Pendekar Sendang Drajat Dalam kisah : MISTERI PENGEBOM CANDI GAJAH MADA Oleh : Viddy AD Daery 1.PELABUHAN KEMANTREN Di zaman akhir kejayaan Majapahit sampai akhir zaman Demak, pelabuhan Kemantren yang terletak di utara perdikan Drajat dan Sendang Duwur, Paciran, yang masuk koordinasi Sunan Sedayu, masih sangat ramai sebagai pelabuhan dagang Nusantara,disamping pelabuhan Internasional Sedayulawas dan pelabuhan ikan Brondong dan Weru. Bersama pelabuhan-pelabuhan wilayah Pamotan-Tuban itu, terdapat pula pelabuhan-pelabuhan ramai lainnya seperti Jaratan Gresik, Ujung Galuh Sedang ke arah barat,antara lain pelabuhan-pelabuhan Kambang Putih Jenu, Juwana, Lasem, Jepara,Demak, Pagi itu pelabuhan Kemantren sudah mulai ramai seperti biasa, penuh dengan hilir mudik para kuli angkut yang menurunkan barang-barang dagangan dari perahu-perahu dari seberang yang sudah berlabuh sejak kemarin dan sudah mendapat Pendekar Sendang Drajat alias Raden Ahmad hari itu berniat memenuhi janjinya . Sebetulnya lebih merupakan janji kepada diri sendiri, karena belum pernah diucapkannya kepada orang yang ditujunya, yaitu Dewi yang telah menaruh perhatian dan kasih sayang tersembunyi di dalam pancaran sinar matanya. Telah berjalan tiga bulan Dewi dan kawan-kawannya memasrahkan hidupnya mondok dan mengaji di pesantren ayahanda Raden Ahmad di Tunggul Kranji. ( Baca : novel perdana Pendekar Sendang Drajat ). Mereka mempunyai kemajuan yang pesat dalam menyerap ilmu agama, terutama Dewi yang paling tawadhuk dan semakin kuat mentransformasikan dirinya dari bekas wanita gula-gula menjadi wanita yang amat taat menjalani ajaran Islam. Dewi sedang menyapu halaman di pagi buta itu, setelah selesai mengikuti kuliah subuh . Ketika matahari mulai memberi persekot sedikit seleret cahaya di langit,Dewi telah mulai menyirami bunga-bunga dan tumbuhan di halaman dan kebun pondok pesantren. Pesantren Tunggul-Kranji semakin bersih dan terawat dengan adanya Dewi . Sedang kawan-kawan Dewi lebih suka memilih menyibukkan diri pada pekerjaan dapur. Rupanya Dewi lebih suka tertarik kepada keindahan dan kebersihan.Semuanya tak lepas dari pengamatan Raden Ahmad, juga Ayahanda dan Ibunda Raden Ahmad. Sehingga tanpa ada komando,seakan- Dewi juga sangat rajin dan bersungguh-sungguh mempelajari ilmu tanaman obat. Tanaman-tanaman yang mengandung khasiat obat-obatan itu banyak ditanam di kebun dan tegalan milik pesantren. Dia tekun mempelajari ilmu itu kepada Ibunda Raden Ahmad,karena secara psikologis ia memang kemudian sangat dekat dengan Ibunda Raden Ahmad alias Nyai Ageng. Dewi memang bercita-cita menjadi ahli tumbuhan obat-obatan dan bahkan lebih jauh di angan-angannya ingin mendapat penghasilan sendiri dari usaha memproduksi secara massal ramuan obat dari tumbuh-tumbuhan (yang kini dikenal dengan obat herbal) untuk diperdagangkan secara komersial. Usaha semacam itu pada zamannya tentu amat sangat langka. Pesantren memang juga menjadi pusat pengobatan bagi penduduk sekitar atau pasien dari daerah jauh yang ingin berobat, baik berobat dari penyakit tubuh maupun penyakit jiwa. Akan tetapi tidak memperdagangkan obat-obatan herbal itu secara massal dan dijual serta ditawarkan kemana-mana seperti gagasan Dewi. Dengan demikian, gagasan Dewi tentunya amat maju selangkah atau bahkan beberapa langkah, untuk ukuran pada zaman itu. Karena