Saya kira tulisan Mbokde Maya mengenai TVRI tempo doeloe ini menarik.
TVRI dibangun menggunakan uang kita, uang rakyat. Sehingga bisa punya aset yang begitu besar dan mahal. Tetapi dulu digunakan oleh rezim pemerintahan untuk melegitimasi kekuasaan dan kelanggengannya saja. Sudah seharusnya TVRI berubah menjadi TV Publik yang benar-benar berpihak kepada publik. Seharusnya TVRI bisa menyajikan berbagai tayangan yang mendidik sekaligus menhibur yang bisa membuat rakyat benar-benar berdaulat dan cerdas. Jangan hanya menjadi tempat para birokrat dan PNS sekedar bisa terus survive dan punya mainan saja seperti yang terjadi sejak berdirinya.
Salam,
Firman
Monday, July 03, 2006
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
> Menuju TVRI Sebagai TV Publik, sebuah artikel
>
>
>
>
>
>
> Menuju TVRI Sebagai TV Publik:
> TAK KENAL MAKA TAK SAYANG,
> TAK SAYANG MAKA TAK MERASA MEMILIKI
> Oleh: Maya Fitrianingsih
>
> Takjub
> pula bila saya mengingat masa lalu. Tiap Sabtu malam, saya yang masih
> duduk di bangku awal Sekolah Dasar, berbondong bersama kakak, ibu,
> kadang pula bapak, menuju rumah Lik Kismo, tetangga kami. Di sana kami
> bertemu beberapa keluarga lain yang punya tujuan sama: menonton
> ketoprak yang ditayangkan TVRI Jogja (TVRI stasiun Yogyakarta).
>
> Sesekali
> kami ingin menonton lebih lama. Tak lupa saya membawa kain sarung untuk
> selimut sehingga waktu acara Dunia Dalam Berita saya bisa tidur dulu
> tanpa kedinginan. Selepas siaran berita tiap pukul 21.00 WIB itu, kami
> bisa menonton film, kuis atau hiburan musik. Betapa mahalnya sebuah
> tontonan televisi, bukan sekadar karena tak punya pesawat televisi tapi
> TVRI-lah the single fighter televisi saat itu.
>
> Minggu pagi, cerita
> anak-anak Unyil, klip-klip musik yang dirangkum dalam acara Album
> Minggu serta seri Little Missy yang saya nantikan. Saya jadi ingat,
> betapa Little Missy menjadi cerita hiburan yang merogoh emosi penonton,
> mirip halnya Maria Mercedes yang merebut hati penonton dan mengawali
> booming cerita telenovela beberapa tahun lalu. Masih ada pula catatan
> di otak saya pada tayangan yang melegenda seperti Jendela Rumah Kita,
> Siti Nurbaya dan Sengsara Membawa Nikmat.
>
> Ya, itu sekadar
> nostalgia yang hanya sesekali saja menyenangkan untuk dikenang. Potret
> sejarah. Yang berbicara betapa TVRI telah puluhan tahun menemani
> penontonnya, meninggalkan sebagian jejak-jejaknya dalam ruang memori
> saya. TVRI telah 43 tahun menuliskan sejarahnya sejak siaran
> percobaannya pada HUT RI ke-17 di Istana Merdeka hingga seminggu
> kemudian mulai mengudara lewat siaran langsung pembukaan Asian Games IV
> (24 Agustus 1962).
>
> Saya tergelitik dan secara tak sadar mencoba
> membuka ruang nostalgia acara-acara TVRI dan membawa saya untuk
> mengaduknya bersama pengalaman dan kesan yang saya rasa mengendap pada
> ruang sadar saya.
> ***
> TVRI sebagai corong pemerintah di masa Orde
> Baru, siapa pun mafhum itu. Sebelum munculnya televisi swasta, TVRI
> sebagai media audio-visual satu-satunya, siapa pun tak menyangkal.
> Tapi, begitu televisi swasta muncul, segera penontonnya berpaling.
> Tahun 1994, SRI (kini AC Nielsen, salah satu peneliti media),
> menyatakan bahwa jumlah penonton TVRI tinggal 5 % (Viddy AD Daery,
> Republika, 1 April 2001).
>
> Selepas
> tumbangnya Orde Baru, terlihat bagaimana TVRI mulai “mencari bentukâ€
> sehingga acap kita dengar bagaimana upaya TVRI mereposisi diri menuju
> sistem yang lebih ideal.
> Diantara dinamika demokratisasi di segala
> bidang, Juni 2000, dikeluarkan PP No. 36/ 2000 tentang perubahan status
> TVRI menjadi Perusahaan Jawatan (Perjan).
>
> Pada perkembangannya UU No.
