Wednesday, June 10, 2009

[ac-i] nada yang hidup kembali - kenangan akan iwan simatupang



nada yang hidup kembali - kenangan akan iwan simatupang
Share
Mon at 5:06am | Edit Note | Delete

seorang kawan yang telah meninggal, menulis tentang nada bertingkah mati. saya mengambil tulisannya dari buku kebebasan pengarang dan masalah tanah air, yang dieditori oleh oyon sofyan dan frans m. farera, di halaman 65.

bahwa nada bertingkah mati itu, adalah suatu paradoks: nada, bunyi bunyi, irama tentang indahnya hidup dan tarikan maut: mati itu sendiri.

dari sajak sajak poe, melandai gema sebuah lirik dari sebalik bukit bukit kematian, katanya mengutip seorang penulis - andrew lang.

dan apa kata poe - penyair besar pemabuk dan terbelit utang utang dalam hidupnya itu?

"hidupku adalah suatu denyut, rangsang, suatu idaman akan keheningan, suatu cemooh akan semua kekinian dan suatu hasrat yang keras akan ke akanan."

dan kawan saya yang mengutip poe itu, yang kini telah meninggal, dalam praktek hidupnya dan dalam semua kerja sastranya, adalah gemuruh dari nada yang bertingkah mati dan nada bertingkah hidup kembalii - ia cemooh harta dunia dalam merahnya merah. ia cemooh rasa bahagia dalam novelnya ziarah. ia pergi ke kubur istrinya meletakkan bunga bunga, dan setelah itu, ia pun menjadi pemabuk yang memanggil tuhannya keras keras, untuk menangis keras keras, dan menatapi matahari untuk sekedar apakah ia akan membanting langkah kakinya ke kanan, atau ke kiri.

poe sendiri seolah terancam dalam hidupnya, dan menuliskan ancaman itu dalam sebuah cerpen yang karena apungan tanda tanyanya, karena sugestinya, karena tertafsirkannya semua tarikan mati dan tarikan hidup di sana, saya lebih nyaman memperlakukannya sebagai sebuah puisi. puisi akan di balik indahnya hidup ada kematian yang mengancam.

kematian yang datang dari ancang ancang yang unik itu, diletakkan poe dalam sebuah lambang tentang mata seorang lelaki. mata yang selalu, mengganggu kenyamanan hidupnya. puisi terletak di sudut aneh seperti itu, adalah saat ia seolah alam yang riang menawarkan aneka kebahagiaan, tapi bersama itu pula, mata yang awas seakan melihat sebalik cahaya gelap dari awan kematian. selalu, di setiap saat hidup, kematian itu hadir dan melambai kepada kita.

poe yang peka menangkap lambaian kemataian itu, melekatnya ke dalam dunia cerita, dengan memasangnya sebagai mata yang selalu mengganggu hidupnya.

saat saya mengetikkan esai ini, ayah saya sedang melantunkan ayat ayat kitab suci. itu adalah kebiasaan dalam hidupnya yang tua. ia tak masuk ke dalam nada yang bertingkah mati, tapi ia peluk nada yang bertingkah hidup kembali: suatu perasaan bahwa beginilah hidup, bahwa hidup memang menunggu mati, dan di antara kematian, ia merayakan kehidupan dengan iman. iman yang datang dari moral normatif.

tak ada salahnya. sebab itu varian dari paradoksnya tarikan hidup dan tarikan maut. itu adalah watak dari kebanyakan kita. sebaliknya watak poe, watak kawan saya itu, adalah sebuah celah aneh yang tak biasa. celah di mana seseorang seolah ditakdirkan tuhan untuk mengambil posisi mengendap. posisi menunggu, mengintai, akan rangsang hidup dan rangsang maut.

tuhan memberikan kekayaan dirinya ke dalam watak tiap orang. ke dalam watak tiap kecenderungan zaman. nyanyian riang dan nyanyian muram, bergema dari abad abad yang lalu. sampai juga ke abad kita kini. dan kelak akan bergema menjadi sesuatu yang niscaya di abad abad setelah kita mati.

paradoks itu adalah suatu takdir abadi.

tuhan abadi dengan kematiannya.
sebagaimana tuhan abadi dengan kehidupannya.

tak soal kita siap untuk hidup, atau tak siap untuk hidup, kematian dan kehidupan telah menjadi tubuh dan jiwa kita sendiri.

terbaca dalam zarathustra, lagu tarian kedua.