prestasi itulah Raden Ahmad semakin mantap berniat ingin melamar Dewi menjadi istrinya, dan penjajakan kearah itu ingin dilakukannya dalam suasana santai di tepi laut yang ombak,langit dan nuansa kebiruannya selalu membuat hati Raden Ahmad tergugah dan terinspirasi untuk menjadi romantis. Maka, setelah dilihatnya dari jauh Dewi menyelesaikan tugasnya memelihara kebun, Raden Ahmad alias Pendekar Sendang Drajat menunggunya di dekat pagar kebun dan diberinya senyuman yang menyejukkan hati. "Assalamu'alaikum warohmatullohi wa barokaatuh Dewi." Dewi terkejut, namun hatinya kemudian dipenuhi kebahagiaan tiada Apalagi ketika didengarnya ucapan Pendekar Sendang Drajat selanjutnya, "Dewi, aku ingin mengajakmu jalan-jalan melihat keramaian Pelabuhan Kemantren…bersediakah kamu?" Dewi hampir tak percaya kepada apa yang didengarnya, maka ia secara refleks mendongak dan menyaksikan sorot mata serius Raden Ahmad yang dicintainya itu, memancarkan kasih sayang seakan-akan itu adalah sebuah lamaran yang tak diucapkan secara verbal lewat bibir. Dan memang, cinta adalah urusan perasaan, maka tak perlu sebuah kalimat untuk mempertunjukkannya. "Dewi…apakah kamu bersedia ? " Tanya Raden Ahmad karena dia melihat Dewi kemudian membisu dan menunduk ke tanah.Seandainya saja Raden Ahmad tahu, bahwa Dewi menunduk itu adalah karena menyembunyikan kebahagiaan hatinya yang meluap-luap hampir tak dapat ditahannya. "Inggih , Kyai…saya bahagia sekali mendengar ajakan Kyai…apalagi saya ingin sekali melihat kesibukan pelabuhan…saya ingin sekali melihat kesibukan dunia perdagangan…" "Oya ? Apakah kamu tertarik kepada dunia perdagangan, Dewi sejenak diam dan melihat kepada sorot mata Raden Ahmad. Namun ketika dilihatnya sorot mata itu masih teduh,maka Dewi menjawabnya terus terang " Inggih,Kyai, saya tertarik kepada dunia perdagangan…" "Hmmm…baiklah, ayo segera kita berangkat ke Pelabuhan Kemantren…tapi, supaya tidak membuat orang-orang lain eh..emmm teman-temanmu membicarakan hal-hal yang tidak-tidak, sebaiknya mereka kita ajak juga." Dewi sebenarnya kurang setuju kalau harus mengajak teman-temannya, karena ia ingin menikmati romantisme perjalanan berdua saja dengan kekasih hatinya…namun karena yang memutuskan hal itu adalah Raden Ahmad, maka tak ada pilihan lain kecuali menurut saja kepada rencana Pendekar Sendang Drajat. *** Setelah persiapan membawa bekal makanan dan lain-lain rampung, maka rombongan perjalanan ke Pelabuhan Kemantren sejauh sekitar dua kilometer dilakukan dengan berjalan kaki dalam suasana riang gembira. Pagi yang indah dengan langit biru cerah,dan burung-burung bersiul-siul dan mencerecet bersahut-sahutan di batang-batang pohon menyambut hari yang penuh berkah dan kasih sayang Tuhan. Berjalan paling depan adalah Raden Ahmad dan Dewi yang diikuti oleh para wanita "alumni Godog", yakni Sarju,Kantil, Dewi mulai berani secara terus terang memberi perhatian teramat banyak kepada Pendekar Sendang Drajat, terutama tujuannya ialah memberitahu secara simbolis kepada teman-temannya, bahwa Pendekar gagah berusia 30 tahun itu kini adalah kekasih hatinya. Dengan penuh perhatian, Dewi menjejeri Raden Ahmad dan menanyakan beberapa hal mengenai seluk beluk perdagangan atau kehidupan pelabuhan, sehingga mau tidak mau pendekar kyai yang juga sedang kasmaran itu menjelaskan dengan serius tentunya