Wednesday, June 10, 2009

[ac-i] jeda dalam puisi, kasus puisi sutardji, sudi ono cs, dan rontoknya ilmu sastra



jeda dalam puisi - kasus puisi sutardji, sudi ono, deasy nahtalia dan widyawati dewi (bagian 1)

Share
Yesterday at 4:46pm | Edit Note | Delete

jeda dalam puisi tak tentu maknanya. dalam puisi ia bisa menjadi gerak yang relatif. kadang puisi dapat kita luruskan tipografinya ke dalam seolah kalimat dalam prosa, tanpa kehilangan arti puisi yang disusun oleh seorang penyair. tapi memang ada puisi yang tak bisa dipenggal semena mena. maka jeda dalam puisi seolah arbitrer dalam bahasa. mana suka atau sesukanya saja. seperti kita berucap akan diri di sini dengan "aku", dan di sana dengan "me". saya dan i am, adalah arbitrer dalam bahasa, seperti jeda dalam puisi.

puisi sutardji calzoum bachri, "dapatkau", adalah sebuah puisi yang bisa disusun tanpa jeda dengan larik larik yang jatuh ke bawah. saya kutipkan puisi itu dalam susunan sang raja mantra seperti yang disematkan kritikus sastra maman s mahayana kepada sutardji.

"dapatkau nyeberangkan sungai
ke negeri asal
tempat diam
melahirkan gerak?"

saya telah menyusun puisi itu dengan menggesernya ke samping pada setiap larik lariknya. tapi apa boleh buat mesin facebook mendorongnya kembali ke tepi seperti yang kita baca ini. dan saya tak bisa mengakali mesin facebook. jadi mari kita bayangkan tiap larik puisi tardji, mulai dari larik ke dua sampai dengan larik ke empat bergeser semua ke samping dengan tiap tepinya lebih menjurai dari tepi larik di atasnya.

dan kini bagaimana kalau puisi dengan amanat yang amat dalam ini, alamat yang datang dari sebuah pembalikan dalam bahasa yang manusia kenal - bukankah kita yang mestinya menyerberang di sebuah sungai? tapi dalam bahasa sutardji ia menjadi di balik: dapatkau nyeberangkan sungai. sebuah pembalikan yang datang dari ia yang bisa melihat sisi sisi terayun ayunnya benda benda dalam hidup. benda benda yang diayunkan sehingga kita bisa mengatakan apa yang tak bisa dikatakan - tepatnya diimajinasikan - oleh orang awam. semisal fungsi sungai yang sudah berganti dengan kita yang menyeberangkan sungai itu.

kini saya susun puisi sutardji itu dengan susunan sebuah prosa. larik lariknya yang menjurai itu saya tarik kembali. saya bentukkan ke dalam sebuah prosa. maka ia menjadi sebuah kata kata yang memanjang sebagaimana sebuah hamparan kalimat.

"dapatkau nyeberangkan sungai ke negeri asal tempat diam melahirkan gerak?"

lihatlah kedua tipografi puisi itu tak mengubah makna puisi. kita bukan hanya masih tapi kita menyerap makna puisi itu tetap sebagai pembalikan dalam bahasa: sebuah pertanyaan yang mendadak terlontar, seperti kita terkejut saat menghadapi sebentang sungai, akan diamnya, akan misterinya, lalu mendadak saja terloncat dari mulut kita: dapatkau nyeberangkan sungai ke negeria asal tempat diam melahirkan gerak?

bagi saya sebaris puisi itu, atau puisi yang berjatuhan ke bawah itu, adalah sebuah godaan akan manusia yang datang dari penyair: dapatkau membuat kehidupan ini?

kita dapat mematikan kehidupan ini. tapi membuat kehidupan? membuat gerak gerak arus sungai? membuat kehidupan apa yang hidup dalam sungai?

maka kurangilah dentam dentam laras senjata. perbanyaklah gurat gurat pena. sebab seperti yang telah dituliskan sutardji yang amanattnya harus kita petik dalam bahasa tinggi - sebuah alamat yang diselinapkan sang penyair ke dalam acuan holistik kehidupan, kita tak pernah dapat membuat kehidupan. atau kita tak pernah dapat nyeberangkan sungai.