"akhir akhir ini aku pandang matamu, O kehidupan: aku lihat emas berkelipan dalam mata malammu - jantungku berhenti berdetak karena kegirangan:

aku melihat sebuah sampan keemasan berkelipan di atas air hitam, sebuah sampan keemasan yang terayun ayun tenggelam, maju, timbul lagi!

pada kakiku, kakiku yang tergila gila tari, engkau melemparkan lirikanmu, sebuah lirikan yang terayun ayun, tertawa tawa, bertanya tanya, membuat lemas kakiku:

hanya dua kali engkau mengangkat castanet di tangan tanganmu yang mungil - serentak kaki kakiku sudah berloncatan dalam tarian yang menggila.

tungkai tungkai terangkat sendiri. jari jari kakiku menanti nanti apa yang akan engkau katakan: karena penari memasang telinganya - di jari jari kakinya!

apakah nietzsche yang berlari memeluk kudanya dan gila itu masih teringat kata katanya sendiri? apakah "O kehidupan" yang telah ditarikan dan dinyanyikan dalam hidupnya masih terngiang di telinganya saat ia telah sepenuhnya buta dan hilang kesadarannya?

kita tidak tahu. kita hanya tahu bahwa lelaki hebat ini telah menerapkan kata kata poe itu - "hidupku adalah suatu denyut, rangsang, suatu idaman akan keheningan, suatu cemooh akan semua kekinian dan suatu hasrat yang keras akan ke akanan."

denyut dan rangsang yang telah dimainkannya sedemikian rupa dalam hidupnya. tapi lihatlah satu sisi dari poe, yakni "hasrat yang keras akan ke akanan", telah diputarnya sepenuhnya menjadi "cemooh akan semua kekinian". kekinian dari apa apa yang melilit dan merantai setiap mata kaki dan mata jiwanya. ia hendak putuskan semua itu. ia hendak terbang sendiri sebagaimana larik dari chairil: aku ini binatang jalang yang terbuang.

terbuang dari peradaban dari suatu kebudayaan yang dibentukkan oleh eropa yang tentram dengan gereja-nya. oleh suatu pemikiran yang tentram dalam dirinya sendiri.

kini sang rajawali hendak terbang, hendak ke laut dengan membakar semua tali temali dan layar kapal kapalnya. seolah hendak berkata: biarlah tubuhku menjadi kapal mungil dan biarlah gelombang alam kehidupan mengayun ngayunkan kapal mungil tubuhku. sebab aku hendak mereguk pengalaman hidup ini sampai kering. sebab hanya hidup inilah yang nyata bagiku.

ke akan an? benarkah ada keakanan itu? suatu surga yang diceritakan oleh kitab kitab suci akan hidup yang abadi, bagi nietsche seolah sebuah lamunan dari suatu mimpi. lamunan dan mimpi yang hendak ia tolak. hendak ia berantakkan karena ia hanya ingin hidup di bumi ini. hidup dan tak lari dari buminya sendiri. bumi yang bernama derita dan bahagia. bahagia dan derita. derita dan bahagia yang akhirnya membawa kematian bagi dirinya.

dalam suatu arti itu baik. tapi dalam arti yang lain itu sebuah absurditas yang tak alang kepalang: apakah dengan memeluk bumi ini saat ini, seolah adalah segalanya? nietsche jelas datang dari tradisi gereja. atau katakanlah ia datang dari tradisi masjid, orang seperti nietsche tetap akan terlempar dalam kehampaan akan suatu ke akan an yang banyak dikisahkan dalam kitab kitab.

tapi kehendaknya untuk mendayakan segenap kemampuannya untuk memeluk hidup, itu adalah suatu upaya luar biasa dari seorang yang ditakdirkan dalam suatu posisi mengendap, mengintai dalam suatu ruang sempit dari hati kirinya yang paling jauh. lagi pula semua itu, adalah bagian dari misteri tuhan, misteri yang ia serakkan ke dalam segenap wajah wajah dan watak dunia dan siisinya.

