Wednesday, June 10, 2009

[ac-i] manipulasi teori dalam seni



manipulasi teori dalam fiksi

Share
Monday, December 1, 2008 at 3:56pm | Edit Note | Delete

manipulasi teori dalam fiksi

kebutuhan sastra akan struktur, yang meletakkan diri pada grama dalam bahasa, seolah padanan anggota tubuh yang rindu akan rohnya, yang memancar dengan tenaga mekanik, dalam fungsi tiap serat anggota tubuh. Atau, bisa dibalik: roh yang hendak bereksistensi, meruang dalam tubuh.

Badan bahasa, atau yang disebut Saussure sebagai penanda, itulah anggota tubuh dalam badan manusia. Sedang ruh manusia adalah makna yang terpancar oleh badan bahasa, ke dalam dunia yang ditandai.

Dalam struktur ini, kita menarik kehadiran sastra ke dalam pelbagai konsep sastra, atau konsep bahasa. Menarik sastra juga ke dalam konsep yang datang dari dunia lain: filsafat. Juga ilmu. Ke dalam kerja intertekstualitas.

Struktur sebuah karya sastra, bukanlah sifat dan unsur yang bergerak mutlak dalam dirinya. Ia akan berguncang ketika disentuh oleh dunia lain – dunia pembaca. Resepsi dan interpretasi, adalah hal yang niscaya yang membuat genre sebuah karya sastra berguncang dan saling menyeberang, saling menidakkan. Struktur tiba-tiba menjadi tak utuh lagi. Ketarik dan ditarik oleh pembacanya sendiri, dalam ramainya dunia pemaknaan pembaca. Tapi oleh pengarangnya juga.

Kritikus sastra Katrin Bandel, menunjukkan struktur sebuah karya yang terguncang dan menyeberang itu. Dalam kajiannya terhadap novel supernova, ia meletakkan fenomena struktur yang terguncang itu, dengan penyebutan "Karya sastra sebagai taman bermain".

"Apa yang akan terjadi seandainya tokoh sebuah novel tiba-tiba melepaskan diri dan meloncat keluar dari karya sastra itu, lalu berkeliaran dengan bebas, tanpa bisa dikontrol lagi oleh pengarang yang menciptakannya?"

Itulah pengelihatan Katrin saat ia menemukan novel Supernova yang diletakkan ke dalam wadah lain – wadah respon pembaca novel Supernova di dunia maya, di mana pembaca menjadi partisipan bebas untuk memaknai dunia novel Supernova.

Kita bisa menyebut respon pembaca sebagai aspek demokratisasi sastra oleh sang pembaca novel. Bahwa novel kini bukanlah milik sang pengarang lagi, tapi sudah menjadi bagian dunia publik yang ramai, yang hendak menarik novel ke dalam situasi domestiknya sendiri. Atau dalam kalimat Katrin, "… rangkaian tulisan di bawah judul Thanks From Me (wadah novel supernova dalam dunia maya itu – hh) merupakan semacam tanggapan pembaca atas novel Supernova. Pembaca bereaksi bukan dengan memberi komentar, seperti yang biasanya dilakukan kritikus atau orang awam setelah membaca sebuah karya sastra."

Apa yang menarik dalam esai Katrin yang sangat jernih dan penuh kontrol ini, adalah saat ia mengambil Sartre dalam soal aktivitas membaca, bahwa membaca adalah sebuah kegiatan untuk menciptakan kembali.

"Agaknya pandangan Sartre", tulis Katrin, "bahwa `membaca adalah menciptakan yang terarah' terbukti benar pada mereka, hanya saja apa yang sudah diciptakan dalam benak mereka itu tidak rela mereka tinggalkan pada waktu menutup halaman terakhir, melainkan mereka jadikan titik tolak untuk terus mencipta, dengan mengambil alih cerita dan tokoh-tokoh Supernova."

"Mengambil alih tokoh-tokoh Supernova", itulah saat di mana struktur dalam sebuah karya sastra (novel) itu berguncang dan menyeberang, tak lagi menjadi struktur dalam dirinya sendiri. Bermakna dalam dirinya sendiri – dalam makna yang tunggal.

