Tuesday, June 9, 2009

[ac-i] Re: Kenapa Pram Menolak Wayang?



 
Pengarang atau sastrawan adalah juga manusia biasa. Dan sebagai manusia biasa seorang pengarang bisa tidak suka sate Padang atau tidak suka gudeg atau tidak suka nonton doger atau tidak suka pantun Melayu umpamanya. Untunglah Pram seorang pengarang dari etnis Jawa yang berani mengatakan tidak suka wayang. Kalau dia umpamanya dari suku lain, berani bilang tidak suka wayang...walla hu alam bissawab...mungkin kepengarangannya segra batal. Dan barangkali hanya seorang Pram-lah yang berani secara terbuka mengatakan sesuatu yang tidak positif atau kurang antusias tentang sesuatu yang Jawa atau budaya Jawa. Untuk pemikiran Indonesia saat ini, memang adalah logis. Bagaimanapun etnis Jawa tetap dianggap sebagai etnis yang memegang supremasi dalam segala bidang. Orang tidak bisa keluar dari realitas semacam itu. Tapi Pram memang lain. Dia sebagai salah satu dari etnis terbesar dan pemegang supremasi itu, tidak mau terbelenggu oleh kebesaran fiktif etnisnya sendiri. Dia ingin keluar dari budaya feodalisme Jawa dengan  segala risiko pengadilan dari etnisnya sendiri. Jelas bagi setiap orang, bagi Pram kata <Indonesia> bukan sekedar basi-basi, bukan kata demagogi apalagi sebuah kata yang sekedar untuk memenangkan Pemilu atau Pilpres.
 
Dan justru <Indonesia> dalam pengertian Pram, telah membawa karya -karya sastranya ke arena Internasional, go International dan hanya seorang Pram sendiri yang berhasil berada di arena tsb dengan segala respek dan kekaguman yang diberikan masyarakat sastra Internasional secara luas. Bacalah karya-karya Pram, apakah semua buku-bukunya diberati dengan kata-kata Jawa yang tidak dimengerti etnis-etnis lainnya. Pram tidak memaksa diri mengisi buku-bukuya dengan muatan berat sesuatu yang yang bersifat antropologis etnisnya sendiri yang bagi pembaca bangsa lain cumalah bumbu-bumbu pedas dan kelewat manis bagi usus pembaca Internasional. Tapi juga Pram menceritakan tentang bangsanya, etnisnya tanpa takut dituduh tidak patriotik, tidak Jawa dan tidak Indonesia. Dan pembaca Internasional bisa menghargai Pram, menikmati karya-karya Pram. Masyarakat sastra Internasional dapat menerima selera Indonesia pada karya-karya Pram tanpa Pram sendiri harus mengibarkan panji-panji :"Pengarang dari tetesan Mahabarata atau Ramayana" sebagai pewaris sastra dunia. Pembaca Internasional tidak bisa diajari, apalagi cuma diajari oleh orang Indonesia.
Dan  sebagai manusia, mengapa Pram tidak boleh menolak wayang. Apakah wayang itu sudah menjadi agama orang Jawa dan Pram sebagai orang Jawa harus masuk agama wayang itu yang bila tidak dia dianggap murtad.
Saya sendiri sebagai atau kebetulan dari suku Melayu, tapi saya tidak suka akan watak umum bangsa Melayu yang mudah ekstrim tapi juga mudah kompromis. Suka atau tidak suka adalah juga dalam perlindunga hak azasi manusia. Dalam masyarakat manusia moderen sekarang ini tidak ada keharusan atau kewaajiban harus suka atau harus tidak suka.
asahan.
 
 
 
 
 
 
----- Original Message ---
 
 
 
 
 
 
From: sunny
Sent: Tuesday, June 09, 2009 10:53 AM
Subject: [HKSIS] Re: [nasional-list] Kenapa Pram Menolak Wayang?

Mungkin saja Pramoedja itu tidak biasa dengan entertaiment, sebab 90% atau 99% entertaiment itu penuh omong kosong,  cerita fantasi, kelakar, cerita ngao-ngaco disusun rapih untuk menghibur penonton. 
 
Untung saja Pramoedja tidak berpaham Talibanisme, sebab kalau berpaham demikian sudah dikutuk  wayang sebagai  maksiat dalam tulisan-tulisannya. Bukankah begitu?
 
----- Original Message -----
From: Lusi
Sent: Monday, June 08, 2009 8:47 AM
Subject: Re: [nasional-list] Kenapa Pram Menolak Wayang?

Sayapun tertarik dengan makhalah yang dikemukakan ini. Untuk analisa dan melihat saling hubungan yang dipermasalahkan, apakah Bung Bismo bisa memperkenalkan tulisan Pram yang menjadi topik pembicaraan ini selengkapnya? Eh, siapa tahu kita bisa menyelenggarakan seminar layarkaca, semacam lanjutan seminar zaman PPI-se-Eropa dulu lagi.
Salam.
Lusi.-


Am 22:08 08.06.2009 schrieb BDG KUSUMO:


Kenapa Pramoedya Menolak Wayang?
[]  
istimewa
Pramudya Ananta Toer
/
Selasa, 9 Juni 2009 | 00:59 WIB

oleh Asep Sambodja

Ada pernyataan Pramoedya Ananta Toer yang membuat saya masygul. Dalam buku Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir (Depok: Komunitas Bambu, 2008), Pramoedya Ananta Toer mengatakan kepada Kees Snoek bahwa sejak berumur 17 tahun, dirinya sudah menolak wayang, karena wayang pada dasarnya hanya omong kosong belaka.

