Monday, June 15, 2009

[ac-i] "menolak dekonstruksi, menampik posmodernisme" - kasus derrida dan bumi manusia"



setangan derrida, setangan alberto camu

Share
Today at 2:33am | Edit Note | Delete

di dalam buku yang jernih pembahasannya, derrida, yang dikarang oleh muhammad al fayyadl dan diberi kata pengantar oleh goenawan mohamad, buku terbitan lkis, terbaca kata kata di catatan kaki yang dibuat oleh pengarang, di halaman pembukaan.

"dalam sepucuk surat kepada alter egonya, tertanggal 3 september 1977, derrida menulis: setiap hari kau meluangkan lebih dari sehari untuk dirimu. aku benar benar menyangka bahwa kau tak kan kembali lagi. tidak adakah kabar baru tentang pencarian kebenaran? biarkan aku mengetahuinya."

"ambillah jarak agar aku dapat menulis kepadamu. jika kini aku selalu mengirimi kartu yang sama, itu karena aku ingin mati dan mengakhiri diriku dalam satu tempat yang merupakan sebuah 'nama', dan membatasi diriku pada satu kata, satu nama."

bagi saya sepercik pikiran sudah cukup untuk menyalakan imajinasi dalam diri. cukup untuk memasuki lorong jiwa derrida. bahwa orang itu berupaya menggapai kebenaran dengan keras, dengan setiap hari meluangkan waktu untuk menulis. tapi kebenaran seolah nyala lilin - selalu bergoyang goyang. kadang ia merasa sudah dapat menangkap berkasnya. tapi angin malam membuatnya luput lagi.

"aku benar benar menyangka bahwa kau tak kan kembali lagi," katanya.

tapi saat ia menulis lagi, berkas cahaya itu kembali lagi. dan nyala lilin itu kembali bergoyang.

begitulah apa yang disebutkannya sebagai kebenaran, seakan upaya menggenggam air dalam tangan - air selalu mengerucut dari balik tangan. atau seakan menggenggam roh dalam badan - roh pun semakin sembunyi ke balik badan.

situasi menulis dalam keadaan seolah termenung seperti itu, memang akhirnya meluncurkan kalimat kalimat sedih. romantis, kata maghie oktaviana tadi di bawah. mungkin tak tepat kata romantis, untuk suasana kejiwaan derrida. yang lebih tepat derrida sedang mengalami melankolia, yang mungkin tak disadarinya, saat ia mengguratkan pena, menuliskan perasaan hatinya.

"jika kini aku selalu mengirimi kartu yang sama", tulis derrida. segera mengingatkanku pada sebuah cerpen yang terbit di sebuah media berpuluh tahun yang lalu. kalau tak salah penulisnya adalah kurnia jr. tentang seorang yang membayangkan orang lain - orang yang dicintanya. tapi telah pergi. dia pun telah pergi. singkat kata mereka berpisahan.

kau mengirimkan kartus pos dari tempat yang berbeda beda, monica, katanya. lalu sang aku prosais di sana terkenang kembali semua masa masa indah mereka. kau menjulurkan lidah kepada anak kecil itu, monica, saat ia menjulurkan lidah kepadamu.

pikiran yang diputar ke dalam kenangan, selalu membentuk sebuah dunia yang sedih. sebab masa lalu tiba tiba seolah air pasang, atau air pasang yang datang perlahan lahan. masuk ke ruang sadar kita dan membuat kita mungkin sejenak, atau seterusnya, tak berdaya.

kenangan dalam novel dan kenangan dalam pembaca novel, bisa sama fatal dan sama sedihnya. tapi haraplah dibatasi pengertian sedih ini. sedih bukan seolah kita ditinggal ibu yang mati. tapi sedih yang meluas akan ketakmengertian tentang dunia. tentang nasib yang datang seolah papan luncur yang dilontarkan ke udara. ke mana jatuhnya orang yang ada di papan luncur yang dilontarkan sepenuh tenaga itu, kita tak pernah tahu.