Guncangan seperti ini, sebenarnya terjadi tidak hanya di dalam ranah struktur sebuah karya. Tetapi di ranah pembaca juga sebagai manusia yang menghadapi bacaan. Menghadapi bacaan, sang pembaca pada dasarnya membentuk struktur kognitif yang disadari, menjadi sebuah konsep bagaimana cara dia memandang dunia. Atau tenggelam dan terbenam menjadi sebuah gerak dan gerik dalam diri, psiko dalam term freud. Kelak tiba masanya di mana struktur yang berproses mencari bentuk itu, atau yang "tenggelam", meledak ke luar sebagai respon manusia atas dunia yang tengah dihadapinya.
Proses seperti itulah yang diceritakan Sartre, dalam renungan metaforik di perpustakaan kakeknya saat ia masih kanak, dalam bukunya yang konon telah mengantarkannya mendapat hadiah nobel yang ditolaknya itu – Kata-Kata.

"Perpustakaan laksana dunia yang terjerat dalam cermin; tebalnya tak terhingga, beraneka, juga tak terduga. Aku terjun dalam petualangan yang luar biasa: menaiki kursi, meja, meski dengan resiko membuat semua roboh jatuh di atasku. Buku-buku di rak paling atas lama di luar jangkauanku. Ada buku lain, baru kutemukan, yang dengan mudah dapat kuambil; tetapi ada juga yang bersembunyi: yang ini pernah kuambil, bahkan mulai kubaca, dan aku yakin sudah kukembalikan, tetapi nyatanya aku perlu waktu seminggu untuk menemukannya kembali. Ada penemuan-penemuan mengerikan: kubuka buku tebal, tahu-tahu halaman berwarnanya kudapati penuh dikerubuti serangga-serangga memualkan. Berbaring di permadani, kulakukan perjalanan-perjalanan yang berat ke tengah karya-karya Fontenelle, Aristophanus, dan Rebelais: kalimat-kalimat berkutat di hadapanku seperti benda-benda hidup; mereka harus kuamati; aku mengelilinginya, pura-pura kujauhi dan tiba-tiba kembali agar bisa mengagetkan mereka di saat lengah: pada umumnya kalimat-kalimat itu tidak membuka rahasia dirinya."

"Aku mengelilinginya, pura-pura kujauhi dan tiba-tiba kembali agar bisa mengagetkan mereka di saat lengah", adalah pelukisan guncangan terhadap bacaan, yang ditemukan Katrin terhadap realitas pembaca novel Supernova, yang kini menjadikan novel Supernova sebagai milik bersama.

Saya baru menyadari pendapat Katrin ini, ketika memikirkan esai-esai saya sendiri, semacam ideologi dalam mencipta, yang dituang ke dalam bentuk novel, bahwa dunia novel adalah sebuah dunia di mana kebutuhan mengacak-ngacak dan membentuk kembali struktur, adalah proses yang berjalan bolak-balik dalam dunia penciptaan. Penciptaan bukanlah sebuah kawasan yang bisa dan harus dijumudkan, tapi adalah dunia terbuka dimana, seperti kata-kata Sartre, "kalimat-kalimat" yang "tak membuka rahasia dirinya" justru harus diminta terbuka, dikuak untuk dijelajahi. Seakan tangan pengarang memegang serenteng kunci, untuk masuk ke dalam kamar rahasia dari kalimat-kalimat serupa itu. Kini pengarang bebas dalam dirinya sendiri, bebas pula dalam dunia. Tapi kebebasan mutlak sang pengarang, adalah kebebasan mutlak pula bagi sang pembaca sebuah karangan.

Ilmu memang hendak membuat klasifikasi, menentukan sifat-sifat umum dan sifat-sifat khusus, tapi pengarang dan pembaca "bisa terbebas" dari tuntutan ilmu. Ilmu bisa dijadikan panduan, pegangan, atau semacam tongkat untuk bertopang. Selanjutnya dalam pengembaraan memasuki lorong-lorong bahasa sebagai jalan memasuki lorong-lorong jiwa manusia, maka sebuah patokan yang hendak ditancapkan, menjadikan seorang pengarang atau pembaca tergagap. Ia serupa kuda yang laju berpacu, tapi tali kekang memperlambat laju sang kuda. Tapi kemanakah kuda hendak berlari kalau horizon terjauh tanpa peta?

