[Attachment(s) from kapri yojo included below]
UNDANGAN
Kami undang Anda pada
Pembukaan Pameran Tunggal Ugy Sugiarto
BODYSCAPE
Mon Decor Art Space
City Plaza UG 08, Wisma Mulia
Jl. Gatot Soebroto No. 42, Jakarta 12710
Sabtu, 13 Juni 2009
Pukul 13.00 WIB (jam 1 siang)
Dibuka oleh Bapak Syakieb A. Sungkar
Penghadiran karya-karya perupa Ugy Sugiarto dalam pameran tunggalnya yang pertama ini membawa dua hal penting yang layak untuk dipercakapkan. Pertama, Ugy muncul dengan cukup istimewa sebagai semacam "anomali" dalam pelataran seni rupa Indonesia kini karena dia "hanya" berangkat dari seniman yang belajar secara otodidak dan berasal dari kota kecil Wonosobo, Jawa Tengah. Realitas ini tentu berseberangan dengan kecenderungan menyeruaknya mayoritas para perupa Indonesia—terutama di level menengah dan atas—yang berangkat dari ranah akademis dan berproses di kawasan-kawasan (yang masih dianggap paling) penting dalam seni rupa, yakni Yogyakarta, Bandung, dan Bali. Perupa ini berjarak dari kecenderungan tersebut: Ugy "hanya" lulusan Sekolah Menengah Umum, bukan dari Sekolah Menengah Seni Rupa atau apalagi pernah menenggak pendidikan di Fakultas Seni Rupa, dan "sekadar" berproses kreatif di kawasan yang tak tertilik bahkan mungkin "ahistoris" dalam percaturan seni rupa di Indonesia.
Kedua, Ugy membawa banyak pesan dalam "tubuhnya". Publik bisa menyimak bahwa—lewat karya-karyanya—Ugy tengah memperlihatkan "taji" kreativitasnya dengan menampilkan kepiawaian melukis secara hiper-realistik. Ini sebuah kecenderungan kreatif yang klasik namun tidak banyak digeluti oleh banyak perupa di Indonesia, bahkan dari mereka yang berangkat dari dunia akademis. Kecenderungan kreatif semacam ini membutuhkan ketrampilan teknis berikut akurasi dan ketelitian yang cukup langka digeluti oleh para seniman pada kurun waktu mutakhir. Dan lebih dari itu, dalam karya-karyanya banyak bermukim "politik tubuh" yang disodorkannya tidak sekadar tubuh dalam kerangka perbincangan personalitas Ugy, namun lebih jauh dari itu, tubuh sebagian representasi perbincangan ihwal isu sosial kemasyarakatan.
Ugy, dengan kapasitas kreatifnya yang telah memadai, tak luput dari keterpengaruhan budaya di luar dirinya beserta pola tafsirnya untuk mengonstruksi tubuh-tubuh dalam lukisannya menjadi tidak otonom. Kalau menyimak karya-karya Ugy, tubuh-tubuh dan potret diri yang dikemukakannya begitu berkait erat—dan berlangsung secara hilir-mudik—antara problem yang personal dan yang sosial. Tubuh yang bermukim dalam kanvas ditempatkan tidak hanya sebagai perangkat tanda visual atas realitas dirinya sendiri, melainkan (bisa sekaligus) berposisi sebagai cermin(an) atas realitas yang lain. Dan bisa jadi, tubuh dikonstruksi secara arbitrer ("sewenang-wenang") untuk menyoal problem dan kepentingan di luar realitas tentang tubuh. Di sini publik bisa berasumsi bahwa tubuh dalam "realitas kanvas" adalah tubuh tempat bersarangnya segala kemungkinan praktik kuasa, baik kuasa bahasa, politik, sosial, ekonomi, atau budaya secara umum. Semuanya berebut untuk menubuh dalam tubuh, mengambil peran dalam pola representasi ats tubuh tersebut.
Hal penting yang bisa menggarisbawahi nyaris semua karya Ugy ini adalah bahwa sesungguhnya dalam representasi tubuh tak hadir sekadar sebagai dirinya sendiri namun muncul sebagai tanda. Maka makna gambaran tubuh yang nampak sebagai dirinya itu adalah juga soal ingatan tentangnya, termasuk berbagai makna metaforik yang mengiringinya. Dalam penggambaran tubuh, seorang seniman tak sepenuhnya bisa mengontrolnya, selain mencari dan menetapkan batas-batasnya lewat penggunaan konteks tertentu, menentukan pembatasan ujud nampaknya, serta cara penampakannya secara estetik (yang sering disebut sebagai style).
Tema Bodyscape tidak berangkat dalam tinjauan yang ketat secara teoritik seperti konsep ethnoscape-nya Arjun Appadurai. Namun lebih sebagai upaya peminjaman istilah yang kemudian dialih-ubah untuk mendekatkan pemahaman yang melekat atas "pemandangan tubuh". Dalam pameran ini, tubuh-tubuh yang ditawarkan oleh Ugy tidak sekadar tubuh yang otonom, yang bebas nilai, namun telah disentuh oleh banyak problematika di seputar dan di luar problem ketubuhan itu sendiri. Ini merupakan bentuk lanskap tersendiri yang bisa dibaca lebih jauh dan komprehensif dengan melampaui pembacaan atas problem tubuh an sich. Tubuh, bagi Ugy, bisa menjadi penampang atas pemandangan dirinya di masa lampau ataupun masa tertentu dengan beragam konteks-konteks sosial kemasyarakatan yang melingkupinya.
