalah
Pemerintah totaliter dan repressive, orde baru dan para pengikutnya yang
saat ini masih menduduki jabatan-jabatan tinggi.
Pada tanggal 17, 18 dan 19 Juni 2009, saya sempat hadir di sebuah
Konferensi di Singapore atas undangan Asia Research Institute and
Faculty of Arts & Social Sciences National University of Singapore dan
Australian Research Council's Asia Pacific Futures Research Network
(APFRN).
Dengan judul: THE 1965-1966 INDONESIAN KILLINGS REVISITED, di bawah
kelola empat governors: Anthony Reid dan Douglas Kammen dari National
University Singapore dan Katharine McGregor serta Vanessa Hearman
dua-duanya dari The University of Melbourne, konferensi telah dapat
terselenggara dengan lancar dan menyenangkan. Hadirin yang terdaftar ada
125 nama dan didatangkan dari banyak negara termasuk Indonesia, juga
dari Canada, Australia, belanda dan Amerika Serikat, Nepal, Filipina.
Saya sudah membaca daftar nama-nama yang jelas terdaftar, tetapi saya
juga bertemu dengan mereka yang tidak ada di dalam daftar seperti Pak
Iwan yang Sekretaris Dua dari KBRI Singapura dan beberapa orang lain.
Panitia, meskipun meliputi anak-anak muda mahasiswa maupun lulusan
National University of Singapore yang bersemangat dan bekerja
profesional, dapat memenuhi kebutuhan konferensi dengan sempurna.
Di dalam suasana konferensi yang diisi oleh para sejarawan yang amat
mendalami ilmunya terungkaplah banyak hal yang tidak pernah saya dengar
karena memang saya tidak pernah bisa mengaksesnya dari segi sejarah
seperti mereka. Maka pencerahan banyak saya dapat dari konferensi ini
karena detil dari semua kejadian ini dapat diungkapkan dengan fakta
sejarah. Menggunakan catatan wawancara dengan peralatan mutahir,
pemutaran film yang dibuat dan diprakarsai oleh Bapak Putu Oka Sukanta,
yang punya gelar ET , bukannya Extra Terestrial, tetapi Ex Tapol, yang
telah mendekam di dalam penjara Salemba dan Tangerang selama sepuluh
tahun lamanya. Ditangkap tahun 1966 dan dibebaskan serta ditangkap lagi.
Pak Putu ini seumur dengan saya yang akan menjadi 70 tahun pada bulan
depan. Dia menyatakan bahwa dirinya adalah seorang Ex Tapol (Bekas
Tahanan Politik) yang beruntung.
Sejak dilepaskan statusnya dari tahanan beliau telah berhasil
menerbitkan beberapa buku (salah satunya tidak mencantumkan namanya) dan
membuat beberapa film, dan berkarya untuk kehidupannya dengan praktik
sebagai akupunkturis di sebuah klinik miliknya yang disebutnya dengan
Care, Support & Complementary Treatment for HIV/AIDS, Taman Sringanis
Foundation-IHPC/ AUSAID. Sambil bergiat seperti ini Pak Putu telah
berhasil berkelana ke 18 negara.
Saya berkenalan di konferensi dan berhasil berbicara banyak dengannya,
terutama saya terkesan dengan sebuah filmnya yang pendek yang
menggambarkan keberhasilan dalam mewawancarai banyak orang bekas korban
G-30-S yang mau mengungkapkan sedikit atau malah ada yang banyak dari
pengalamannya. Filmnya bagus dan hasilnya sekelas film komersial, saya
sendiri bermaksud membeli compact-disknya bila saya ke Jakarta dalam
bulan depan. Apa yang terungkap dari film pak Putu maupun dari hasil
wawancara yang dilakukan oleh mereka yang berkebangsaan asing tetapi
amat perduli dengan gerak sejarah Indonesia, sungguh menggugah pikiran
semua hadirin untuk ikut perduli. Saya sendiri ingin sekali melengkapkan
apa yang terungkap di dalam konferensi ini, untuk keperluan agar bisa
dipakai oleh generasi anak-anak dan cucu saya yang telah belajar dari
guru-guru yang mengajarkan sejarah sesuai dengan arahan pemerintahan
yang dikuasai oleh para petinggi militer dari presiden, menteri sampai
gubernur-gubernur sampai lurah-lurah dan aparatnya sekalipun.