Maka nampak kita ditarik ke dalam dunia ilmu kembali. Seolah ilmu adalah tali kekang, menjadi suar ke mana sang pengarang dan pembaca hendak berlabuh, atau mendekat atau menjauh. Tapi bisa juga sebaliknya: ilmu ditarik oleh jiwa pengarang yang tak hendak diblog oleh ilmu.

Dalam dunia tarik menarik semacam itu, dunia di mana kebutuhan membentuk struktur sama besarnya dengan kehendak untuk menghancurkan struktur, maka cerita, atau bahasa, menjadi kawasan penuh kemungkinan, dan nyaris tak ada patokan untuk membentuk sebuah bahasa atau sebuah cerita. Termasuk juga untuk mengintodusir teori dalam sastra, atau membelokkannya.

Konvensi, terbuka untuk sebuah pelanggaran bahasa, dengan atau tanpa kesadaran. Seperti yang diparafrasakan oleh sebuah novel: bahasa juga berhak mendapatkan kesalahannya. Seperti anting dan tato di tubuhmu.

Semacam impuls yang berdenyut dari dalam jiwa sang pengarang – dari jiwa sang pembaca juga, kini mengintip di tiap tubuh si aku-lirik atau si aku-prosaik. Mengintip juga pada pencipta kritik. Maka eksplosifisisme, kini bukan hanya sebuah dugaan tapi telah dan bisa menjadi sebuah program.
Hidup memang seolah menggenggam air dalam tangan. Dan air selalu merucut ke balik tangan. Begitulah struktur dan antistruktur itu bekerja dalam jiwa sang pengarang dan sang pembaca. Untuk kemudian meletus dalam ledakan kreatif. Ada tali hendak mengekang lajunya ledakan, tapi putus oleh desakan dalam diri yang tak terbendung lagi. Kehendak untuk memblog bahasa, terkulai oleh kehendak bebas jiwa yang ingin mengembara.

Seperti yang saya lihat dalam puisi penyair Maulana Achmad (dan pastilah penyair lain juga), yang memainkan tarikan-tarikan semacam itu dalam puisinya berjudul "Ketika Nanti". Tarikan dari sebuah kegetiran, tapi tak terucapkan, dan tak terkatakan – kegetiran apakah itu? Darimana datangnya dan kemana ia hendak menuju? Tapi dalam puisi yang bernas ini, tarikan-tarikan itu bukanlah menampakkan kebutuhan mengacak struktur bahasa, tapi sebuah fenomena dari batin dari aku yang terbelah – batin yang menerima tapi hendak menjauh, menolaknya, menjadikan dirinya sebagai bayangan.

Ketika nanti,
Aku dan dedaunan sulit diurai
Sebaiknya kau keduk sesudu kami
Hiduplah! sebatas mampumu saja
: bila baik langkahmu, aku kan membentuk bayang

Dunia puisi yang menalikan manusia ke dalam dunia benda, ke dalam sebuah majas tentang kesedihan, dalam puisi Maulana "pakcik" Achmad ini, akhirnya sampai juga ke dalam pengacakan struktur "jiwa" benda yang menyatukannya ke dalam jiwa manusia. Itulah saat di mana sang penyair menyebut pengacakan itu sebagai "aku dan dedauan sulit diurai", di mana daun sebagai benda mati, kini di tangan penyair, menjadi hidup seolah hatinya sendiri. Penyair "merusak" fungsi struktur daun – benda mati itu. Konon, Newton cemas, bahwa Tuhan menambah satu kemampuan lagi terhadap dunia benda, yakni pikiran, sehingga dunia fisika tidak bisa menjadi mekanika utuh.

Dalam puisi Maulana itu, benda belum, atau tidak, berbicara berkonsonan, atau bervokal, tapi seolah berjiwa, dan jiwa itulah yang dihimpitkan oleh pakcik ke dalam motif asosiatif. Maka makna tak hanya datang dari relasi sintaktik dan semantik dalam puisi, apalagi dari permainan bunyi-bunyi, tapi keluar dari imajinasi penyair yang menali dirinya ke dalam dunia benda.