sebatas yang diketahuinya. Karena itu, maka teman-teman Dewi akhirnya secara saling berbisik lalu bersepakat untuk segera mempercepat langkah meninggalkan "sepasang kekasih" itu,yang mereka rasa terlalu lamban melangkah,karena seakan-akan menikmati kebersamaan sepuas-puasnya. Namun dua santri laki-laki yang bertugas sebagai penggotong boran makanan tetap setia berjalan pelan di belakang,sebagai abdi yang setia kepada putera kyai besar mereka. Dan karena itu pula,jarak antara rombongan teman-teman Dewi dengan sepasang kekasih dan dua santri itu semakin lama semakin jauh. Akhirnya "kloter depan" itu telah hilang di tikungan meninggalkan sepasang kekasih yang bukannya tidak tahu ulah para perempuan usil itu, namun mereka tak dapat berbuat apa-apa kecuali menggeleng-gelengka Tentunya Pendekar Sendang Drajat akan terus melanjutkan perannya sebagai pendekar pengaman wilayah Kasunanan Sedayu yang juga meliputi wilayah Drajat,Sendang Duwur,di pesisir utara, sampai perbatasan Bengawan Solo ( Laren,Pringgoboyo dan sekitarnya ) dan Bengawan Jero ( Karanggeneng, Blawi, Glagah dan sekitarnya ) di sebelah selatan. Tiba-tiba kesunyian pagi dan keromantisan suasana itu dipecahkan oleh jerit para perempuan teman Dewi yang berlari-lari dan berteriak-teriak panik penuh ketakutan.Dengan reflek Dewi segera merangkul erat Raden Ahmad, tepat ketika Pendekar Sendang Drajat justru sedang secara reflek harus menyiapkan diri menghadapi bahaya yang kelihatannya telah hadir dan mengancam. Dua santri pun segera meletakkan pikulannya, dan ikut bersiap menghadapi bahaya yang mengancam,karena mereka juga sedikit-banyak telah diajari ilmu beladiri secukupnya. Dan bukan hanya Dewi,tapi juga teman-teman Dewi yang berdatangan secara berramai-ramai langsung ikut merangkul punggung Pendekar Sendang Drajat dengan penuh ketakutan. "Masya Allah,ada apakah kiranya wahai Sarju, Kantil, Gandes dan nini-nini yang lain ? Tolong agak menjauh ke gerumbul sebelah sana,kalau memang ada bahaya mengancam ! Aku akan bersiap menghadapi ! Ayo Dewi, ajak kawan-kawanmu ke gerumbul di balik pohon randu alas itu ! Santri Kasto dan Si'jan menjaga para wanita di sini,biar aku sendiri yang pergi memeriksa ke "Inggih,di Pendekar Sendang Drajat segera bersedekap dan berkonsentrasi berdo'a memohon perlindungan Yang Maha Kuasa,dan setelah itu mengatur letak senjatanya.Setelah siap lahir batin,diucapkannya "Bismillahirrohmanir Di ujung tikungan,segera tampak oleh Pendekar Sendang Drajat, dalam jarak 100 langkah di depan Seorang pendekar unggulan tampak dengan tegarnya melayani keroyokan Namun setiap ia bergeser atau memutar tubuh,tangannya selalu menyisipkan gerakan mematikan yang amat mencelakakan penyerangnya. Si penyerang selalu terpental atau bahkan lebih celaka lagi terjerembab lalu muntah darah. Disamping itu, ada 4 lagi pendekar dengan motif pakaian yang sama, melayani keroyokan 8 pendekar berkostum merah saga. Ilmu silat para pendekar yang berada di lingkaran pertempuran agak tersebar itu, agaknya cukup seimbang, sehingga pertempuran tampak berjalan alot. Sejenak Pendekar Sendang Drajat mengamati dengan sedikit menilai-nilai, Lalu siapakah para pengeroyoknya? Pakaian mereka sama atau hampir sama dengan pakaian orang Jawa,tetapi mereka tampaknya memakai seragam warna merah saga, suatu pilihan warna yang agak tidak biasa,karena