nyeberangkan sungai ke mana? bagaimana mengangkutnya dengan kedua tangan kita? kita ambil alat alat canggih dan alat alat itu kita pasangi kabel kabel serta monitor komputer. tapi ke mana tujuan sebentang sungai itu hendak kita bawa? ke mana ia harus menyeberang?

tapi kita tahu sungai itu adalah kehidupan ini sendiri. "dapatkau nyeberangkan sungai" adalah dapatkah kau mempercepat berakhirnya dunia yang sudah niscaya umurnya ini. sesuatu yang tak mungkin. karena hanya tuhan sendirilah yang tahu kapan kiamat itu.

(maha suci tuhan yang telah melimpahkan orang seperti fadjroel rachman dengan kemampuan menulis seni puisi, seni kata kata atas politik kemanusiaan yang hendak ditegakkannya.

hehe ketawa dikit ah serius mulu ni i de mar comce cih)

saya kutipkan penuh puisi sutardji - dapatkau, itu.

dapatkau nyeberangkan sungai ke negeri asal tempat diam melahirkan gerak?
dapatkau sampaikan sayap lepas ke negeri tanah tempat langit memulai jejak?
dapatkau pulangkan resah ke negeri tetap tempat ayah memulai anak?

siapa dapat kembalikan sia pada mula sia pa da sia pa sia tinggal?

sebaliknya misalnya dalam puisi sudi ono, laki laki pemilik senja, jeda nampaknya mutlak harus ada. enyambemen dalam puisi tak terhindarkan.

"Senja di selembar daun dibajak para lanun
Gores kulitnya luka
Belati iris matahari jadi keping dua
Tak ada tempat sembunyi selain di wajahmu sendiri"

huruf kapital tiap awal larik di sana seolah pengganti fungsi tanda baca titik di tiap akhir larik yang tak dicecahkan oleh sang penyair. puisi ini salah satu puisi yang menggoda setiap saya membacanya. seolah kata kata tergelincir, seperti air yang tergelincir di daun keladi. tak dapat saya membayangkan ruang dalam puisi, seandainya struktur puisi itu dituliskan dalam struktur kalimat. bukan saja tiap larik lariknya adalah sebuah stop dalam puisi. sebuah larik yang selesai. sehingga pembentukan larik larik itu menjadi kalimat dalam prosa tak bisa jalan.

saya akan turunkan penuh puisi yang menggoda saya ini, karena aspek kekerasan yang telah begitu rupa diasosiasikan sang penyair ke dalam dunia benda. sehingga bukanlah sang aku lirik yang tersembunyi yang bicara dalam puisi. tapi benda benda itu sendiri yang meriwayatkan sebuah momen kekerasan dalam larik lariknya. larik larik yang bertalian secara ketat ke dalam dunia benda benda itu.

senja di selembar daun

Senja di selembar daun dibajak para lanun
Gores kulitnya luka
Belati iris matahari jadi keping dua
Tak ada tempat sembunyi selain di wajahmu sendiri

Kelebat bayang hitam melayang di dahan
Punggungnya amis mesiu senapan
Cakrawala roboh dalam satu bidikan
Ufuk jadi lapuk, senja remuk

Para lanun hampar jubah hitam di darat-lautan
Ada bau ngeri juga cekam
Gulita, pelita enggan nyala
Lawa memekik jatuh di dinding gua
Oh bedil dikokang teror mengambang

Tidur lah nak, seru ibu kepada anak
Pergilah ke mimpimu lekas
Mereka mencabut nyawa tanpa belas

Malam itu kudengar dor
Pintu digedor melayang satu pelor

Para lanun membunuhnya
Ia laki-laki pemilik senja

atau seperti puisi deasy nathalia yang baru saya baca barusan tadi: masih ingatkah siapa aku. sebuah judul puisi yang tak cukup puitik untuk mendukung isi puisi.