> 32/ 2002 tentang penyiaran menyebutkan TVRI sebagai lembaga penyiaran
> publik atau TV publik. Berdasar pada UU ini pula, TVRI diberi waktu 3
> tahun untuk melakukan penyesuaian-
> pulik. Akte notaris pendirian PT TVRI (Persero) ditandatangani 15 April
> 2003 sehingga sempat muncul polemik di masyarakat tentang keberadaan
> TVRI. Namun, satu yang pasti, TVRI sebagai TV publik efektif berlaku
> mulai 1 Desember 2005 ini (demikian keterangan yang saya peroleh dari
> TVRI Jogja).
>
> Ada satu pengalaman yang sempat membuat saya patah
> arang dan memaki diri sendiri. Waktu itu, masih masa awal TVRI
> menggunakan slogan “makin dekat di hatiâ€. Saya mendapat hadiah/
> doorprize dari acara Resensi Buku TVRI Jogja. Setahu saya, bentuk
> hadiahnya adalah buku. Lain hari, saya coba ambil di stasiun yang sama.
> Petugas yang berkompeten tak ada, “keluar†tanpa kejelasan urusan apa.
> Padahal, untuk mengambil hadiah, musti pada yang bersangkutan. Nah,
> inilah stereotip sosok PNS yang suka “mangkirâ€, begitu pikir saya.
> Maka, mengalahlah saya. Beberapa hari kemudian, saya datang lagi, tak
> berubah. Pengalaman yang sama. Sejak itu, saya coba ikhlaskan untuk
> tidak mengharap lagi hadiah itu. Untung saja, meski rumah saya cukup
> jauh namun tak berada di pucuk gunung sehingga saya tak terlalu kecewa
> jika biaya transportasi ke stasiun itu sama dengan harga bukunya. Tak
> ada kejelasan selepas itu. Toh, kalaupun TVRI akan mengirimkan lewat
> pos atau meminta konfirmasi ke saya, mereka tahu alamat saya.
>
> Satu hal
> yang saya rasakan waktu itu, betapa ironisnya pengalaman ini dengan
> slogan yang mulai didengungkan. TVRI bukannya makin dekat tapi makin
> jauh di hati.
> Setelah beberapa tahun, tepatnya awal Agustus 2005
> ini, ketika saya tahu iklan lomba artikel yang diadakan TVRI pusat
> (Jakarta), saya coba cari informasi selengkapnya di internet, termasuk
> website TVRI. Hasilnya teramat susah dan untuk sementara pulanglah saya
> dengan tangan hampa. Saya coba tanya ke TVRI Jogja yang menurut logika
> saya tentunya tahu informasi itu.
>
> Ternyata asumsi saya keliru.
> Nyatanya, personel yang mengepalai bagian siaran pun, tidak tahu.
> Padahal, ke sanalah saya direkomendasikan untuk bertanya. Menggunakan
> “bahasa pelayanan†atau retorika yang bagus dan simpatik meski sempat
> bikin kecewa pula ketika saya minta konfirmasinya lewat e-mail. Jadi,
> saya tunggu via telepon, hasilnya pun belum terlihat hingga beberapa
> hari. Tapi untunglah, akhirnya saya dapatkan informasinya lewat e-mail
> dari TVRI pusat (Jakarta). Saya pun tersenyum! TVRI sebagai TV publik!
> Saya adalah bagian dari masyarakat/ publik itu, tentulah TVRI milik
> saya pula. Secara tak langsung, orang-orang seperti saya pun turut
> membiayai TVRI. Inilah bagian dari TVRI sebagai keluarga saya.
>
>
> Kebijakan
> untuk mereposisi TVRI sebagai TV publik memang sebuah keniscayaan dan
> bentuk yang dinilai paling ideal. TVRI sebagai lembaga penyiaran publik
> dimaksudkan untuk menyuarakan dan melayani masyarakat. PP No. 11/ 2005
> tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Publik menyebutkan
> bahwa lembaga penyiaran publik (seperti RRI dan TVRI) selain menyiarkan
> informasi-pendidika
> nasional, pemersatu bangsa dan pembentuk citra positif bangsa.
> Siarannya harus independen, netral, tidak komersil dan berfungsi
> memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat.
>
> Tak ayal, TVRI
> menghadapi banyak tantangan. Selain perjalanan sejarah yang menuntut
> gerak dinamis, sumber daya dan kemampuan negara dalam membiayainya pun
> menjadi kendala yang ada di depan mata. Belum lagi keberadaan TVRI
> diantara belasan TV swasta yang sedang pada posisi puncak. Masih ada
> pula TV swasta yang ada di daerah. Hingga Juli 2005, tercatat 53
> stasiun TV baru, yang sebagian besar adalah TV swasta lokal, mengajukan
> permohonan ijin siaran ke Komisi Penyiaran Indonesia dan Kementrian
> Komunikasi dan Informasi (Bali Post, 28 Juli 2005).
>
> Pada kondisi
> inilah TVRI dituntut mampu menancapkan diri sebagai pilihan yang
> didambakan penontonnya. Dengan lebih dari 7000 karyawan dan hampir 400
> jumlah stasiun pemancar, menjangkau 82 % penduduk Indonesia, TVRI punya
> posisi strategis untuk menwujudkan harapan masyarakat.