umumnya orang-orang Jawa memakai pakaian berwarna hitam atau putih dengan ikat kepala batik. Tetapi Pendekar Sendang Drajat tidak mau terlalu lama menilai-nilai pakaian mereka, karena yang paling penting adalah menghentikan pertempuran itu agar tidak terjadi kekacauan di wilayahnya, yakni wilayah Kasunanan Sedayu yang harus diamankannya. Pertempuran yang telah membuahkan "rajapati" atau pembunuhan berdarah itu tentu membuat panik orang-orang yang mempunyai keperluan melewati daerah Drajat dan Tunggul Kranji. Maka,dengan keberanian luar biasa yang dilambari kemampuan ilmu kanuragan tingkat tinggi, Pendekar Sendang Drajat melempar aji "Bumi Horeg-horeg" yang membuat semua pendekar yang sedang bertempur jadi pening karena seakan-akan bumi yang dipijaknya digoyang gempa, dan karena itu mereka menghentikan pertempuran karena sibuk menata dan menyeimbangkan posisi tubuhnya yang serasa keloyongan. Ditengah suasana keliyengan itu, Pendekar Sendang Drajat meloncat ke dalam arena dan menambah lagi ajian "Pusaran Lesus" dengan memukul-mukulkan tangannya ke tanah, sehingga semua pendekar itu terpelanting karena merasa seakan-akan ada angin badai yang menghempaskan mereka ke tanah. Sadarlah mereka, bahwa ilmu silat mereka yang sangat mereka andalkan karena sudah diuji dalam berbagai perkelahian, Dan Raden Ahmad tentu sudah memperhitungkan perasaan para pendekar itu, maka ia segera berkata dengan suara menggeram dan tegas : " Maaf Ki Sanak, aku terpaksa ikut campur urusan, karena ini memang tugasku. Aku adalah penanggungjawab keamanan wilayah Kasunanan Sedayu,terutama daerah Sendang dan Drajat sini. Kalian telah berlaku onar di wilayahku. Kalau mau berhenti bertempur,kalian kuampuni,kalau mau melanjutkan pertempuran silahkan pilih di luar wilayahku,tapi kalau mau menentang peraturanku, silahkan hadapi aku!" Pendekar Sendang Drajat mengedarkan pandangan matanya berkeliling, memantau reaksi para pendekar yang masih sibuk memegangi kepalanya karena reaksi dua ajian yang digebrakkan oleh Pendekar Sendang Drajat secara berurutan. Tiba-tiba pendekar unggulan dari negeri seberang yang tampak masih gagah di usianya yang sudah setengah tua, mungkin sekitar 45-an tahun itu, meloncat berdiri, namun tidak tampak berniat menebarkan serangan, melainkan dengan gerak bagai orang yang bermain sandiwara membaca syair, dia melantunkan kalimat yang merdu : "Bukan bijak beta minta serambut, Jauh berlayar angin mendorong lancang kami, Bukan kami yang pertama ribut, Dalam hati,sebenarnya Raden Ahmad agak merasa geli, sebab di tengah ketegangan suasana pertempuran berdarah,ada orang yang mengukuhi budaya yang begitu kuat dalam berpetatah-petitih, "Kalau boleh kutebak,apakah Tuan Pendekar berasal dari Negeri Melayu di seberang lautan?" Tanya Raden Ahmad melunakkan sikap. "Betul Tuan Pendekar yang bijak.Aku Temenggong Ismail, salah satu laksamana dari Negeri Kedah yang telah lama berkhidmat dan bermastautin di Kesultanan Johor,yang kini menjadi Kesultanan terbesar di Tanah Semenanjung semenjak jatuhnya Kesultanan Melaka ke cengkeraman penjajah Portugis. Tapi kini negeri kami juga tengah berduka,kerana terlibat perang saudara dengan Kesultanan Aceh,padahal antara kedua negeri itu telah lama saling bertukar penduduk dan Raja.Itu semua adalah kerana hasutan orang-orang asing,yakni Portugis dan Belanda. Karenanya,kami