Hudanosch Hudan saya dan sartre
konon kata kata, les mots itu, adalah buku yang menentukan sartre mendapat hadiah nobel yang ditolaknya. saya sendiri tidak tahu bahasa perancis, dan kata kata ini pun saya baca dalam bahasa indonesia. sudah lama saya tahu bahasa itu tidak menentukan kualitas pikiran seseorang, apalagi menentukan ketinggian mutu tulisan seseorang. kata kata ini juga saya baca dalam buku terjemahannya.
karena itu agak aneh bagi saya, kalau ada orang yang begitu membanggakan apa yang dibacanya. bagi saya bukanlah apa yang kita baca, tapi adalah apa dan bagaimana kita mengolah bacaan yang sampai kepada kita. dan orang banyak tidak tahu, bahwa bacaan yang terbaik itu adalah alam itu sendiri. bahan yang terbaik itu adalah manusia, dengan suka dan dukanya. bahkan diri kita sendiri dengan bahagia dan nestapanya.
banyak orang yang mengatakan sartre ini sudah ketinggalan zaman, bahwa kini orang sudah melompat ke isu isu lain. mungkin saja. tapi saya suka karena eksistensi itu adalah bidang yang saya
2 seconds ago · Delete
senangi, dan lagi tidak ada yang kuno atau up to date dalam pikiran, karena pikiran itu adalah mengolah kehidupan. buktinya hingga hari ini orang masih membaca plato, orang yang sangat kuno itu, dalam dunia pikiran barat kini. kuno, dalam arti sudah lama sekali berlalu.
sudah lama pula saya tak menganggap bacaan adalah suatu mode, seakan berpikir karena suatu zaman. zaman boleh berganti ganti, selera zaman boleh berubah rubah, tapi soal soal kemanusiaan itu tetap: hidup nya sendiri, dalam kaitan dengan diri sendiri, dengan orang lain, dengan alam dan tentu saja dengan tuhannya.
tuhan telah ketinggalan zaman, begitulah saya sering mendengar orang orang mengesankan diri, atau setengah sinis, berkata. tapi akhirnya saya melihat tiap diri, kini kembali kepada yang satu itu - tuhan, dengan apa saja hendak orang sebutkan: dengan ilmu pengetahuan, dengan klenik, dengan seni, bahkan dengan tubuh dan jiwa kekasih kita.
saya baru tahu, tepatnya baru menyadari, bahwa buku sartre kata kata ini,
2 seconds ago · Delete
hanya terdiri dari dua bagian saja, yakni membaca dan menulis. dan ini agak aneh bagi saya, bagaimana sartre ini bisa bertemu dengan saya dalam soal ini. sungguh saya tidak pernah memperhatikan dengan seksama pembagian bab buku sartre ini. tapi lihatlah ia ketemu. lihatlah bahwa melalui waktu, pikiran itu muncul melintasi zamannya. bahwa di suatu zaman yang berbeda, tanpa disadarinya, orangpun berpikir akan hal hal yang sama.
saya akan menyebutkan ujung buku sartre ini. ujung yang menjadi apa yang saya maksudkan, dan apa yang sartre maksudkan. dia telah mati, tapi saya masih hidup dan kita semua kelak akan mati juga. jadi sebelum mati mungkin ada juga bagusnya saling mengetahui ide ide orang yang pernah lahir di bumi. bumi kita ini juga. dengan manusia seperti kita ini juga.
"nulla dies sine linea," kata sartre, "tiada hari tanpa baris baris tulisan."
"menulis adalah suatu kebiasaan dan juga pekerjaan untukku. lama sekali kuanggap penaku sebagai pedang. kini aku sudah tahu para
2 seconds ago · Delete
penulis tidak bisa berbuat apa apa. tapi itu tidak penting. yang penting: aku menulis, aku akan menulis buku buku. buku buku tetap harus ada, harus ada, karena bagaimanapun juga dia punya gunanya sendiri....
lalu sartre bicara tuhan dan dirinya sendiri, di halaman akhir bukunya itu. aku sudah agak lelah melihat untuk menuliskannya. hurufnya kecil kecil, dan lagi pula aku harus menoleh sambil tanganku mengetik. lagi pula sudah cukuplah kukira apa yang dituliskannya itu, dan yang kini kutuliskan kembali. lagi pula aku yakin sudah banyak orang yang membacanya. lagi pula, nah, ini yang sebenarnya, aku tidak tahan untuk terus menyuarakan pikiran sartre dengan menuliskannya.
lebih baik aku menuliskan pikiranku sendiri. aku tidak angkuh pada sartre itu, tapi sungguh aku ingin menuliskan pikiranku sendiri. mungkin sama mungkin beda dengan sartre. tak apa. kita tak harus menjadi orang yang sama. bahkan bagiku kita harus menjadi orang yang berbeda.
bukan hanya karena tuntutan kreatif kita
2 seconds ago · Delete
harus berbeda, tapi karena daerah daerah misteri itu sendiri. saya percaya, misteri camus hanya untuknya sendiri, misteriku hanya untukku sendiri. misteri chairil hanya untuk chairil, bukan untuk sutardji misalnya.