tak hendak kita memakaian kata kata bersalah atau dosa, di sini, di hidup yang merentang rentangkan sebuah paradoks baik dan buruk tak berkesudahan. kita hanya menghayati dalam suatu perayaan dari suatu sudut sempit yang lain. sudut yang menjadi bagian dari posisi mengendap dan mengintai itu sendiri.

baik dan buruk, benar dan salah, dosa dan pahala, baiklah kita telunjukkan saja kepada sang pencipta paradoks abadi itu sendiri - tuhan yang jauh di sana. yang mungkin senyum dan mungkin tertawa melihat segala salto dari kehidupan yang dibuat oleh manusianya.

manusia tak hendak menyarah kepada tuhan.
tapi manusia pun menyerah kepada tuhan.
ikhlas dalam kitab kitabnya.
ikhlas dalam bimbingan telunjuk tangan dunianya.

adalah doa dari nabi yunus yang saya ambil dari kitab injil, sebuah doa dari ia yang sedang mengalami momen momen sakratul maut, bukan momen sakratul maut yang berjalan seolah film yang diputar panjang dalam hidup semisal orang seperti nietsche. tapi momen sakratul maut dalam satu hitungan detik di mana nyawa dan kematian bisa merenggutkan seseorang di detik itu juga.

dalam alkitab halaman 997 (2207), terbentanglah doa orang dalam sakratul maut itu.

"berdoalah yunus kepada tuhan allahnya, dari dalam perut ikan itu, 2 katanya:

dalam kesusahan aku berseru
kepada tuhan,
dan ia menjawab aku,
dari tengah tengah dunia orang
mati aku berteriak,
dan kau dengarkan suaraku

3 telah kau lemparkan aku ke tempat
yang dalam,
ke pusat lautan,
lalu aku terangkum oleh arus air;
segala gelora dan gelombangmu
melingkupi aku.

4 dan aku berkata: telah terusir aku
dari hadapan mata-Mu
mungkinkah aku memandang
lagi baitmu yang kudus?

5 segala iar telah mengepung aku,
mengancam nyawaku;
samudera raya merangkum aku,
lumut lautan membelit kepalaku

6 di dasar gunung gunung
aku tenggelam ke dasar bumi;
pintunya terpalang di belakangku
untuk selama lamanya.
ketika itulah engkau naikkan
nyawaku dari dalam liang kubur,
ya tuhan allahku.

7 ketika jiwaku letih lesu di dalam aku,
teringatlah aku kepada tuhan,
dan sampailah doaku kepadamu
ke dalam baitmu yang kudus.

8 mereka yang berpegang teguh pada
berhala kesia siaan,
merekalah yang meninggalkan dia,
yang mengasihi mereka dengan
setia.

9 tetapi aku, dengan ucapan syukur
akan kupersembahkan korban
kepadamu;
apa yang kunazarkan akan kubayar
keselamatan adalah dari tuhan!"

10 lalu berfirmanlah tuhan kepada ikan
itu, dan ikan itu pun memuntahkan
yunus ke darat

saya tahu itu kitab suci. saya tahu itu firman yang turun ke nabi nabi. dalam kitab quran pun cerita yunus adalah cerita orang yang sakratul maut, dan yang sama indahnya dengan kitab injil ini - ekspresi orang yang sakratul maut itu. yunus berkata dalam kutipan yang saya bahasakan sendiri:

"ya tuhanku, sesungguhnya aku telah menzalimi diriku sendiri. sedang engkau adalah maha penyayang dari segala yang penyayang."

dua ekspose akan pengalaman sakratul maut itu, bagi saya sama indahnya dari sudut bahasa. keindahan dari muram lain yang riang. muram dan riang karena kita tahu bahwa sang aku di sana sedang dan tengah bergantung dengan tuhannya. aku memang ditempatkan seolah di atas udara, dengan tali genting yang hendak putus. tubuh berayun ayun di udara, dan hanya sedikit dorongan angin tali putus dan tubuhpun meluncur ke bawah. batu batu tajam dan besar akan menerima tubuh yang terayun itu.

tapi tuhan datang dengan penyelamatan.
tapi tuhan tak datang kepada orang seperti nietsche dengan penyelamatan.