sekelompok bangsawan yang berbudaya cerdik cendekia, dan terkumpul dalam Perhimpunan Pendekar Nusantara atau sering juga disingkat dan diperkatakan sebagai Perpena,bersepakat untuk berlayar menyingkir menjauhi kelam-kabut politik negeri kami,dan pilihan kami adalah berlayar ke Tanah Jawa, asal muasal kebudayaan Nusantara,yang pernah menyatukan negeri-negeri kami yang kini berpecah-belah kerana adu domba orang-orang asing. Kami ingin berziarah ke Candi Gajah Mada…ya kerana Baginda Gajah Mada adalah tokoh besar pemersatu Nusantara,dan dalam setiap naskah-naskah kuno yang telah kami pelajari, nama Baginda Gajah Mada selalu disebut." Raden Ahmad justru merasa malu,karena dirinya sendiri hanya mengenal Gajah Mada selintas dari dongengan-dongengan orang tua yang menceritakan bahwa Kerajaan Majapahit yang kini tinggal reruntuhan dan sisa-sisanya adalah beberapa kota yang pernah jadi unggulan,misalnya Sendang Duwur,Tuban dan beberapa lagi yang pernah dikunjungi olehnya,dulunya adalah Kerajaan Besar kaya raya dan salah satu pemimpinnya adalah duet Raja Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada.Selebihnya ia tidak banyak tahu,apalagi mengenai Candi Gajah Mada, buku-buku kuno dan sebagainya. Maka,dengan rendah hati,Raden Ahmad tidak segan bertanya,demi menjalankan perintah Allah dalam tafsir "Maaf Tuan Pendekar,tolong anda membagi pengetahuan anda,supaya kita juga dapat saling tolong menolong…dimanakah Candi Gajah Mada itu ? Dan buku-buku kuno apa sajakah yang membicarakan mengenai ketokohan Gajah Mada ?" "Buku-buku yang telah kami baca antara lain : Hikayat Hang Tuah dari negeri Melaka, Hikayat Raja-raja Pasai dari negeri Aceh, Hikayat Banjar dan Kotawaringin dari negeri Banjar,dan sebenarnya yang sedang kami cari—sambil berziarah ke Candi Gajah Mada—adalah buku babon Hikayat Desawarnana yang konon memuat daftar negeri-negeri bersaudara yang dipersatukan oleh Baginda Mahapatih Gajah Mada dalam naungan payung Kerajaan Besar Nusantara." "Sebenarnya,dalam buku "Hikayat Raja-raja Pasai" juga ada ditulis mengenai negeri-negeri yang tunduk-takluk dalam naungan Nusantaranya Baginda Gajah Mada,namun konon menurut seorang mahaguru dari sebuah ashram di Tumasik ( kini bernama Singapura ),pulau yang masih termasuk naungan Johor,daftar negeri yang amat lengkap ada di buku "Desa Warnana" karangan Empu Prapanca. Namun harap anda semua ketahui, kami tidak ingin mencuri buku tersebut,kerana buku tersebut masih tertulis dalam huruf dan bahasa Jawa kawi atau Jawa kuno.Untuk apa kami mencuri,kalau kami tak mampu membacanya? Yang ingin kami lakukan adalah mempelajarinya dan menterjemahkannya ke bahasa Melayu.Untuk itu tentu kami bersedia menjadi cantrik di ashram atau mandala yang mempunyai buku tersebut. Dan untuk itu kami rela membayar biayanya berapapun besarnya." Semakin takjublah Raden Ahmad kepada keluasan ilmu kebudayaan yang dimiliki oleh Temenggong Ismail dari Negeri Johor,sehingga ia bertekad mengundangnya singgah di pondok pesantren ayahandanya, Sebelum Raden Ahmad menyampaikan maksudnya,tiba- "Ampun beribu ampun,maafkan kami wahai para pendekar bijak budiman,kami salah besar,kami telah salah menerima informasi sesat dan menyesatkan. "Kami pada suatu hari kedatangan utusan dari Perguruan Garangan Putih yang disertai oleh dua orang jago silat juga tapi dari