Para guru ini telah mengajarkan sejarah dengan arahan yang salah, harus
berbohong sepanjang masa. Sejarah yang diarahkan adalah hasil karya dari
Brigadir Jenderal Drs. Nugroho Notosusanto yang telah banyak menggunakan
penafsirannya sendiri, yang menguntungkan mereka yang menjadi atasan
langsungnya
Sampai hari inipun sejarah seperti itu belum berhasil di kembalikan ke
yang sebenarnya terjadi. Angkatan Darat amat berkepentingan agar versi
yang mereka kehendaki bisa berhasil ditanamkan ke dalam otak para
keturunan bangsa di masa yang akan datang. "Kejahatan" G-30-S
yang selama ini diakui sebagai hal yang benar, menjadi hal-hal yang amat
patut diberi tanda tanya besar. Selama para muda usia ini masih teracuni
oleh sejarah yang versinya adalah his story, bukan yang seharusnya
adalah history, maka harapannya pada saat ini, masih kecil, dalam upaya
kita bisa mengalami kesatuan bangsa yang utuh. Terlalu banyak yang
ditutupi dan tidak dikatakan karena sejarahnya memang akan bisa mampu
mengungkapkan banyak peran tentara kita di masa itu yang amat
keterlaluan.
Ada satu bagian dari konferensi yang membicarakan: Colonel Sarwo
Eddie's Travel in Java and Bali September December 1965, yang
dikemukakan oleh David Jenkins, seorang yang saya ingat sebagai pelaku
media yang pernah dijadikan seorang persona non grata oleh pemerintah
orde baru. Di sesi ini David mengungkapkan bahwa pertama-tama Sarwo
Eddie datang dengan pasukannya dan bertemu dengan kaum ulama di Semarang
dan segera setelahnya terjadilah pembunuhan massal yang tingkatnya
mencapai sekitar 1500 orang per hari.
Hal seperti ini bak seperti photocopy saja terjadi di semua tempat yang
dia kunjungi selama sekian lama di Jawa Tengah, di Boyolali dan ke
Yogyakarta.
Selanjutnya cara begini merembet ke Jawa Timur dan Bali. Pembunuhan
dilakukan oleh kaum militan agama karena mereka menganggap bahwa komunis
adalah musuh Tuhan dan juga musuh agama. Pembunuhan ini kalau tidak
dilakukan oleh pasukan Sarwo Eddie, maka dilakukan oleh kaum yang
diindoktrinasi dan tercuci otaknya.
Kaum Nahdatul Ulama di bagian Utara Jawa Tengah dan Jawa Timur telah
melakukan pembantaian dengan kejam dan tanpa perikemanusiaan, tanpa
memandang kawan atau saudara. Khusus di dalam sesi ini juga diingat
bahwa Presiden Abdurrahman Wahid pada masa awal dari masa
pemerintahannya telah menyatakan penyesalannya dan meminta maaf atas
nama Nahdatul Ulama terhadap perbuatan-perbuatan biadab seperti itu.
Yang disesalkan adalah bahwa perbuatan-perbuatan yang sama dilakukan
oleh RPKAD Pasukan Sarwo Eddie dan Angkatan Darat pada umumnya di
seluruh Indonesia terkesan kental sekali dilakukan penyamaran (hazy dan
foggy) agar dilupakan dan dianggap tidak ada.