nabi dan manusia sama sama pengemban wahyu tuhan. tapi wahyu tuhan turun kepada nabi sebagai jalan penyelamatan, sebagai suatu medium untuk menguakkan misteri misteri semesta dalam sisi kanan jauhnya. sedang manusia hanya menguakkan wahyu tuhan dalam sisi sisi muramnya. muram yang kelam dari sebuah jalan yang ditempuh oleh semisal nietsche, poe atau iwan simatupang. yang bergerak ke sisi sisi kiri jauhnya dari hatinya sendiri.

tapi lihatlah sisi riang dan sisi muram itu dalam penampilan bahasa. bahasa tuhan dan bahasa manusia. bahasa tuhan yang turun ke dalam hati sebagai wahyu yang terpendam mendadak di hati. bahasa manusia yang turun ke dalam dirinya sendiri sebagai akibat dari suatu pergulatan hidup. hidup yang berdarah dan penuh luka. hidup yang bersunyi sepi sampai ke puncaknya. sunyi terjauh dari hidup seorang nietsche yang berakhir gila dengan memeluk seekor kuda.

kuda kehidupan kini seolah membalik dan membanting tubuh sang manusia pereguk hidup. membantingnya dan menginjaknya dengan kaki kuda hidup itu sendiri. menyeret dan melemparkan sang penunggang kuda kehidupan ke dalam jurang tak bertepi. ke dalam jurang tak berkeselamatan lagi.

kebahagiaan pada bahasa adalah ketika bahasa itu seolah menuntun kita untuk menguakkan pendaman pendaman dalam tubuh kita sendiri. memancing tiap jenis perasaan dalam diri untuk bangkit dalam kenangan akan diri sendiri, atau dalam pertalian imajinasi kepada orang lain. seperti yang diserakkan oleh wahyu tuhan dalam ucapan yunus.

kalau kita menempatkan cerita yunus dalam alkitab itu sebagai suatu wahyu, maka kita akan menerima kenyataan bahwa tuhan pun maha pandai dalam berbahasa. indah dalam bahasa. dalam bahasa yang entah bagaimana caranya, bahasa itu masuk ke dalam tubuh dan jiwa yunus yang berada di dalam lautan di perut ikan, menjadi ucapan dan pegangan yunus agar selamat dari situasi yang tengah dihadapinya.

rangkaian kata kata itu - doa yunus itu - masuk sebagai bukan dari ia yang tengah dan sedang mempraktekkan pelajaran sastra, apalagi tulisan sastra, tapi ia yang sedang berjuang dengan hidupnya agar tak mati. tapi mengapa doa itu, begitu kita letakkan dalam suatu perspektif bahasa, adalah kesusastraan yang demikian tinggi mutunya?

yunus jelas bukan sastrawan, tapi doa yang dilantunkannya dari dalam perut ikan adalah sebuah paragraf sastra yang bukan main kuatnya, dalam memperdengarkan nada dan irama kehidupan. bahasa dengan nada dan irama seperti itu, kalau kita perhatikan baik baik, adalah bahasa dengan nada dan irama dari mereka yang sedang dan tengah memeluk sisi muram dalam kehidupan. bahasa dari doa yunus itu, tak lagi bisa kita bedakan dari bahasa semisal nietsche yang telah menggubah buku besar, dari seorang yang mengendap dalam sisi muram hidup manusia - zarathustra.

hudan hidayat

Written on Sunday · Comment · LikeUnlike
You, Eri Irawan, Kurniawan Yunianto, Cavita Jamie and 11 others like this.
Eri Irawan, Kurniawan Yunianto, Cavita Jamie and 11 others like this.
Hudan HidayatHudan
Eri IrawanEri
Kurniawan YuniantoKurniawan
Cavita JamieCavita
Zuraidah Abdul AzizZuraidah
Samsudin AdlawiSamsudin
Cepi SabreCepi
M Aan MansyurM Aan
Jehan SyauqiJehan
Deasy 'Elang' NDeasy
Utami Diah KusumawatiUtami
See all...