negeri asing, yang satu adalah orang Portugis dan satu lagi pendekar berkepala botak plonthos dari negeri Cina. Mereka memerintahkan kepada kami untuk menghancurkan sebuah kapal yang membawa rombongan pendekar dari Negeri Melayu yang berniat akan menghancurkan Candi Gajah Mada dan mencuri Kitab Empu Modo yang berisi ajaran-ajaran silat tingkat tinggi dan ilmu kebatinan peninggalan Empu Modo,guru Baginda Gajah Mada sekaligus ayah tiri dari pepunden kami almarhum Pendekar Garangan Putih." "Kalau begitu, lokasi Candi Gajah Mada dan kuburan Ibunda Mahapatih Gajah Mada berdekatan ? Dimanakah letaknya ? Jauhkah dari sini ? " Raden Ahmad menyela, karena ingin mengira-kira lamanya perjalanan,lantaran ia telah menyimpan rencana tertentu terhadap Dewi,dan ia mengkhawatirkan Dewi menjadi terganggu dengan rencana perjalanan jauh tersebut. "Kamipun jarang ke sana,karena memang jauh,namanya desa Modo, tapi lokasi tepatnya ialah pada sebuah bukit…" "Dimanakah letak desa Modo?" "Terletak di tepi jalan Raya Majapahit – Tuban…dekat ibukota Kerajaan Pamotan kuno, yakni Pakuwon Bluluk-Ngimbang…dan beberapa pendekar kami yang pernah ke sana,harus naik perahu dari pelabuhan desa Laren di tepi Bengawan Solo,berlayar ke arah hulu selama semalam suntuk, sampai subuh tiba dan perahu kami berlabuh di pelabuhan Babat…yang konon dulu merupakan lokasi Perang Bubat yang mengakibatkan pecahnya duet Hayam Wuruk-Gajah Mada…di desa pelabuhan Babat yang sangat ramai itu,kami bisa menyewa kuda atau menumpang cikar yang ditarik dua ekor kerbau yang akan membawa kita ke Modo dan Ngimbang selama sehari penuh perjalanan darat." Raden Ahmad teringat Dewi dan teman-temannya yang pasti sangat lama dicekam ketakutan di persembunyian mereka,meski telah dijaga oleh Santri Kasto dan Si'jan.Maka demi mengingat mereka,ia ingin agar urusan pertempuran karena salah paham ini segera dituntaskan. "Baiklah,para pendekar sekalian,anda- "Jadi,kalau kami tak diserang dulu,tak mungkinlah kami harus menjatuhkan korban…tapi…wahai Pendekar Budiman,kami datang dari negeri jauh,bekal kami yang utama selain ilmu silat adalah kewaspadaan, Raden Ahmad tak dapat menyalahkan kecurigaan itu, maka yang dapat dilakukannya ialah segera mendangu ( menginterogasi ) para pendekar dari Perguruan Rase Ndendesi itu. "Bagaimana jawaban anda, Ki Pendekar Rase Ndendesi ? Kami juga ingin anda memperkenalkan diri lebih lengkap lagi." Pendekar dari perguruan Rase Ndendesi memandang berkeliling menyapu para anak buahnya,lalu berkata : "Namaku adalah Sumo Bawuk,sedang teman-temanku antara lain : Karto,Marmo, Karena itu, beliau memisahkan diri dari Perguruan Pusat Garangan Putih di Modo,lalu mendirikan aliran sendiri yang dinamakan "Rase Ndendesi" yang berarti keluarga Garangan yang tidak mau diatur,atau ingin mempertahankan jatidirinya sendiri. Tapi tentunya, ilmu-ilmu silat kami masih meneruskan aliran Garangan Putih,dan hanya dalam hal kepercayaan kami mempelajari dan mengamalkan kitab "Tantu Panggelaran". Artinya apa ? Kami terbiasa diberi ajaran tidak suka terlalu "anut grubyuk" alias "pasrah bongkokan" atau percaya membabibuta, tapi disuruh memakai akal pikiran dan akal sehat…dan kalau kini kami tahu bahwa para Pendekar Melayu ini tidak ingin mencuri kitab leluhur kami seperti yang dituduhkan oleh orang-orang Portugis dan Cina,ya kamipun tidak lagi