>
> Penelitian
> AC Nielsen tahun 2000 telah mengindikasikan bahwa di tengah suasana
> “mabuk televisiâ€, masyarakat sebenarnya punya kesadaran intelektual
> untuk lebih kritis menilai tayangan TV. Tak semua penonton televisi
> merupakan orang yang berorientasi ke kota besar. Artinya, meski TVRI
> sering diberi stempel “kampungan†tapi tak apalah. Yang lebih penting
> adalah bagaimana mengemas budaya dan nilai-nilai bangsa. Tinggal yang
> dibutuhkan adalah kreativitas agar budaya itu lebih membumi dengan
> kondisi sekarang. TVRI tak perlu mengekor arus TV swasta yang terlampau
> banyak menjual mimpi dan menempelkan muatan kekerasan, seks dan drama
> air mata dalam menunya.
>
> Hingar- bingar TV swasta sekarang ini,
> membuat kita pun mafhum jika TV masih menjadi tempat favorit belanja
> iklan. Setahun selepas krisis ekonomi tahun 1997, frekuensi belanja
> iklan di media terus meningkat tahun per tahun, terutama di media
> televisi. Bahkan, kini, belanja iklan Cina dan Indonesia tercatat
> sebagai yang tertinggi di antara 12 negara Asia Pasifik
> (tempointeraktif.
>
> Kondisi pasar yang seakan
> acuh tak acuh dan lebih mendewakan TV swasta, mengisyaratkan agar TVRI
> lebih kreatif untuk meraup pasar, tanpa terjebak untuk latah menuruti
> selera pasar. TVRI bisa membentuk penontonnya, bahkan membentuk selera
> pasar. Mekaisme televisi sebagai sebuah media, punya kemampuan untuk
> itu. Artinya, TVRI musti membenahi diri dari sisi program, pengemasan
> acara dan manajemen pengelolaan.
>
> Saya jadi ingat program-progranm
> yang ditayangkan TVRI Jogja. Konon, TVRI Jogja selama 2004 dinilai oleh
> AC Nielsen memperoleh angka rating share tertinggi dibanding TVRI
> se-Indonesia (tvrijogja.co.
> Jogja “never ending creativeâ€, memang, saya akui bahwa acara dagelan
> “Obrolan Angkring†ataupun pagelaran “Pangkur Jenggleng†punya
> penggemar fanatik. Begitu pun dengan infotainment “Plengkung Gadingâ€.
> Berita-berita lokal yang disajikan dalam bahasa Indonesia dan bahasa
> Jawa, cukup pantas untuk selalu dinantikan.
>
> Namun, fragmen “Mbangun
> Desa†yang sempat menjadi acara favorit beberapa tahun yang lalu
> tampaknya musti dibenahi karena terkesan “hanya seperti itu-itu sajaâ€
> sehingga masyarakat menjadi jenuh. Apalagi ketika produksinya macet
> sehingga yang muncul hanyalah tayangan ulang.
>
> Berangkat dari
> pengamatan dan pengalaman bersama TVRI, kiranya “api nan tak kunjung
> padam†(mengingat slogan “almarhum†Departemen Penerangan yang dulu
> membawahi TVRI) masih sangat layak menjadi perumpamaan bagi daya juang
> mewujudkan TVRI sebagai TV publik, TV yang berpihak pada kepentingan
> masyarakat, selalu dibutuhkan dan dinantikan oleh masyarakatnya. Oleh
> karena itu, penting untuk mengupayakan perwujudan slogan TVRI sendiri,
> “makin dekat di hatiâ€. Tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak
> merasa memiliki.
>
> Pada dasarnya, dibutuhkan pondasi untuk bisa
> menumbuhkan self belonging, rasa memiliki pada masyarakat yang
> sebenarnya memilikinya. Dengan demikian, tumbuh rasa dekat di hati
> sebagai syarat utama bahwa TVRI sebagai televisi milik negara dan
> masyarakat, musti menyempurnakan diri, dimulai dari hal-hal kecil.
> Kesempurnaan disusun oleh hal-hal yang kecil. Dan kesempurnaan bagi
> TVRI itu merupakan sebuah paket berisi: program, kemasan dan manajemen
> pengelolaan. Ketika tak ada lagi kesal di hati, yang ada adalah rasa
> memiliki maka TVRI akan terus ada di hati. Bravo TVRI! ï±ï±ï±
>
>
> Catatan:
> ini
> mah tulisan waktu ada lomba nulis oleh TVRI. Tapi...ini tulisan
> sebenernya sama sekali belum sreg...aku terburu2x sie buatnya, tapi
> ya...akhirnya jadinya sejelek ini.
>
>
>
>
>
>
> posted by MBOKDHE MAYA @ 8:04 PM
>
>
> Yahoo! Mail Kini Lebih Cepat dan Lebih Bersih. Rasakan bedanya
> sekarang! http://id.mail.
-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
No comments:
Post a Comment