nasib bisa jatuh ke diri siapa saja. dan adalah sebuah absurditas untuk menebak mengapa keluarga itu yang bernasib malang, dan mengapa keluarga keparat itu yang bernasib tak malang. tapi ini dalam tataran nasib yang menimpa seseorang. kalau seseorang kita naikkan lagi menjadi masyarakat, naikkan lagi menjadi universe ini sendiri, maka di sanalah kita seakan menghadapi suatu kain tipis yang tiba tiba tersingkap. membuat kita seolah orang yang terserang demam. gamang dan tak mengerti akan semua yang sedang dan akan terjadi.

apakah hidup di balik sesudah mati.

berhadapan dengan semua itu, mungkin nasib kemanusiaan ini akan bernasib sebagai penutup novel pramudya ananta tur (dalam lisan tak kita sebutkan toer boekan) - bumi manusia. yang berkata dengan rasa putus asa lewat seorang tokoh utamanya.

"kita kalah, ma."
"tidak. kita telah melawan. dengan sebaik baiknya."

saya setuju dengan teddy delano yang mengutip inti derrida:

Makna (kebenaran) kini tak terpasung dalam "kuasa tunggal" pengarang.

dan kalau kita luaskan kutipan ini, maka ia menjadi posmo yang hendak (salah satunya) menjungkalkan logosentrisme yang telah dibangun loto loto di jaman yunani kuno itu sampai jaman modern juga. yakni tak juga ada kebenaran sang pengarang yang kita angkat dikit lagi menjadi pengarang yang berpindah ke tuhan. tak juga ada kebenaran tuhan.

ini poin penting yang sedang saya lawan dari filsafat dekonstuksi ini. atau posmodernisme itu.

sebab bagi saya orang sedunia ini, yang mengatakan bahwa agama adalah finalitas, adalah tak mampu menangkap inti agama itu dengan benar. agama dan ajarannya itu tidak final. bahkan relatif sekali. bahkan bisa kita sebutkan ia beyond dekonstruksi. memang bertaburan ayat ayat dosa dan pahala. amanat amanat benar dan salah. tapi kalau kita naik sedikit maka itu hanyalah ayat ayat permukaan belaka. inti ayat itu terletak, atau diletakkan, dalam iktibar riwayat penciptaan manusia itu sendiri. saat manusia digoyang ke dalam paradoks diamlah di sini dan akan kuturunkan. itulah paradoksnya. dan itu pula saatnya tuhan mendekonstruksi dirinya sendiri. meretakkan dirinya sendiri.

sehingga agama itu, adalah mitos besar, kalau disebutkan oleh pelawannya, kaum yang menghendaki ilmu itu, ilmiah itu, dan karena itu meminggirkan agama ke tepi karena tak bisa dilacak common sensenya dalam artian empirik.

kita memang sedang berhadapan dengan manusia sedunia pemamah mitos dan terbenam oleh mitos, di saat ia sedang sekencangnya berteriak tentang agama adalah mitos. adalah hendak memfinalkan kehidupan. lihatlah malam ini saya telah menjungkalkan semua pemikir sedunia dunia itu, bahwa agama itu bukan ajaran final. bahwa di langit sana adalah tempatnya tuhan, saat pertama dekonstruksi itu terjadi, paradoks itu terjadi, diayun ayunkan tuhan dalam iktibar penciptaan. dengan nama dekonstruksi paradoks dalam terminologi yang diidentitaskan oleh barat itu.

baik quran maupun injil memuatnya, walau dalam injil agak bergeser dikit detilnya. dan injil atau alkitab itu, entahlah mengapa terasa bagi saya lebih manusiawi. lebih bernuansakan dalam sebuah bahasa yang familiar kepada kita; seumpama tuhan berjalan jalan dan terdengar langkahnya, itu terasa lebih kena dalam untuk ajaran. seolah sastra: ia diberi baju peristiwa, diberi baju baju benda. diprofankan sehingga yang profan itu cepat terasa karena kandungan humanitasnya.