"Biarkan surai kisah kami menampar wajahmu.
Mungkin angin kelak kan ceritakan sedikit
: pernahkah aku, daun dan angin hidup

Daun, angin, tebing, sampai juga kepada kita menari-narikan kesedihannya, seolah manusia yang bersedih hati yang mengucapkan kesedihannya ke dalam dunia kata-kata – dunia puisi.
Puisi tak hendak masuk ke dalam dirinya sendiri. Ia meningkap di dahan peristiwa, di luar bahasa, sebelum bahasa. Menjadi gerak dan gerik dalam peristiwa. Dalam momen, momentum peristiwa menguar, membentuk bahasa ucapan seorang penyair. Entahlah fiksi entahlah fakta, momen ulang tahun sang istri dihadiahi oleh penyair dengan dunia kata. Kata, sebagai puncak piramida waktu, kini berkumpul dalam peristiwa ulang tahun istri sang penyair Hasan Aspahani.

Kukumpulkan daun daun kamboja itu…

Maka tampak sang penyair mengaduk harapan dan kematian: bukankah kamboja, lambang yang kita kenal sebagai bunga kuburan. Paradoks seperti ini, adalah jejak yang diucapkan oleh sang penyair, dari perjalanan fakta yang akhirnya menemukan dirinya ke dalam dunia fiksi – dunia puisi.
Kematian dalam wajahnya yang inheren dalam asosiasi puisi: matahari, daun yang luruh, jam memberat, senja yang tiba, muncul dalam puisi goenawan Mohamad yang sarat dengan pasti dan ragu (hari terakhir seorang penyair, suatu siang). Seolah pasti dan ragu, hendak menjadi permainan penundaan makna dalam semangat Derrida – mati (siapa yang mati?), atau dalam bahasa lain: kematian itu sebagai momen puitik dari kematian yang hendak "ditunda-tunda" oleh si aku-lirik.

Goenawan memasangnya dalam situasi bahasa yang berlirik prosa. Tapi apakah batasnya lagi dunia prosa dan dunia puisi, di tengah perjalanan bolak-balik yang amat cepat tiap peristiwa, atau tiap peristiwa dalam pikiran manusia, yang intensitas tiap unsur-unsurnya telah mencapai puncak kedalaman dan pengasingan, di mana pengimajian dalam puisi, yang dengannya si aku-lirik dalam puisi menyembunyikan dirinya ke dalam lirik dan bait-bait puisi, berpadanan dengan totalitas hidup yang terus berdenyut dalam ruang-ruang absurd. Sebagai lirik dan bait raksasa dalam ruang dunia di labirin lautan benda dan makna di kota-kota, atau lautan benda dan makna di dalamnya lautan, dan ruang juga di dalam kumparan laku manusia dalam dunia.

Kalau intensitas sebagai suatu proses penulisan puisi diperluas cakupannya, ditransendir ke fenomena kehidupan dalam totalitasnya serupa itu, maka cukup alasan untuk mengatakan bahwa kehidupan ini sendiri adalah puisi, yang kerap ditulis ke dalam bahasa prosa. (Ini sebuah puisi, gumam seorang lelaki tua membuka novel putu wijaya: stasiun). Tapi ditulis juga ke dalam bahasa puisi itu sendiri.
Sampai di sini, intensitas sebagai cara menuliskan puisi, bisa dibaca sebagai puisi yang sedang melonggarkan dirinya ke dalam permainan yang memberikan ruang, bagi pembaca puisi untuk berfantasi. Fantasi yang mengintensifkan tiap larik dalam puisi, tapi sekaligus melambatkannya, agar ruang dalam diri pembaca tercipta. Dan itu terjadi saat si aku lirik dalam puisi goenawan menggumamkan nama benda-benda, yang membuat kita membayangkan sebuah lanskap. Menghitungnya seolah manusia menyebut-nyebut kematiannya, menunda-nunda waktu kematiannya.