"Berderai engkau layaknya gerimis pada malamku", adalah sebuah larik yang berdiri sendiri. yang tak bisa, atau yang harus diberi jeda. dan jeda di puisi deasy ini, sebagaimana jeda di puisi sudi ono, adalah sebuah masa istirahat dalam bahasa puisi dengan kembali tanpa titik. jeda di sana menjadi larik yang berhenti tanpa titik. pemakaian huruf kapital di tiap larik awal, adalah sebuah start dari larik baru dalam puisi.

bagi saya puisi ini adalah sebuah puisi pengungkap hati yang begitu sarat nada - bunyi bunyi dalam puisi. bunyi yang kelak akan saya coba bahasakan dalam konteks ruang dalam puisi. ruang kosong yang dikehendaki oleh priatna dan direspon susy ayu ... (susy ayu yang saya kenalkah itu?), dengan segenap permainan tehnik bahasa dalam bahasa puisi.

ada dua komentar yang menarik saya yang dialamatkan kepada puisi deasy nathalia ini. pertama komentar dari erwan setiawan, yang merespon puisi deasy dengan indah, dalam dua kalimat yang menurut saya adalah dua larik puisi itu sendiri. larik puisi dari hubungan antara "perempuan yang pintar menyembukan sesuatu", yang kita kaitkan dengan "namun teriakan itu menggugah para binaraga yang menganga".

binaraga yang menganga, membuat saya terkejut dengan kalau kita hubungan kepada sang aku lirik yang sedang meneriakkan sesuatu di sana - sesuatu yang dibalutkannya ke dalam dirinya seolah garam, seolah dendam.

komentar kedua datang dari penyair dhidi cahyani p, yang merespon puisi deasy dengan telak, melalui ucapan "Dia tak pernah tau, bila ulu hati mengharap rindu terbalut sembuh....hanya terus direjam nya hingga merasuk rusuk....duuuuhh !!"

bagi saya dua kalimat itu adalah larik puisi karena keindahan pengungkapan perasaan sang dhidi dalam menanggapi perasaan deasy.

"bila ulu hati mengharap rindu terbalut sembuh/hanya terus direjamnya hingga merasuk rusuk", adalah ungkapan hati yang tak harus kalah dengan larik larik deasy dalam puisi yang sedang kita bicarakan ini.

saya kutipkan puisi deasy.

"Garam Dendam"

Berderai engkau layaknya gerimis pada malamku
Mengembun, buramkan kebeningan yang begitu bisu
Sebarkan dingin yang memeluk batinku sungguh
Hingga sakit terasa menggigit sendisendi pada rapuh

Kau tahu, aku hanya punya satu malam
Tapi mengapa kau sebarkan garam begitu dendam
Ini luka masih butuh waktu tuk di anyam hingga rapat
Haruskah asin tubuhmu menindihku hingga cacat?

Aku bukan pelacur!
dan aku masih inginkan hatimu mengucur begitu jujur

kalau deasy nathalia seolah berseru di larik akhir puisinya: aku bukan pelacur!, maka seruan ini dijawab oleh penyair widyawati dewi dengan larik yang tak kalah lantangnya, tapi dengan nada yang dibalik: jadikan aku pelacurmu!

tapi saya tak hendak mengutip puisi itu. saya sangat terpukau dengan sebuah puisi widyawati dewi yang lain. yakni "pilar retak". sebuah puisi yang meneriakkan sebuah kesakitan ke dalam dunia lambang: pilar. pilar yang retak sebagaimana hidup itu sendiri adalah retakan. retakan yang memang niscaya karena telah menjadi paradoks dalam dunia.

lagi pula pada puisi ini saya bisa mengetengahkan sebuah contoh yang unik, betapa dalam sebuah puisi jeda dan tiada jeda berhimpitan dalam bait bait dalam puisi.

"pada pilar - pilar yang menjulang dengan keindahannya pada pilar - pilar yang terbangun oleh merdunya nyanyian burung gereja" adalah sebuah dua larik yang dipisahkan oleh titik titik yang diletakkan oleh sang penyair. tapi seandainya kita menghapus titik titik itu dan lalu menyambung larik "pada pilar pilar yang terbangun oleh merdunya nyanyian gereja", maka pada di puisi ini akan bertemu langsung dengan "pada pilar pilar yang menjulang dengan keindahannya", sehingga menjadi larik puisi yang telah saya sambung seperti di atas itu. pertemuan larik yang menurut saya tidak menghilangkan makna dari bait puisi yang disusun oleh widyawati dewi.