begitulah dunia penuh misteri dan kita harus menguakkannya. kita boleh kembali kepada sartre tadi, sedikit, bahwa menulis itu penting. tapi saya punya dasar lain, bahwa menulis memang penting, suatu dasar yang sangat bertolak belakang dengan sartre. bahwa menulis bagiku karena memang tuhan meminta kita menulis. sedang sartre tidak percaya tuhan maka menulis baginya mengisi kekosongan jiwanya yang telah ditinggalkan tuhan.
aku tidak percaya ada atheis sepenuh hatinya. bagiku itu tidak masuk akal. walau mereka berkata segenap jiwa raga saya tidak percaya tuhan, tetap ada ruang dari sudut hati kita, walau sangat kecil, untuk menjadi orang yang percaya. aksara atau dunia kata kata sudah lama tak meyakinkan saya lagi. tetap, dalam diri manusia itu ada ruang yang sangat
2 seconds ago · Delete
tersembunyi tempatnya, untuk kita percaya, bahwa di luar indera ini, ada sesuatu di balik indera. sesuatu yang sering kulihat disebutkan orang dengan banyak nama, banyak kepercayaan, dan banyak kemungkinan untuk tiap perbedaan. itu baik. dan memang harus begitu.
tardji sering sekali menyebutkan sidik jari di depanku: carilah sidik jarimu, katanya, bukan untuk menyebut kepadaku langsung, tapi menyebut kepada dengan mu diacukan untuk tiap semua orang.
dan memang, walau beda dengan tingkat yang tipis, sidik jari orang memang tidak sama. buktinya polisi selalu mengacu kepada sidik jari, kalau ada sesuatu yang hendak ia buktikan. umpamanya pembunuhan atau kekerasan lainnya itu.
2 seconds ago · Delete
tentu saja sangat mudah mencari suatu justifikasi mengapa tulisan penting, dan mengapa saya sendiri menulis. yang sukar di negeri kami adalah, bahwa orang tidak bisa hidup dengan tulisan. saya sendiri sudah bertahun tahun hidup dengan absurd di dunia itu: selalu menulis tak pernah menghasilkan uang. dan selalu saya menulis walau tahu tak akan pernah menghasilkan uang.
lagi pula kini saya sudah terbiasa sekali menulis secara amat bebas, menjauh sekehendak hati dari garis garis kebijakan media massa. dalam satu arti itu baik - kita jadi merdeka, dalam arti yang lain itu bukanlah suatu produk yang mudah untuk dijual.
lalu dan selalu saya berpikir: untuk apa pula menjual produk tulisan ini? siapa yang membelinya? buku, lihatlah buku di negeri kami ini begitu tak dihargai. tak dihargai, haruslah diacukan kepada dua ratusan juta penduduk kami, dan terutama pemimpin pemimpin kami yang paling top mulai dari ibu kota negara sampai dengan ibu kota propinsi dan kabupaten. jangan lagi kita
2 seconds ago · Delete
bicara kecamatan, dan keluarga keluarga di negeri kami. aduh sukar sekali. tapi selalu ada orang yang siap dengan kondisi apapun, dalam soal tulisan. menulis, walau tak dapat uang, dan walau dengan jumlah pembaca yang sedikit, bahkan walau belum tentu ada pembacanya, seperti yang sering saya lihat di blog blog orang itu, selalu saja orang menulis,menulis, dan menulis.
untuk apakah menulis itu - suatu kerjaan yang absurd kalau misalnya kita perbandingan dengan... ah sudahlah. kita menulis saja setiap hari. tak perlu risau dengan apa apa di luar tulisan.
nula dies sine linea, tiada hari tanpa tulisan.
2 seconds ago · Delete
ada kenyataan yang agak lucu bagi saya, bahkan pada sesama seniman atau pengarang, bahwa kalau kita menulis sesuatu, langsung akan diacukan kepada dunia nyata. begitulah orang sering menarik langsung sebuah persamaan: ada apa ini? padahal dunia tulisan adalah dunia metapora. tulisan atau tiap kata itu sendiri adalah metapor. menyebutkan sesuatu yang bukan miliknya.
apakah milik benda itu, mangga itu? tidak kan. mangga adalah kata, yang bukan adalah daging dan kulit benda itu. bukan juga biji dan manis benda itu.
begitulah mangga, menjadi suatu yang arbiter - pengertian yang sepakat dilekatkan. mangga itu sendiri hanya kata, yang tak ada urusannya dengan hakekat dan sifat benda itu tadi. lalu apa benda itu tadi? entahlah. hanya benda itu tadi saja.
aneh saya, dunia ini kalau sudah kita tatapi secara begitu. dan super dan maha aneh adalah tuhan itu. coba, apa kerjanya sekarang? apa yang dipikirkannya dan siapa yang lagi dia pandang? gila kamu tuha: tak terhidu oleh mata bahasaku
2 seconds ago · Delete
lagi. memang gila kamu itu tuhanku. dan aku pun gila juga kukira. jadi marilah kau dan aku aku dan kamu sesama menjadi gila tuhanku. kau dengarkah? kau dengarkah orang gila memanggilmu?
ijukalijumapakasaba
i kamu tuhanku hihi
2 seconds ago · Delete
-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
No comments:
Post a Comment