Kuhitung pohon satu-satu. Ada matahari yang lewat mengendap, dan bumi yang jadi lain: daun pun luruh, lebih bisu

Permainan puisi dalam prosa atau prosa sebagai puisi ini, seperti kelak kita lihat dalam novel-novel mutakhir Indonesia, telah berselang-seling, mengambil pelanginya sendiri dalam lirik yang hadir bergaya prosa. Tapi puisi "hari terakhir seorang penyair, suatu siang", nampak bagi saya bukanlah sekedar puisi yang menjelma prosa dan prosa yang menjelma puisi dalam tenik, juga dalam ciri. Tapi puisi yang berbicara tentang hidup yang merentang maut: maut hendak ditolak dalam keraguannya, atau ketakutannya. Seolah sang penyair hendak menawar maut yang pasti datang itu, dengan melambatkannya melalui kenangan akan benda-benda. Maka intensitas berfungsi bukan sekedar penguat makna puisi, tapi mencipta dan memandu ke dalam ruang-ruang yang lain.

Dalam pengimajian, puisi tak hanya menunjuk pada maut yang menjadi temanya, tapi juga pada pengenalan benda-benda yang muncul – gejala alam yang membawakan suasana kematian. Puisi membawakan kepada kita suasana yang "kelak hendak hilang" (dan hari menunggu/Segala akan lengkap, segala akan lengkap, Tuhanku). Dan pengenalan benda di sana bukan merujuk kepada sesuatu yang terlihat untuk dipelajari, tapi sebagai suasana untuk mendekat kepada tema puisi. Sang penyair memakainya sebagai sarana, sebagai kanal, bagi perasaan yang merambat pada dirinya. Ia mengalirkan perasaannya pada dunia benda. Seni memiliki daya tular, kata Tolstoi, dan daya tular itu nampak, bukan hanya dari alam kepada manusia sebagai inti pikiran mimesis.

Puisi (itu) masih taat pada tipologi, tapi majas di sana dihadirkan ke dalam unsur alur seperti dalam teks naratif, dan alur, bukanlah alur yang berumpu pada peristiwa dan jalinan peristiwa seperti dalam dunia prosa, dan puisi, bukanlah karya seni tanpa beralur, tapi alurnya puisi adalah balok-balok benda yang ditautkan, dalam kesan seorang penyair, yang hadir sebagai bahasa alam matahari, pohon, daun, sebagai asosiasi bagi sebuah kematian yang akan tiba itu. Sebagai benda-benda yang disebut dalam puisi. Di sana, alur menyembunyikan dirinya ke balik gejala. Di mana ruang dan waktu, berjejak dalam masa silam sang penyair dan sang pembaca puisi.

Di sana makna dibentuk oleh unsur-unsur mataporik (aku yang merenungi daun yang luruh) sekaligus metonimik (hadirnya matahari lewat mengendap, jam memberat, dan hari menunggu, dalam relasi dengan aku-lirik yang menjemput mati).

Alur yang hadir dalam larik yang menautkan diri dalam benda alam, menciptakan asosiasi tentang mati. Ada rima di sana, tapi rima diseling oleh penyair ke dalam asosiasi benda alam yang lain. Di mana konsonan dan vokal hadir bersama benda alam, mengesankan mati yang menunggu, seperti kematian dalam hidup ini sendiri pun adalah menunggu. Dengan begitu mati menjadi kehadiran yang datang selapis-selapis, seperti lapisan-lapisan roh yang ketarik, keluar dari tubuhnya selapit-selapit.

Di siang suram bertiup angin. Kuhitung pohon satu-satu
Tak ada bumi yang jadi lain: daun pun luruh, lebih bisu
Ada matahari lewat mengendap, jam memberat
Dan hari menunggu

Segala akan lengkap, segala akan lengkap, Tuhanku

Kemudian Engkau pun tiba, menjemput sajak yang tak tersua

Kemudian hari pun rembang dan tanpa cuaca
Siang akan jadi dingin, Tuhan, dan angin telah sedia
Biarkan aku hibuk dan cinta berangkat dalam rahasia

Larik-larik maju, membentuk dua bait dalam puisi, tapi tak bercerita tentang tubuh yang telentang dan mati, tapi menggesernya ke dalam sentuhan sang aku lirik terhadap fenomena benda. Benda yang dalam puisi menjadi pembentuk tema puisi. Maka puisi diselipi sepi, atau sepi merangkak ke celah puisi. Tapi awal puisi dan isi larik dalam bait-bait, membuat kita tersadar: ada efonik yang menyanyikan lagu akhir seorang penyair.