Kenapa Pramoedya menilai wayang hanya omong kosong belaka? Menurut Pram, masyarakat Jawa dibesarkan oleh kisah Mahabarata dan mendapatkan inspirasi darinya. Dan, klimaks Mahabarata adalah pembantaian yang dilakukan saudaranya sendiri. Jadi, Pram menyimpulkan, pendidikan budaya Jawa terdiri dari perang saudara. "Oleh karena itu, orang Indonesia tidak pernah akan menang melawan bangsa asing," katanya.

Pernyataan Pram yang singkat, padat, dan menyesakkan bagi pencinta wayang ini tidak lepas dari interpretasi seorang Pramoedya terhadap Mahabarata dan wayang itu sendiri. Tentu saja dalam menginterpretasikan hal itu pengalaman Pramoedya yang demikian sarat dan berat turut melatarbelakanginya. Penangkapan dan penahanan dirinya selama bertahun-tahun tanpa proses pengadilan di zaman Orde Baru merupakan sebagian saja dari siksaan yang dialaminya.

Kalau yang menjadi dasar pijakan Pram adalah klimaks Mahabarata, maka apa yang dikatakannya sangat berdasar, bahkan sangat mendasar, yakni adanya pembantaian akibat perang saudara. Dilihat dari perspektif manapun, perang Kurusetra adalah pembantaian sesama saudara. Tapi, kalau kita berupaya mengeksplorasi karya itu, maka yang ditemukan di dalamnya adalah mengenai kehidupan itu sendiri.

Benar bahwa dalam karya itu digambarkan ada perang. Namun, dalam karya sastra berbentuk epos di manapun di dunia pasti ada digambarkan peperangan, meskipun tidak selalu perang saudara. Bahkan dalam cerita-cerita nabi di Alquran pun ada peperangan. Bagaimana dengan kenyataan seperti ini? Jadi, menurut saya, tidak masalah ada perang dalam karya sastra berbentuk epos, asalkan saja peristiwanya bisa tergambar dengan asyik. Bahkan dalam karya sastra modern pun, seperti dalam Negeri Senja karya Seno Gumira Ajidarma tergambar adanya peperangan.

Lalu, kenapa wayang dikatakan sebagai omong kosong? Tentu saja saya tidak sependapat dengan Pramoedya. Mahabarata dan juga Ramayana adalah karya sastra yang diimpor dari India, sementara wayang merupakan seni pertunjukan dalam bentuk yang lain sama sekali dengan karya sastra itu. Banyak anasir yang saling melengkapi dalam pertunjukan wayang, sehingga yang dinikmati masyarakat bukan hanya pesan dari cerita yang disampaikan dalang, melainkan gamelannya, suara sinden, sabetan dan cara dalang bercerita, dan sebagainya.

Karena itu, pernyataan Pram tentang wayang sebagai nonsens sangat tidak berdasar.

Dalam buku itu pula, Pramoedya mengakui bahwa hal yang positif dalam budaya Jawa adalah gamelan, musik polifonik yang dapat disetarakan dengan musik Eropa. "Musik zaman sekarang hanyalah ritme yang monofonik. Dibandingkan dengan gamelan, musik pop Barat tidak ada artinya," tegas Pram.

Sanjungan Pram itu hanyalah pemanis saja, karena kita tahu bahwa Pram sangat antifeodalisme. Dan itu tercermin dalam budaya Jawa. Selain penggunaan bahasa Jawa yang berlapis-lapis itu, yang menunjukkan posisi penuturnya, Pram juga menolak sistem pemerintahan yang berdasarkan pada budaya Jawa. "Jika budaya Jawa dipakai sebagai ukuran, hanya ada satu orang di tempat teratas yang dianggap sebagai wakil Tuhan di bumi. Itulah dasar dari budaya Jawa," katanya.

Pernyataan Pram memang keras. Sekeras orangnya. Padahal, Pram sendiri lahir di Blora, Jawa Tengah. Apakah Pram bukan manusia Jawa? "Tidak, saya merasa sebagai orang Indonesia. Saya berpikir dalam bahasa Indonesia, bukan bahasa Jawa," jawabnya.
Demikianlah Pram. Jujur tanpa tedeng aling-aling. ***

Citayam, 7 Juni 2009


Akses http://m.kompas.com dimana saja melalui ponsel, Blackberry atau iPhone Anda.
Share on Facebook   [] Share on Twitter
[] [] [] [] [] Nilai 2 - Beri Rating Artikel - ---------- Sangat Baik Baik Cukup Kurang Sangat Kurang A A A [] []
Ada 2 Komentar Untuk Artikel Ini. Posting komentar Anda
Stefano Pramono @ Selasa, 9 Juni 2009 | 02:07 WIB
Saya tidak setuju anda bilang sanjungan Pram terhadap gamelan itu hanya pemanis belaka. Gamelan memang tidak ada bandingannya. Tingkat kompleksitas yang dimainkan sebuah grup gamelan tinggi sekali, membuat musik modern kelihatan terlampau dasar. Umpama musik itu makanan, maka gamelan itu Gulai Kambing (atau taruhlah makanan favorit anda disini), dan musik modern itu hanya nasi garam. Poli-ritme, bukan poli-fonik. Kompleksitas gamelan ada di saling lapis yang terjadi antara ritme2 beda.
tan jo @ Selasa, 9 Juni 2009 | 01:53 WIB
Arah perjuangan pak Pram gak jelas, apa yang di bela dan apa yang diperjuangkan. Yang ada hanya rasa ketidaksukaan kepada sesama.


__._,_.___
blog: http://artculture-indonesia.blogspot.com

-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
Recent Activity
Visit Your Group
Need traffic?

Drive customers

With search ads

on Yahoo!

Y! Messenger

PC-to-PC calls

Call your friends

worldwide - free!

Group Charity

i-SAFE

Keep your kids

safer online

.

__,_._,___

No comments:

Post a Comment