Deasy Nathalia
Catatan Terakhir Sang Elang
Namaku Elang, namun aku bukan seekor burung yang pandai berkicau. Aku tak bisa terbang, walau rasanya aku begitu ingin melayang-layang di angkasa luas. Paruh tajam bagai senjata, tertebas kawanan lain yang membawa angkara menyala-nyala. Dan sekejap, aku merasa tetap bagai elang, walau aku kian tak pandai terbang.
Kususuri gelombang tak bertepi tuk cari kawan, dan tetap, aku berjalan bukan terbang. Lalu kutemui sekawanan ikan. Mereka melompat, memetik cahaya mentari yang begitu memikat, lalu terjun kembali dengan bebas ke lautan luas. Luarbiasa indah lompatannya, layaknya sedang melayang-layang bagaikan elang. Bagai aku sang elang. Tapi, mengapa aku elang yang tak pandai terbang? Apa karena sayapku tlah patah sebelah? Lalu, masikah patut disayang?
Satu ikan merengkuhku, ditariknya sayap lumpuhku. Lalu tenggelamlah kami dalam hitungan detik yang separuh. Aku, elang lumpuh tak bersayap itu, telah tenggelam dan mati terseret ikan bukan kawananku. Tapi entahlah, mengapa rasanya ragaku mati, namun jiwaku malah sedang bernyanyi-nyanyi? Apakah ini surgaku? Ataukah ini neraka tersembunyiku? Apakah ini rumah atau penjara untukku?
Sebenarnya siapakah aku? Ikan ataukah elang? Adakah danau jujur tempatku berkaca? Katakan! Bukankah aku bersayap? Lalu mengapa akupun bersisik? Lihatlah saja, ragaku telah hanyut entah kemana, namun jiwaku sedang berenang suka cita.
Kini, berkawan aku bersama penduduk lautan yang bersahabat disana, bercintaku dengan tubuh yang tak pernah kusentuh sebelumnya. Bagaimana mungkin elang dengan ikan? Sedangkan dulu, ia biasanya selalu menjadi santapan yang paling lezat untukku, lalu mengapa kini aku jatuh cinta padanya?
Tak sadarkah ia? Entah sudah berapa banyak keluarganya yang kusantap dan kucabik-cabik dengan paruh tajamku ini? Entah sudah berapa banyak kawanannya bahkan salah satu kekasihnya yang kusantap mentah-mentah dan kutelan tuk simpananku selama ini? Mengapa? Mengapa kini ia mau mencintaiku walau aku bukan elang dan bukan ikan? Mengapa kini justru ia yang begitu kucintai hingga kurela mati demi bersamanya? Demi menjadi sosok bukan ikan dan bukan elang, dan tanpa raga yang terkembang.
Ketika elang bukan lagi ikan. Dan mengapa aku bernyanyi-nyanyi riang?
Kini, hanya Tuhan yang tahu siapa aku sebenarnya. Walau tak lagi elang dan tak kan pernah jadi ikan. Aku tetaplah aku, salah satu tanda kuasa-Nya yang selalu indah walau tak terlihat olehmu.
Namaku elang, dan aku tetap tak bisa terbang.
Selamanya.
-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
No comments:
Post a Comment