melanjutkan serangan…malah kalau perlu harus membantu mereka menunjukkan jalan ke Modo…" "Tapi bagaimana dengan tiga anak buah anda yang kini telah menjadi mayat?" "Itu resiko menjalankan tugas…dalam ajaran Tantu Panggelaran memang kami meyakini bahwa jika manusia sudah meminum "Sang Hyang Tatwamerta Siwambha" alias "air kehidupan yang suci" maka tubuh kita kekal tak mengenal mati,namun penafsiran pendeta kami adalah "kekal di surga".Maka,kematian bagi kami tidak perlu disesali,karena kami akan kekal hidup di surga,apalagi karena kami mati dalam menjalankan tugas." Raden Ahmad tidak bisa berkomentar terhadap keyakinan orang-orang "Rase Ndendesi" itu,karena mereka memang belum mengenal Islam,jadi hak merekalah berkeyakinan semacam itu,seakan-akan kitab "Tantu Panggelaran"adalah yang paling benar. Maka,Raden Ahmad bercita-cita menjadikan pondok pesantren ayahandanya suatu saat akan menjadi "Pondok Dialog" antar agama atau antar keyakinan,agar setiap manusia mempunyai banyak referensi dan pengetahuan agama, dan Raden Ahmad percaya,jika akal manusia mempunyai kecerdasan tinggi,mereka akan memilih Islam,karena Islam adalah agama yang paling masuk akal dan relevan dengan situasi kehidupan sepanjang zaman,karena itu adalah janji Gusti Allah sendiri. Tapi itu nanti,sekarang yang penting adalah membereskan mayat-mayat itu.Dan juga mengurus Dewi yang tentu akan kecewa dengan semua kejadian yang diluar rencana ini. "Baiklah, mari kita bergotong-royong membuat tiga tandu untuk menggotong mayat-mayat ini ke pondok pesantren ayahandaku yang jauhnya Cuma limaratus langkah dari sini." Semua menjadi sibuk menjalankan perintah Pendekar Sendang Drajat,termasuk para pendekar dari Negeri Johor itu,ternyata juga tidak tinggal berpangkutangan, Raden Ahmad berjalan cepat di depan rombongan dan segera mendapatkan Dewi dan kawan-kawan yang segera muncul dari gerumbul dan beramai-ramai berpegangan ke tangan dan bahu Pendekar Sendang Drajat dengan wajah amat ketakutan.Dua santri abdi dalempun segera bersiap menunggu perintah Raden Ahmad,junjungan mereka. "Maafkan dan mohon maklumi kejadian ini. Sekarang kita kembali ke pondok pesantren dulu, nanti perjalanan tamasya ke pelabuhan Kemantren kita lakukan lagi besok atau lusa." Dengan wajah dan hati kecewa, Dewi dan kawan-kawannya terpaksa mengikuti langkah cepat Pendekar Sendang Drajat kembali ke pondok pesantren Kyai Nur Iman.Mulut-mulut mereka terkunci karena marah,sedih dan kecewa. Rombongan penggotong mayatpun mengikuti mereka,bahkan mereka ingin segera sampai untuk menyelesaikan urusan hari ini,dan selanjutnya merancang rencana urusan selanjutnya. Matahari juga sudah mendekati ubun-ubun.Panas sudah mulai menyengat ketika rombongan mulai mendaki bukit kecil menuju pondok pesantren,dan puluhan santri-santri pondok segera menjemput rombongan "rajapati" itu dengan empati dan perasaan ikut bersedih. Mereka sudah terlatih mengurus tetek-bengek persoalan kehidupan, karena Islam yang telah mereka pelajari dari guru mereka Kyai Besar Nur Iman, mengajarkan bukan saja soal-soal akherat,namun juga tata cara menjalani kehidupan sehari-hari. ********** |
Bersenang-senang di Yahoo! Messenger dengan semua teman
Tambahkan mereka dari email atau jaringan sosial Anda sekarang!
-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
No comments:
Post a Comment