Kami undang Anda pada
Pembukaan Pameran Tunggal Ugy Sugiarto
BODYSCAPE
Mon Decor Art Space
City Plaza UG 08, Wisma Mulia
Jl. Gatot Soebroto No. 42, Jakarta 12710
Sabtu, 13 Juni 2009
Pukul 13.00 WIB (jam 1 siang)
Dibuka oleh Bapak Syakieb A. Sungkar
Penghadiran karya-karya perupa Ugy Sugiarto dalam pameran tunggalnya yang pertama ini membawa dua hal penting yang layak untuk dipercakapkan. Pertama, Ugy muncul dengan cukup istimewa sebagai semacam "anomali" dalam pelataran seni rupa Indonesia kini karena dia "hanya" berangkat dari seniman yang belajar secara otodidak dan berasal dari kota kecil Wonosobo, Jawa Tengah. Realitas ini tentu berseberangan dengan kecenderungan menyeruaknya mayoritas para perupa Indonesia—terutama di level menengah dan atas—yang berangkat dari ranah akademis dan berproses di kawasan-kawasan (yang masih dianggap paling) penting dalam seni rupa, yakni Yogyakarta, Bandung, dan Bali. Perupa ini berjarak dari kecenderungan tersebut: Ugy "hanya" lulusan Sekolah Menengah Umum, bukan dari Sekolah Menengah Seni Rupa atau apalagi pernah menenggak pendidikan di Fakultas Seni Rupa, dan "sekadar" berproses kreatif di kawasan yang tak tertilik bahkan mungkin "ahistoris" dalam percaturan seni rupa di Indonesia.
Kedua, Ugy membawa banyak pesan dalam "tubuhnya". Publik bisa menyimak bahwa—lewat karya-karyanya—Ugy tengah memperlihatkan "taji" kreativitasnya dengan menampilkan kepiawaian melukis secara hiper-realistik. Ini sebuah kecenderungan kreatif yang klasik namun tidak banyak digeluti oleh banyak perupa di Indonesia, bahkan dari mereka yang berangkat dari dunia akademis. Kecenderungan kreatif semacam ini membutuhkan ketrampilan teknis berikut akurasi dan ketelitian yang cukup langka digeluti oleh para seniman pada kurun waktu mutakhir. Dan lebih dari itu, dalam karya-karyanya banyak bermukim "politik tubuh" yang disodorkannya tidak sekadar tubuh dalam kerangka perbincangan personalitas Ugy, namun lebih jauh dari itu, tubuh sebagian representasi perbincangan ihwal isu sosial kemasyarakatan.
Ugy, dengan kapasitas kreatifnya yang telah memadai, tak luput dari keterpengaruhan budaya di luar dirinya beserta pola tafsirnya untuk mengonstruksi tubuh-tubuh dalam lukisannya menjadi tidak otonom. Kalau menyimak karya-karya Ugy, tubuh-tubuh dan potret diri yang dikemukakannya begitu berkait erat—dan berlangsung secara hilir-mudik—antara problem yang personal dan yang sosial. Tubuh yang bermukim dalam kanvas ditempatkan tidak hanya sebagai perangkat tanda visual atas realitas dirinya sendiri, melainkan (bisa sekaligus) berposisi sebagai cermin(an) atas realitas yang lain. Dan bisa jadi, tubuh dikonstruksi secara arbitrer ("sewenang-wenang") untuk menyoal problem dan kepentingan di luar realitas tentang tubuh. Di sini publik bisa berasumsi bahwa tubuh dalam "realitas kanvas" adalah tubuh tempat bersarangnya segala kemungkinan praktik kuasa, baik kuasa bahasa, politik, sosial, ekonomi, atau budaya secara umum. Semuanya berebut untuk menubuh dalam tubuh, mengambil peran dalam pola representasi ats tubuh tersebut.
Hal penting yang bisa menggarisbawahi nyaris semua karya Ugy ini adalah bahwa sesungguhnya dalam representasi tubuh tak hadir sekadar sebagai dirinya sendiri namun muncul sebagai tanda. Maka makna gambaran tubuh yang nampak sebagai dirinya itu adalah juga soal ingatan tentangnya, termasuk berbagai makna metaforik yang mengiringinya. Dalam penggambaran tubuh, seorang seniman tak sepenuhnya bisa mengontrolnya, selain mencari dan menetapkan batas-batasnya lewat penggunaan konteks tertentu, menentukan pembatasan ujud nampaknya, serta cara penampakannya secara estetik (yang sering disebut sebagai style).
Tema Bodyscape tidak berangkat dalam tinjauan yang ketat secara teoritik seperti konsep ethnoscape-nya Arjun Appadurai. Namun lebih sebagai upaya peminjaman istilah yang kemudian dialih-ubah untuk mendekatkan pemahaman yang melekat atas "pemandangan tubuh". Dalam pameran ini, tubuh-tubuh yang ditawarkan oleh Ugy tidak sekadar tubuh yang otonom, yang bebas nilai, namun telah disentuh oleh banyak problematika di seputar dan di luar problem ketubuhan itu sendiri. Ini merupakan bentuk lanskap tersendiri yang bisa dibaca lebih jauh dan komprehensif dengan melampaui pembacaan atas problem tubuh an sich. Tubuh, bagi Ugy, bisa menjadi penampang atas pemandangan dirinya di masa lampau ataupun masa tertentu dengan beragam konteks-konteks sosial kemasyarakatan yang melingkupinya.
__._,_.___
Attachment(s) from kapri yojo
1 of 1 Photo(s)
blog: http://artculture-indonesia.blogspot.com
-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
MARKETPLACE
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
.
__,_._,___
No comments:
Post a Comment