tapi dengan berkata begitu saya tidak dalam posisi membenarkan satu dan menyalahkan yang lain. posisi saya itu adalah menerima semuanya. bahwa semua yang di kolong universe ini datang dari tuhan dengan apapun kamu mau menyebutkan identitas tuhan itu. bahkan ilmu pengetahun yang tuhannya bagi kaum pemikir, adalah tuhan juga dalam pengertian saya, tuhan dalam derajatnya sendiri sendiri. tak ada yang benar dan tak ada yang salah di bumi. semua sekaligus benar dan semua sekaligus salah. yang ada adalah sikap wisdom untuk saling berendah hati. karena pentas ketuhanan ini sedang kita mainkan dengan diturunkannya semua watak aktor aktor yang kita kenal, kita kutuk, kita puja, kita tolak atau kita terima.

(silahkan di simak pendapat ini tapi jangan ditiru ya. ini penemuan yang paling mutakhir dalam arti penulisannya. sudah lama ia mengendap ke dalam jiwaku turun sebagai ilmu laduni hehe boleh ditiru kok asal disebutkan saja sumbernya dari tuhan hudan dalam sastra hehe. ilmu itu saling berbagi kok. seperti chanel chanel luar negeri itu juga harus saling dibagi ojo dikekepi sendiri hihi ah kamu itu yang hebat tetaplah hebat walau ia hanya di kolong bumi jakarta tercinta ini saja ah kamu itu hehe)

(bersambung dunk hehe)

hudan hidayat
- penghancur dan pembangun bahasa
------------------------------------

Written about an hour ago · Comment · LikeUnlike
You, Faradina Izdhihary, Ernita Dietjeria Kokoleoko, Evo Mohamed and 3 others like this.
Faradina Izdhihary, Ernita Dietjeria Kokoleoko, Evo Mohamed and 3 others like this.
Hudan HidayatHudan
Faradina IzdhiharyFaradina
Ernita Dietjeria KokoleokoErnita
Evo MohamedEvo
Ping HomericPing
Maghie OktaviaMaghie
Teddy DelanoTeddy

Maghie Oktavia at 2:49am June 16

hohoho...dibaca jam segini berasa romantis..is...is...is....
*malam bang...eh pagi...ehm....msh dini hr deh kynya hihihi

Ernita Dietjeria Kokoleoko at 3:28am June 16

Uuuh manisnya. Bikin ingin nulis lebih baik lagi

Teddy Delano at 3:33am June 16

Fokus utama Derrida adalah bahasa tulisan atau teks, Ia menginginkan setiap manusia dalam membaca teks tidak dengan serta merta terlalu cepat menyimpulkan atau menyingkap arti dalam setiap teks yang dibacanya. Derrida percaya bahwa sebuah teks senantiasa berkorelasi dan mempunyai konteks sehingga selalu mengandung kemungkinan arti-arti yang lain. Bagi Derrida tidak ada bahasa yang dibatasi oleh dasar trasenden dan baginya mencari dasar transenden bagi bahasa adalah sesuatu yang sia-sia. Di tangan Derrida, laku filsafat sebagai perburuan mencari kebenaran bergeser menjadi ikhtiar
penafsiran terhadap teks. Makna (kebenaran) kini tak terpasung dalam "kuasa tunggal" pengarang.

Salam

__._,_.___
blog: http://artculture-indonesia.blogspot.com

-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
Recent Activity
Visit Your Group
Ads on Yahoo!

Learn more now.

Reach customers

searching for you.

Yahoo! Groups

Small Business Group

Own a business?

Connect with others.

Yahoo! Groups

Auto Enthusiast Zone

Passionate about cars?

Check out the Auto Enthusiast Zone.

.

__,_._,___

No comments:

Post a Comment