Novel-novel berdasarkan sejarah kembali marak. Selain buku karya Aan Merdeka Permana dan Langit Kresna Hariadi yang sudah populer, sudah terbit pula Ken Arok Ken Dedes (Ircisod, 2008) karya Wawan Susetya dan Pendekar Sendang Drajat (Pustaka Alvabet, 2009) karya Viddy AD Daery yang kental dengan silat.
Pendekar Sendang Drajat Pernahkan nama Tenggulun (Trenggulun) dibincangkan orang sebegitu heboh, bahkan di tingkat intenasional, sebelum tragedi bom Bali 2002? Tidak, tentu saja. Tenggulun sampai kini pun masih tetap sebuah desa yang cukup terpencil dari jalur ekonomi utama Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Desa itu kini bagian dari Kecamatan Solokuro, pemekaran dari Kecamatan Paciran.
Di suatu masa menjelang punahnya kejayaan Mahapahit pada abad ke-16, terbetik kabar sekelompok pesilat muda meluruk wilayah Pringgoboyo. Dengan garang, mereka membantai habis rombongan pendatang dari Eropa saat menyusuri anak sungai Bengawan Solo dengan perahu Portugis. Para pesilat itu adalah abdi wilayah perdikan Trenggulun, yang kala itu dikenal sebagai salah satu kantong perlawanan garis keras terhadap sisa-sisa kekuasaan Majapahit.
Kisah itu memang tak ada dalam buku-buku pelajaran sejarah. Kisah itu hanyalah sebuah fragmen dalam novel berjudul Pendekar Sendang Drajat, Pesisir Utara Majapahit di Abad ke-16 (Pustaka Alvabet, Juni 2009) karya Viddy AD Daery.
Pendekar bernama asli Raden Ahmad itu adalah cucu Sunan Drajat dan Sunan Sendang Duwur. Dia anak seorang kyai pengasuh pesantren terkenal, tapi namanya lebih terkenal di rimba persilatan sebagai penumpas kejahatan, walau dalam pengembaraannya dia juga rajin berdakwah.
Dalam kata pengantarnya, sang penulis, Viddy AD Daery, berterus terang bahwa mula-mula novel ini ditulisnya dengan lebih banyak mengandalkan cerita turun-temurun leluhur, ditambah sedikit data sejarah. Selebihnya adalah imajinasi "bonek" alias bondo nekat (modal nekat).
Namun, belakangan dia memeroleh data-data sejarah yang ternyata tidak bertabrakan dengan hasil imajinasinya, dan akhirnya memperkaya novelnya. Jadi, jelas bahwa Viddy memaklumkan novel silat ini sebagai novel sejarah.
Anda boleh setuju, boleh tidak. Tapi, bagi penyuka novel silat, yang telah cukup lama sepi dari karya baru, novel ini adalah pelepas dahaga yang layak direguk. Drama konflik khas dunia persilatan yang diwarnai dendam, persaingan dan adu ilmu kanuragan itu juga dibumbui kisah asmara. Viddy berhasil mengalirkan semua itu dengan penuturan yang sangat membuai.
Pun, bagi Anda yang melirik novel ini karena genre sejarahnya, maka Anda akan terenyak menatap sebuah potret geopolitik Pamotan-Tuban (kini Lamongan) di pengujung masa Majapahit. Banyak desa kecil di Lamongan, yang kini hanya bisa masuk koran atau televisi bila luapan Bengawan Solo menyapunya, dulunya adalah pusat-pusat ekonomi yang telah berinteraksi intensif dengan mancanegara. Bahkan, anak sungai Bengawan Solo pun disinggahi perahu-perahu saudagar dari jazirah Arab, Persia, Gujarat (India), Cina dan Portugis.
Lamongan di masa itu menjadi benteng utara Majapahit dalam menghadapi musuh dari arah Laut Jawa. Lamongan ( terutama Sendang Duwur ) juga menjadi andalan Majapahit dalam hal produksi senjata (keris), perhiasan dan aneka kerajinan lain yang berkualitas tinggi. Tapi, di Lamongan pula berkembang gerakan politik untuk melawan penindasan terhadap rakyat oleh penguasa lokal, yang kian menjadi-jadi seiring kian lemahnya pemerintahan pusat Majapahit.
Novel Viddy memang bukan buku pelajaran sejarah. Tapi, seperti kata Langit Kresna Hariadi, penulis pentalogi Gajah Mada, "Novel ini menempatkan kita lebih mudah belajar sejarah tanpa berniat belajar sejarah." Yanto Musthofa |
No comments:
Post a Comment