pemakaian kata keterangan "pada" di sana, dua "pada", apakah ia membunuh "ruang kosong" di dalam puisi? sehingga puisi widyawati dewi berhenti menjadi interval dalam sebuah nyanyian seperti yang dibayangkan oleh susy ayu, yang kita kehilangan saat untuk beristirahat dalam puisi, karena penuhnya kata, karena puisi telah diisi oleh kata yang berdesakan (olah kata pada yang kedua itu, dengan lanjutan larik dalam puisi).

apakah seperti itu? tidak juga. segera "pada" yang ke dua di sana hadir sebagai sebuah pengulangan yang justru menjadi nyanyian itu sendiri. yakni nyanyian akan pilar pilar yang dihuni oleh burung gereja. di mana pilar dan burung gereja menjadi satu kesatuan larik dalam puisi. pada di sana, seolah ngiau dalam puisi amuk sutardji. bisa dibaca sebagai jeda dalam puisi, pada, atau ngiau itu, tapi bisa juga menjadi semacam interval pelompat untuk puisi mengayunkan laju nadanya.

sebaliknya pada bait kedua puisi pilar dan burung gereja ini, masih tak bisa kita sambungkan dengan sempurna. sebab penyambungan seperti itu akan mematahkan dua pernyataan dalam puisi. maka jeda tanpa tanda baca yang lain, memang menjadi sebuah masa istirahat dalam puisi.

"aku berdiri di antara empat pilar yang beratap hampir sempurna
masih bisa aku berlindung dari panas yang mengintip dan air hujan yang memercik"

dengan cara yang sama kita bisa berkata tentang bait akhir puisi widayawati dewi:

"pada pilar - pilar impian itu
kulihat ada retak oleh patukan tajam burung gereja yang ingin merusaknya
telak!"

saya kutipkan penuh pilar retak puisi widyawati dewi.

pada pilar-pilar menjulang keindahannya
pada pilar-pilar terbangun merdunya nyanyian burung gereja

aku berdiri di antara empat pilar
yang beratap hampir sempurna
berlindung dari panas yang mengintip
dan air hujan yang memercik

pada pilar - pilar impian itu
kulihat ada retak oleh patukan tajam burung gereja
yang ingin merusaknya

telak!

----------------------------
Written 22 hours ago · Comment · LikeUnlike
You, Maghie Oktavia, Jehan Syauqi, Dedik Priyanto and 13 others like this.
Maghie Oktavia, Jehan Syauqi, Dedik Priyanto and 13 others like this.
Hudan HidayatHudan
Maghie OktaviaMaghie
Jehan SyauqiJehan
Dedik PriyantoDedik
Susy Ayu RanadivaSusy
Abdullah SajadAbdullah
Kurniawan YuniantoKurniawan
Nur JehanNur
Deasy 'Elang' NDeasy
Nani MarianiNani
Cavita JamieCavita
See all...

Pakar Dukun at 5:08pm June 9

ahah.., bener bang gak bisa diakali, ingatku bisa diakali, sik musti dicari-cari lagi cara mengakali pesbuk ini..

Widyawati Soetego Poetri at 5:12pm June 9

hihi ... aku liat di email komennya PD gak gini .. kok aku buka jadi gini ... hiks

Widyawati Soetego Poetri at 5:13pm June 9

ternyata fesbuk lebih pintar dr manusia (???) hihi hehe

Fadjroel Rachman at 5:17pm June 9

mantap hidup hudanist

Pakar Dukun at 5:19pm June 9

hihhh semut..., tadi aku pake ngakali geser awalah baris dengan naruh | gitu loh.., soalnya ingetku pernah ngegeser baris dengan cara seperti itu.., lha ternyata diposting barisnya gak kegeser.., ya sudah dihapus lagi komennya.. hahaha.. :p

Widyawati Soetego Poetri at 5:22pm June 9

oooh ooh gitu to ..

Pakar Dukun at 5:30pm June 9

ho ohhh.., gitu dehh..

riatna Ahmad Budiman at 5:51pm June 9

Ini yang saya tunggu !, Jeda-ketat dengan tipografi alinea, spasi atau bahkan ruang kosong. Puisi sepatutnya mempunyai irama nafas, ruang untuk bergerak bersenandung, bernyanyi dan menari.

