Salam dari Rumah Dunia #1: EMAK, TANAH, PILPRES, FACEBOOK, DAN PUISI Oleh Gola Gong *** Rumah emakku persis di belakang panggung Rumah Dunia. Tadi sore (Senin, 8 Juni) aku duduk di teras rumah Emak. Di depan rumah Emak ada jalan kecil seluas 2,5. Persis di seberangnya ada tanah kosong milik penduduk. Nah, setelah tanah kavling itulah terbentang tanah yang sedang Rumah Dunia incar, seluas 2873 m2. Persis di depan jalanan kampong Ciloang. Andai tanah itu berhasil kami bebaskan, di atasnya akan kami bangun WC umum untuk warga yang masih memanfaatkan irigasi untuk nyuci dan buang hajat, gedung kesenian, hedung perpustakaan, kios jajanan kampong, ruang pameran, lapangan basket. BERUNTUNG "Sudah berapa meter?" Tanya Emak. yang selalu kangen kepada Bapak. Di sela-sela itu, Emak sering merindukan Bapak yang wafat Desember 2007, duduk di sore hari menikmati kicauan burung, persis seperti yang kami lakukan sore itu. "Sudah 525 meter persegi, Mak…" "Subhanallah. Kamu beruntung, orang-orang percaya sama kamu. Bersyukurlah kamu kepada Allah…" Ya. Aku beruntung. Setiap saat pula aku bersyukur atas apa yang sudah Allah berikan. Aku bercerita kepada Emak, sejak proyek tanah ini digulirkan 20 April lalu, tanah seluas 2873 meter persegi seolah mimpi yang berada di langit. Sulit kami jangkau. Seperti tidak mungkin. "Kita serahkan semuanya kepada Allah," kataku kepada para relawan. "Kita punya niat baik. Percayalah, orang baik ada di mana-mana. Dan yang menyumbang kepada Rumah Dunia, adalah orang yans betul-betul terpilih. Allah yang mengerakkan hati mereka. Betul-betul ikhlas." Aku tahu, dengan caranya masing-masing, orang-orang menyumbang ke Rumah Dunia. Do'a, tenaga, pikiran, dan materi, semua mengalir ke Rumah dunia. Di berbagai mailing list, face book, blog, dan segala macam rupa, aku lepaskan rasa malu ini, agar tanah seluas 2873 m2 itu berhasil dibebaskan. Keduaanakku; Bella (1) dan Abi (10), setiap hari selalu menayakan, "sudah berapa meter, Papah?' Istriku – Tias Tatanka, tiada lelah mengirimkan SMS, surat himbauan lewat pos, postingan di internet, undangan keikutsertaan di "Writing Cam : Bikin Novel dan Film, Yuk!", agar tiap hari selalu bertambah tanah yang terbebaskan. Para relawan juga bergerak semampu mereka. Seperti Sabtu (6/6) lalu, mereka menjilidi kupon. GOTONG ROYONG Dan selalu saja bertambah setiap harinya; 1 meter persegi, hingga 4 meter persegi. Seperti Minggu (7/6) siang itu. Seorang lelaki bernama AW, adik temannku yang seorang pemusik dan sudah almarhum, datang ke Rumah Dunia menyerahkan uang Rp. 1 jt. "Kami ikutan nyumbang, Mas Gong,." Katanya. Atau yang mengbarkan sudah mentransfer semester atau 2 meter persegi lewat SMS. Ada yang sudah aku kenal. Tapi, hampir kebanyakan rata-rata belum aku kenal. Mereka pembaca novel-novelku. Aku dipertemukan mereka di facebook. Luar biasa. Hanya saja, silaturahmiku dengan saudar-saudaraku di facebook tehenti sejenak, karena akunku dinon aktifkan. Aku sebetulnya sedang tune in, enjpy banget dengan akun Gola Gong yang sudah mencapai 5000-an teman. Untung aku memiliki akun yang lain; Balada Si Roy. Kata beberapa temanku, :"Tunggu seminggu. Biasanya aktif lagi." Emak menatapku, "Facebook? Apa itu?" "Semacam ruang pertemuan, Mak. Seperti Emak dulu biasa rapat. Bertemu dengan teman lama dan teman baru. Emak menceritakan rencana dan semua orang di ruangan rapat itu menyetujui, bahkan membntu Emak secara materil." "Subhanallah…" Aku menatap ke seberang rumah Emak. Tanah kosong itu… "Tapi, apa mungkin 5000 temanmu itu menyumbang semua?" "Tidak tahu, Mak. Apalagi sekarang fasebooknya dinon-aktifkan." "Kalau seorang menyumbang Rp. 50.000 atau Rp. 100.000,- saja…," Emak berandai-andai. "Seperti zaman dulu, gotong royong. Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul…" Aku diam saja, mencoba menerawang ke orasi Guntur soekarnoputra pada acara ulang tahun Bung Karno di Rangasdengklok Karawang, 6 Juni lalu. Di orasinya Gintur mengatakan, "Ajaran Bung Karno adalah Marhaenisme, sosialisme yang berdasrkan Ketuhanan yang Maha Esa. Gootong royong, Itulah intinya ekonomi kerakyatan. Kita harus menghidupkannya lagi. Dan itu ada di Mega-Pro!" "Atau, kenapa kamu nggak minta ke Gubernur Banten saja?" kalimat Emak membuyarkan lamunanku. "Apa, Mak?" "Coba datang ke gubernur Bnten!" Aku terdiam. Emak juga. Beberapa saat sepi. Daun pohon mangga bergoyang-goyang. Udara sore dingin. Pukul 11.00 tadi hujan lebat mengguyur Rumah Dunia. "Katanya, haga kuda Prabowo Rp. 3 milyar?" kalimat ini makin mengagetkanku. Aku kini tersenyum. "Suruh saja Prabowo menjual kudanya dan sumbangkan ke Rumah Dunia. Nanti kamu suruh anak-anak Rumah Dunia nyoblos Mega-Pro." Emak ada-ada saja. "Di berita TV, uang puluhan milyar dibuang untuk pesta Pilpres," protes emak, yang pernah jadi Kepala Sekolah SKKPN (Sekolah Keputrian) dan jadi jurkam Golkar pada era 70-an di Serang. Aku diam saja. Aku teringat saat Emak berkampanye untuk Golkar di era 70-an. Suatu hari Emak tampak penuh beban. Beberapa hari kemudian, Emak mengundurkan diri jadi jukam dan dari organisasi Golkar. "Emak tahu, kamu tidak akan melakukan itu," Aku menghela nafas. "Kamu yakin 1 Juli nanti uang akan terkumpul? Sekarang baru 525 meter persegi. Masih ada 2300-an meter lagi." "Hanya Allah yang tahu, Mak." "Kalau tidak terkumpul uangnya, bagaimana? Awas, itu uang amanah. Sepeser pun kamu jangan memakainya!" "Insya Allah tidak, Mak,"aku mengangguk, memberi jaminan. "Emak nyumbang 2 meter saja, ya. Katanya, akan ada gaji ke-13 Juni ini." "Terima kasih, Mak…" SORGA Suara adzan Mahgrib berkumandang. Aku beranjak, mencium punggung lengan Emak. Dulu, ketika aku remaja, setelah mencium punggungnya, biasanya aku pergi meningalkan Emak untuk beberapa waktu.atau ketika aku pulang dari bepergian. Kini, setiap ada kesempatan, aku selalu mengunjunginya, mencium punggung lengannya, menenamni hari-harinya yang sepi sepeninggal Bapak. Adikku kini yang menemani Emak, beserta istri dan ketiga anaknya. Rumahku dan rumah Emak hanya dibatasi Rumah Dunia. Rumahku di sebelah selatan dan rumah Emak di sebelah utara, persis di belakang panggung Rumah Dunia. "Kamu masih menulis puisi?" pertanyaan Emak mengagetkanku. Aku menggeleng. "Emak ingat, kamu pernah mengatakan, bahwa syarat utama istrimu harus bisa menulis puisi." Aku terenyum. Tias Tatanka – istriku, pandai menulis puisi. "Kamu meyakini, jika orang meulis puisi, hatinya jadi lembut dan mmiliki nurani." Aku mengangguk, walaupun sebetulnya banyak orang berhati lembut dan bernurani tidak pandai menulis puisi atau sebaliknya. Ketika aku meninggalkannya, walau hanya untuk pulang ke rumah yang jaraknya sekitar 50 meteran saja, hatiku selalu diliputi rasa penyesalan. Aku masih merasa belum mampu berbhakti kepadanya. Belum mampu membalas seluruh kebaikan hidupnya, yang diserahkan untuk anak-anaknya. Dan aku tahu, ada sorga di Emak.(*) *) Rumah Dunia, Kampung Ciloang, Serang – Banten *) 8 Juni 2009, pukul 19.05 |
__._,_.___
blog: http://artculture-indonesia.blogspot.com
-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
.
__,_._,___
No comments:
Post a Comment