Nani Mariani at 5:54am June 8

oooo.Pres Hud Hud, penjelasan mu sekali ini agak ber " seram " , krn ber bau menantikan ke " mati ' an, apakah kalo sdh menjadi tua hrs mengisi waktu hanya dgn membaca Kitab Suci? Menanti mati?. Mungkin bagiku ke"mati"an itu sama dengan menanti " jodoh". klo sdh tiba waktunya, tak ada yg bisa menolak. thank you very much anyway, bagus saling mengingatkan perjalanan di dunia. aku suka..Pres Hud Hud..

Deasy 'Elang' N at 6:53am June 8

Suguhan yang mantab tuk pagiku!

Sandy Riku at 7:14am June 8

wah anda rajin sekali Pak, pagi-pagi sudah memberi pencerahan buat masyarakat maya yang tak kenal luna maya, ya?
essay ini menarik, saya baca dulu Pak Hudan.

Helga Worotitjan at 8:27am June 8

I wish I could know Iwan Simatupang more from his owesome writing.....

Segaris katakata pernah aku tulis setelah siuman dr koma 4 hari di sebuah rs di bontang-kaltim :

kau tuhan, sungguh tak bersandar pada rinduku... Read More
bermalam-malam kutunggui hangat tubuhmu di peraduan sunyiku
bermimpi merasai bungkusan kulit cintamu yang selama ini hanya dapat kusurati lewat doadoa senyap yang makin lenyap

Mas Hudan, sungguh, ke'akan'an adalah kerinduan yg kadang memilukan, menakutkan namun jg sebuah kecanduan! I do thank You for this great essay :)

Helga Worotitjan at 8:31am June 8

I wish I could know Iwan Simatupang more from his owesome writing.....
Segaris katakata pernah aku tulis setelah siuman dr koma 4 hari di sebuah rs di bontang-kaltim :

kau tuhan, sungguh tak bersandar pada rinduku... Read More
bermalam-malam kutunggui hangat tubuhmu di peraduan sunyiku
bermimpi merasai bungkusan kulit cintamu yang selama ini hanya dapat kusurati lewat doadoa senyap yang makin lenyap

Mas Hudan, sungguh, ke'akan'an adalah kerinduan yg kadang memilukan, menakutkan namun jg sebuah kecanduan! I do thank You for this great essay :)

Cepi Sabre at 9:45am June 8

iwan simatupang : mantab.

Priatna Ahmad Budiman at 9:51am June 8

Seperti pepatah para filsuf, "kami berfilsafat ketika rumah kami roboh". Mungkin begitulah banyak puisi, prosa indah lahir dari hati yang "desperate', sedih, pilu, teraniaya. Apalagi dekat kematian kayak mbak helga.

Dunia yang gelap, murung dan sendu. Dunia scophenhauer, nietzche, iwan simatupang, mungkin juga dunia sudi ono :-P. Dunia yang ... Read Morebermakna meskipun dekat mati ala victor frankl-(kamp auschwitz).atau malah penuh dinamika hidup ala pram (pulau buru) dan agresifitas seperti papillon (penjara devil-island)

Dari situ filsafat dan makna dengan ibu bahasa, berbapak hati lahir

Samsudin Adlawi at 12:13pm June 8

sumber puitika yang mahaindah adalah kitab suci yang berisi firman Tuhan. Dan, manusia tak kan sanggup menyandinginya. meski menggunakan 7 gunung sebagai pena dan 7 samudra sebagai tintanya tak cukup untuk menuliskan satu huruf dari puisi Tuhan. apalagi selarik puisi...

Kurniawan Yunianto at 9:25pm June 8

akan kubaca lagi .. terimakasih bung hudan

Magdalena Elisabeth Pusung at 10:58pm June 8

Pppuuuaaaannnjjjaaannggg bgt....
'kematian', akhir dari kehidupan lama dan awal dari kehidupan baru...so, enjoy it..hehehehe
Write a comment...

__._,_.___
blog: http://artculture-indonesia.blogspot.com

-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
Recent Activity
Visit Your Group
Give Back

Yahoo! for Good

Get inspired

by a good cause.

Y! Toolbar

Get it Free!

easy 1-click access

to your groups.

Yahoo! Groups

Start a group

in 3 easy steps.

Connect with others.

.

__,_._,___

No comments:

Post a Comment