~please let me bow my head under my shoulder to HH, FR,SCB dan FBookers~

Susy Ayu Ranadiva at 6:30pm June 9

nah ini dia, puisi harus punya ruang untuk bergerak bersenandung, bernyanyi dan menari..ini dia yang belum mampu kubuat.

Deasy 'Elang' N at 8:03pm June 9

hahahaha, kau tahu saja kelemahanku bang, membuat judul. Duh kacau kacau! tapi lagi-lagi ini ilmu bagiku, sebentar yaaa, aku resapi sekali lagi. makasih! Maju terus bang!

Widyawati Soetego Poetri at 9:55pm June 9

hehee yang itu yaaa .. hiks jadi malu ...
puisi itu aku buat ketika aku merasa down sangat bang , Ingat itu , saat aku meminta nasehatmu ttg puisi2ku , yg kata org puisi2ku makin tak terarah & kosong ...

trus aku membuat puisi itu .. hiks .. sedih kalo ingat ..

Bamby Cahyadi at 11:00pm June 9

test comment...

Bamby Cahyadi at 11:02pm June 9

hehe udah bisa comment, asyik... puisi deasy memang luar biasa mas, sudi ono juga fiksinya mantrabs... Widyawati juga keren

Geger Riyanto at 11:42pm June 9

Jeda, Bang Hudan, hihi, nikmat...

Pada puisi Sudi Ono berikut:

Senja di selembar daun dibajak para lanun
Gores kulitnya luka
Belati iris matahari jadi keping dua
Tak ada tempat sembunyi selain di wajahmu sendiri

Kelebat bayang hitam melayang di dahan
Punggungnya amis mesiu senapan
Cakrawala roboh dalam satu bidikan
Ufuk jadi lapuk, senja remuk

Para lanun hampar jubah hitam di darat-lautan
Ada bau ngeri juga cekam
Gulita, pelita enggan nyala
Lawa memekik jatuh di dinding gua
Oh bedil dikokang teror mengambang

Tidur lah nak, seru ibu kepada anak
Pergilah ke mimpimu lekas
Mereka mencabut nyawa tanpa belas

Malam itu kudengar dor
Pintu digedor melayang satu pelor

Para lanun membunuhnya
Ia laki-laki pemilik senja

***

Dimana gerangan Bung Sudi Ono ini? Aku hanya ingin memberikan jempol, pada larik-larik mengandung metafora dahsyat setelah di langit tak menemukan tuhan, di bumi tak menemukan hutan: tak ada tempat sembunyi selain di wajahmu sendiri

Geger Riyanto at 11:52pm June 9

Di puisi tersebut jeda memberikan sifat prosaistik, interseksi waktu, entah berapa detik, atau menit, atau hari, atau bahkan tahun. Dan jeda yang diikuti pengurangan sepotong demi sepotong, permainan bentuk menjadi pesan kelam itu tersendiri... kian ke akhir, kian sedikit. Seperti tenaga yang habis, blackbox yang menuju akhir pesan, nyawa yang berakhir... dan jeda pun memperlihatkan tajinya.

Atau pada puisi Deasy, dimana jeda seperti menjadi setahun kesunyian pada satu malam. Memberikan penantian untuk keinginan "hatimu mengucur begitu jujur".

Atau pada esai ini, ada keheningan panjang sebelum kita tiba pada kolom komen. Benarkah itu, Bang Hudan? Ehe...

Maghie Oktavia at 12:05pm June 10

Jeda...ya ya
aku prnh bc komen di puisi tmn2 lain yg menyebutkan
"habis nafasku baca puismu". hmmm....apa itu maksudnya perlunya jeda pada puisi ya? biar pembaca pun tak terengah engah saat membacanya ??
*buat tmn2 diatas,tak perlu diragukan mmg kualitas puisinya :)

__._,_.___
blog: http://artculture-indonesia.blogspot.com

-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
Recent Activity
Visit Your Group
Give Back

Yahoo! for Good

Get inspired

by a good cause.

Y! Toolbar

Get it Free!

easy 1-click access

to your groups.

Yahoo! Groups

Start a group

in 3 easy steps.

Connect with others.

.

__,_._,___

No comments:

Post a Comment