Monday, June 8, 2009

[ac-i] Kenapa Pram Menolak Wayang?



Kenapa Pramoedya Menolak Wayang?
Pramudya Ananta Toer
    Selasa, 9 Juni 2009 | 00:59 WIB

    oleh Asep Sambodja

    Ada pernyataan Pramoedya Ananta Toer yang membuat saya masygul. Dalam buku Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir (Depok: Komunitas Bambu, 2008), Pramoedya Ananta Toer mengatakan kepada Kees Snoek bahwa sejak berumur 17 tahun, dirinya sudah menolak wayang, karena wayang pada dasarnya hanya omong kosong belaka.

    Kenapa Pramoedya menilai wayang hanya omong kosong belaka? Menurut Pram, masyarakat Jawa dibesarkan oleh kisah Mahabarata dan mendapatkan inspirasi darinya. Dan, klimaks Mahabarata adalah pembantaian yang dilakukan saudaranya sendiri. Jadi, Pram menyimpulkan, pendidikan budaya Jawa terdiri dari perang saudara. "Oleh karena itu, orang Indonesia tidak pernah akan menang melawan bangsa asing," katanya.

    Pernyataan Pram yang singkat, padat, dan menyesakkan bagi pencinta wayang ini tidak lepas dari interpretasi seorang Pramoedya terhadap Mahabarata dan wayang itu sendiri. Tentu saja dalam menginterpretasikan hal itu pengalaman Pramoedya yang demikian sarat dan berat turut melatarbelakanginya. Penangkapan dan penahanan dirinya selama bertahun-tahun tanpa proses pengadilan di zaman Orde Baru merupakan sebagian saja dari siksaan yang dialaminya.

    Kalau yang menjadi dasar pijakan Pram adalah klimaks Mahabarata, maka apa yang dikatakannya sangat berdasar, bahkan sangat mendasar, yakni adanya pembantaian akibat perang saudara. Dilihat dari perspektif manapun, perang Kurusetra adalah pembantaian sesama saudara. Tapi, kalau kita berupaya mengeksplorasi karya itu, maka yang ditemukan di dalamnya adalah mengenai kehidupan itu sendiri.

    Benar bahwa dalam karya itu digambarkan ada perang. Namun, dalam karya sastra berbentuk epos di manapun di dunia pasti ada digambarkan peperangan, meskipun tidak selalu perang saudara. Bahkan dalam cerita-cerita nabi di Alquran pun ada peperangan. Bagaimana dengan kenyataan seperti ini? Jadi, menurut saya, tidak masalah ada perang dalam karya sastra berbentuk epos, asalkan saja peristiwanya bisa tergambar dengan asyik. Bahkan dalam karya sastra modern pun, seperti dalam Negeri Senja karya Seno Gumira Ajidarma tergambar adanya peperangan.

    Lalu, kenapa wayang dikatakan sebagai omong kosong? Tentu saja saya tidak sependapat dengan Pramoedya. Mahabarata dan juga Ramayana adalah karya sastra yang diimpor dari India, sementara wayang merupakan seni pertunjukan dalam bentuk yang lain sama sekali dengan karya sastra itu. Banyak anasir yang saling melengkapi dalam pertunjukan wayang, sehingga yang dinikmati masyarakat bukan hanya pesan dari cerita yang disampaikan dalang, melainkan gamelannya, suara sinden, sabetan dan cara dalang bercerita, dan sebagainya.

    Karena itu, pernyataan Pram tentang wayang sebagai nonsens sangat tidak berdasar.

    Dalam buku itu pula, Pramoedya mengakui bahwa hal yang positif dalam budaya Jawa adalah gamelan, musik polifonik yang dapat disetarakan dengan musik Eropa. "Musik zaman sekarang hanyalah ritme yang monofonik. Dibandingkan dengan gamelan, musik pop Barat tidak ada artinya," tegas Pram.

    Sanjungan Pram itu hanyalah pemanis saja, karena kita tahu bahwa Pram sangat antifeodalisme. Dan itu tercermin dalam budaya Jawa. Selain penggunaan bahasa Jawa yang berlapis-lapis itu, yang menunjukkan posisi penuturnya, Pram juga menolak sistem pemerintahan yang berdasarkan pada budaya Jawa. "Jika budaya Jawa dipakai sebagai ukuran, hanya ada satu orang di tempat teratas yang dianggap sebagai wakil Tuhan di bumi. Itulah dasar dari budaya Jawa," katanya.

    Pernyataan Pram memang keras. Sekeras orangnya. Padahal, Pram sendiri lahir di Blora, Jawa Tengah. Apakah Pram bukan manusia Jawa? "Tidak, saya merasa sebagai orang Indonesia. Saya berpikir dalam bahasa Indonesia, bukan bahasa Jawa," jawabnya.
    Demikianlah Pram. Jujur tanpa tedeng aling-aling. ***

    Citayam, 7 Juni 2009



    Akses http://m.kompas.com dimana saja melalui ponsel, Blackberry atau iPhone Anda.
    Nilai 2 A A A
    Ada 2 Komentar Untuk Artikel Ini. Posting komentar Anda
    Stefano Pramono @ Selasa, 9 Juni 2009 | 02:07 WIB
    Saya tidak setuju anda bilang sanjungan Pram terhadap gamelan itu hanya pemanis belaka. Gamelan memang tidak ada bandingannya. Tingkat kompleksitas yang dimainkan sebuah grup gamelan tinggi sekali, membuat musik modern kelihatan terlampau dasar. Umpama musik itu makanan, maka gamelan itu Gulai Kambing (atau taruhlah makanan favorit anda disini), dan musik modern itu hanya nasi garam. Poli-ritme, bukan poli-fonik. Kompleksitas gamelan ada di saling lapis yang terjadi antara ritme2 beda.
    tan jo @ Selasa, 9 Juni 2009 | 01:53 WIB
    Arah perjuangan pak Pram gak jelas, apa yang di bela dan apa yang diperjuangkan. Yang ada hanya rasa ketidaksukaan kepada sesama.

    __._,_.___
    blog: http://artculture-indonesia.blogspot.com

    -----------------------
    Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
    Recent Activity
    Visit Your Group
    Ads on Yahoo!

    Learn more now.

    Reach customers

    searching for you.

    Group Charity

    Hands On Network

    Volunteering has

    never been so easy

    Support Group

    Lose lbs together

    Share your weight-

    loss successes.

    .

    __,_._,___

    No comments:

    Post a Comment