Mari kita perhatikan hal-hal di bawah ini:
Diungkapkannya fakta-fakta yang bersifat fitnah, bahwa sesungguhnya PKI
itu sebenar-benarnya tidak tau menau apapun soal dan masalah intern
Angkatan Darat yang membunuhi jenderal-jenderalnya sendiri.
Diungkapkannya bahwa tidak ada satupun jenderal yang disiksa di Lubang
Buaya, tidak ada kemaluannya yang dipotong dan disakiti badannya. Mereka
hanya ditembak saja.
Diungkapkannya bahwa para Tapol itu ditangkap dan ditahan di dalam
penjara selama puluhan tahun, dan di asingkan di pulau Buru, tanpa
diadili dengan layak. Demikian juga yang serta merta dibantai langsung
dan dikubur secara massal.
Diungkapkannya bahwa banyak kuburan massal yang yang selama ini telah
ditemukan dan didaftar, akan tetap pada suatu saat nanti di kemudian
hari akan diungkapkan, setelah payung hukumnya sudah ada dan mendukung
pengungkapan seperti ini. Juga sudah ditemukan satu kuburan massal yang
dikirakan berisi sebanyak lima ribu orang, di Selatan Yogya.
Sungguh disayangkan bahwa saksi-saksi sejarah kelam ini tidak banyak
lagi yang masih dalam kondisi hidup sehat karena telah tiada atau telah
amat lanjut usia. Pencarian seperti ini, saya diberi-tau, masih menggebu
dilakukan oleh mereka yang bersemangat. Mereka ini masih muda usia dan
bersedia melakukan hal-hal ini karena demi kebenaran latar belakang
sejarah yang benar demi masa depan Indonesia. Mereka ini bukan hanya
yang berkebangsaan Indonesia tetapi banyak yang berkebangsaan bukan
Indonesia
Diungkapkannya bahwa penyiksaan para Gerwani dan para tahanan wanita
yang tidak mengerti apa urusannya di ditahan, tidak lain hanyalah
pelecehan seksual yang memalukan untuk saya ungkapkan, tetapi dalam
salah satu sesi seorang pembicara Annie Pohlman dengan topik berjudul
Sexualised Violence agaist Women during the year 1965 - 66
Massacres, telah mengungkapkannya dengan detail sekali.
Di setiap daerah diungkapkan kekejaman militer kita di dalam bertindak
kepada penduduk setempat sehubungan dengan tuduhan terlibat PKI:
Di Sumatra Utara (Medan) oleh Tan Yen Ling (National University
Singapore)
Di Sumatra Barat oleh Narny Yenny (Univ. Andalas)
Di Lampung oleh Pak Nasir Tamara yang terkenal dan sekarang bertempat
tinggal di Singapura
Di Cirebon dan Jawa Barat oleh Laurie Margot Ross dari LA USA.
Di Solo oleh Theodora Erlijna (Institut Studi Sejarah Indonesia)
Di Sulawesi oleh Taufik Ahmad (Univ. Hasanuddin) yang mengatakan bahwa
sampai saat ini sukar dicari datanya karena masyarakatnya yang bangsawan
dan kuat beragama memang membenci PKI, jadi seakan-akan tidak ada PKI di
sana.
Di Timor Barat dan Nusa Tenggara Timur oleh Steven Farram (Charles
Darwin Univ.)
Khusus mengenai para Bansernya Nahdatul Ulama, ulasan diberikan lumayan
detil oleh Greg Fealy (Australian National University dan Katharine
McGregor ( The Universiy of Melbourne)
Juga ada dibahas masalah di Blitar Selatan dan Kalimantan
Hampir seluruh wilayah di Indonesia dibicarakan kelainan tata cara
pendekatan keamanan dari TNI Angkatan Darat dalam mengamankan dan tetap
menjaga serta memelihara kekuasaan yang ada di dalam tangan mereka.
Hari ketiga atau terakhir didominasi oleh para pembicara Indonesia
dimulai oleh Asvi Warman Adam, yang amat mengkhawatirkan masalah
pengajaran sejarah.