(hudan hidayat)

Written about 6 months ago · Comment · LikeUnlike
You, Cesillia Cesi, Khrisna Pabichara, Muhammad Sirul Haq and 7 others like this.
Cesillia Cesi, Khrisna Pabichara, Muhammad Sirul Haq and 7 others like this.
Hudan HidayatHudan
Cesillia CesiCesillia
Khrisna PabicharaKhrisna
Muhammad Sirul HaqMuhammad
Nur JehanNur
Endang TirtawatiEndang
Kwek Li NaKwek
Mh PoetraMH
Nani MarianiNani
Susy AyuSusy
Imron TohariImron

Nuruddin Asyhadie at 8:24pm December 1, 2008

hudan ki ketokane makin suwi semangkin cerdas. swearrrr!

fahmi faqih

bukannya jenius cak?

Nuruddin Asyhadie at 11:05pm December 1, 2008

astagfirullahaladzim. iya, iya, khilaf aku!

Hudan Hidayat
Hudan Hidayat at 10:05am December 2, 2008
rak no aku ki mentelengi esaimu sebelum prosa dan kulihat memang kita berjajar di sana nur: sepakat menolak konvensi alias konvensi adalah tawa kita sendiri seperti yang sering kau dan aku dan fah dan kawan kawan lain cekikikan di milis sebakat dan ajaib kita itu iya gak akmal wawan dan nas hehe

idih ziyi hehehe

Teguh Setiawan Pinang at 10:59am December 2, 2008

wong kok pada pinter2 gini ni pakanane apa se?

Hudan Hidayat at 11:06am December 2, 2008

puisimu keren kawan. adakah di fbmu puisimu? diletakkan di mana ya? nanya beneran ini hehe belum tahu soalnya

Teguh Setiawan Pinang at 11:11am December 2, 2008

diletakkan di sini lho kang: http://www.titiknol.com

Hudan Hidayat at 12:16pm December 2, 2008

oh iya ts pinang. yang penting mudah membukanya. tadi kucoba kubuka eh mental dia: internetnya terputus, maksudku.

Frances Polly at 10:39am January 11

kita memang memerlukan " tubuh" yang hidup, agar "ruh" menjadi niscaya. niscaya memaknai tanda-tanda. menjelajahinya, mengaduknya (mungkin) menjadikan semacam sintesa dan anti-tesa..

Hudan Hidayat at 12:11am March 23

aku membaca lagi tulisanku ini, untuk menyimak suara hatiku yang lain.

Jun Nizami at 12:51pm March 23

Gusti pangeran!! Essei2 tuhan ini dalam2 sangat. aku kuyup.

Hudan Hidayat at 1:09pm March 23

gusti an nizami terima kasih ya. sangat dalam perasaanmu terkuak di sms mu di atas ini hehe

Jun Nizami at 3:37pm March 23

Woah..terlalu dalam,hingga kedalaman itu tak lagi bernama..hahaha

Imron Tohari at 8:25am May 26

aku serasa berenang di kolam susu mas, tinggal iso opo ora aku nyruputnya. Hiks.

Salam lifespirit!

Camelia Camel Dananjaya at 8:28am May 26

hwaduh...sampe nahan napas bacanya...takut ada yg ga terserap...nice notes...nambah wawasan...makasieh...:)

Susy Ayu at 8:36am May 26

Sangat disarankan untuk membaca essay ini berulang ulang, karena tiap kalimatanya padat berisi seperti tubuh perempuan/laki2 sexy yang gak hanya dinikmati satu kali..halah..! Tapi ini serius, berulang ulang agar jgn sampai ada yang luput dr pikiran kita untuk mengolahnya. salam hangat ya Mr. President.

Nani Mariani at 8:42am May 26

ketika kita membaca kita mengeluarkan suara. Seakan-akan itu suara guruku, adalah kamu, bang, tks..

Seiska Handayani at 8:51am May 26

aku sudah membacanya, tapi aku harus membacanya lagi...berkali-kali sepertinya :)
tq pak pres...

Mh Poetra at 9:05am May 26

Ya mas..
Sangat padat disetiap kalimat maupun per paragrafnya.. Harus benar-benar jeli membacanya..

Salut!
... Read More
Trimakasih dah mau berbagi ilmu yang sangat2 berharga ini mas..