Diah Ariani Arimbi (Univ. Airlangga) mengambil judul: "History is
Not on Her Side" Discourses of G-30-S and the Killing Aftermath in
Contemporary Indonesian Literary Writings.
Pembicara-pembicara berikutnya pak Nur Kholis (KOMNAS HAM -
Indonesian National Commission of Human Rights) menerangkan peran Komnas
Ham terhadap penyelidikan mengenai Pembunuhan Massal 1965-1966.
Winarso dari Sekretariat Bersama korban 1965-66 yang berusaha menyatukan
oraganisasi-organisasi para korban yang banyak itu untuk menjadi suatu
kekuatan yang kuat.
Giliran Pak Putu Oka Sukanta menerangkan mengenai jalan hidupnya selama
ditahan dan setelah bebas dengan terantuk-antuk berusaha tetap suvive,
karena KTPnya dicap ET. Dia ditangkap karena dianggap sebagai anggota
LEKRA yang dikatakan juga adalah afiliasi PKI. Banyak para mereka yang
mengetaui mengatakan bahwa bukan LEKRA yang mengakui menjadi bagian dari
PKI, tetapi mungkin sekali PKIlah sebagai sebuah Partai Politik yang
berkekuatan besar, "mengangkat anak" Lekra menjadi yang ada di
dalam lindungannya. Berbelit-belitnya cara pikir militer, yang sering
terlihat amat tidak masuk di akal sehat mengait-ngaitkan sesuatu yang
kecil-kecil menjadi sesuatu yang cukup besar untuk dijadikan musuh
keamanan dan pada gilirannya: ditingkatkan lagi menjadi musuh nasional.
Korban sebagian besar adalah rakyat kecil yang tidak tau apa-apa. Ayah
pengemudi mobil saya adalah seorang petani biasa, buta huruf, ditangkap
karena dianggap sebagai anggota BTI (Barisan Tani Indonesia). Petani
biasa, bukan orang berada, buta huruf, menjadi musuh yang berbahaya bagi
Negara??
Saya ingin agar semua ini bisa jelas dalam suatu kejujuran sehingga anak
cucu saya akan mendapatkan masukan yang benar dalam mendidik
keturunan-keturunan saya dan anda yang terlahir di masa generasi
berikutnya.
Tidak ada satu orangpun yang bisa berbohong secara terus menerus.
Saya ingat Ex Menteri Penerangan bernama Mashuri SH, Ketua RT di daerah
rumah kediaman Suharto di Jalan Irian, Menteng. Dialah yang digosipkan
menyelamatkan Suharto karena memberitaukan adanya pembunuhan para
Jenderal pada tanggal 30 September 1965, telah minta berhenti dari
jabatannya sebagai Menteri. Dalam sebuah media pernah saya baca bahwa:
kepada salah seorang temannya dia mengatakan sebabnya dia minta
berhenti: "Saya tidak tahan kok setiap hari diminta untuk berbohong
terus-menerus."
Di tingkat Menteri ada cerita seperti itu, maka kebohongan telah
demikian kronisnya sehingga sejarah ingin dirubah.
Saya simpulkan amat menonjol perlunya diadakan pertemuan-pertemuan yang
sifatnya bisa mengungkapkan sejarah-sejarah kelam akibat perbuatan
manusia tidak jujur yang selama ini telah dengan sengaja dibiarkan
terjadi. Saya kira meskipun sudah empat puluh empat tahun berlalu, kita
tidak terlambat. Terus, pastikan kita akan mampu menghasilkan sesuatu
yang layak dan pantas.
Anwari Doel Arnowo
Singapura - Sabtu, 20 Juni 2009 - 21:24
[Non-text portions of this message have been removed]
[Non-text portions of this message have been removed]
[Non-text portions of this message have been removed]
-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
No comments:
Post a Comment