Salam hormatku

Maghie Oktavia at 10:04am May 26

aku membacanya sambil mengangguk-anggukan kepala.. bkn krn aku ngantuk disebabkan blm tdr dr smlm :P
tp krn aku terkagum-kagum Pak Pres,lalu aku membacanya lagi...dan lagi...lalu mengangguk-angguk lagi...
hmmm..kira2 boleh gak ya semua tulisanmu yg penuh azimat berharga ini aku copy ke usb lalu aku baca dan baca dan baca sampai terserap ilmu2nya,bang Huds? :)

Kwek Li Na at 10:12am May 26

Dasyaturaiainya...

ilmuyangsangatbergunaa...

thanksBangHudan,ilmuyangsangatbermanfaat:)

Arif Gumantia at 10:14am May 26

hehehheheh..de dor...aku ketawa aja...
soalnya mulai kemarin tembakan njenengan tambah menggelegar...hahahhahahhahahhahah...hehheheh
ayo..tembak lagi...biar yang di luar terdengar...hihihihi
salam dari madiun

Nani Mariani at 10:28am May 26

sekali baca aku binun.., pusing.. , blom ngerti, baca lagi.., baca lagi..,, aku print aja deh, biar asseeek bisa dipegang sekalian kemanapun.., bauss bener ilmu yang kau curahkan.
sentuhan-sentuhan halus. terima kasih Pak Pres Hud Hud..

Eimond Esya at 10:30am May 26

tumben Um HH persis Ilmuwan di sini, hehe. biasanya kan ilmunya di sampaikan pake ulasan nyeni bin lucu. hehe terbukti kan! tapi kebayang pasti lagi bikinnya perasaan Um HH ga se fun gaya yg satunya. Ga bisa masukin kata 'ndut-ndutan' soalnya. heheh

Rini Asmoro at 11:17am May 26

kureguk ilmunya ni : glek....habis tandas...!
salam hormatku !

Endang Tirtawati at 11:42am May 26

mas hudan....andai mas hudan dekat aku pasti tiap hari datang ke padepokan mas hudan bwt belajar face to face deh...sukses selalu ya mas....:)

Abdullah Sajad at 2:31pm May 26

iya. memang keren sekali tulisan ini, membedah sastra indonesia. hehe.

Nur Jehan at 3:06pm May 26

Disini jelas sekali paparan mas hudan tentang prosa dan puisi apalagi dilengkapi dengan contoh2nya. Dikenalkan dengan isitilah seperti tipologi, majas, bagaimana memaknai sajak, bagaimana prosa. Serasa ingin lagi dan lagi membacanya biar nancep di hati dan otak.

Sudi Ono at 3:21pm May 26

tulisan yang bergelora seperti samudra tanpa batas, hanya lahir oleh kritikus sastra yang jenius dan berhati baik....

Hudan Hidayat at 4:37pm May 26

idih ih hihi

ndut ndut an yuk hahahaha

Kurniawan Yunianto at 12:50am May 27

hehe, aku sampek semlengeren, iya sudi yang penting berhati baik itu .. tuhkan dia sudah ngajak ndutndutan hahaha

Hudan Hidayat at 1:48am May 27

haha mangsudnya makan nasi goreng sambil goyang goyang bandung gitu lo kurniawan aa haha

baca hung huethu hehua hihu hoh haha

Cesillia Cesi at 5:00am May 27

membaca note den don hu dan satu persatu, duh aku jadi tambah pandai, sekolah lagi dengan gratis tis cukup punya koneksi internet atau dari warnetpun bisa dapat ilmu yang kalau masuk kuliah lagi berapa bayarnya kan?

terima kasih den don hu dan dedikasi ilmumu tidak akan sia sia ku yakin itu.

Faradina Izdhihary at 7:22am May 27

aku sama dengan mbak ces. setiap lihat notes mas hh, entah di tag entah gak... lalap aja. kuliah gratis.
Write a comment...

__._,_.___
blog: http://artculture-indonesia.blogspot.com

-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
Recent Activity
Visit Your Group
Give Back

Yahoo! for Good

Get inspired

by a good cause.

Y! Toolbar

Get it Free!

easy 1-click access

to your groups.

Yahoo! Groups

Start a group

in 3 easy steps.

Connect with others.

.

__,_._,___

No comments:

Post a Comment