Wednesday, June 10, 2009

[ac-i] Ke Kabul dengan Sisir dan Gincu



Afganistan kontemporer nyaris identik dengan fanatisme agama, miskin, dan rusuh.

Tersuruk di Asia Tengah, negeri ini berbatasan dengan Pakistan di selatan dan timur, Cina di ujung timur, Iran di barat, serta Tajikistan, Turkmenistan, dan Uzbekistan di utara. Membentang seluas 647.500 kilometer persegi dijamuri pengunungan dengan titik tertinggi mencapai 7.485 meter di atas permukaan laut, negeri ini dihuni bermacam-macam suku yang 99 persen adalah penganut Islam (sekitar 80 persen Sunni dan 19 persen Syi'ah) dan 1 persen lainnya.


Sebelum invasi Uni Soviet pada Desember 1979, perseteruan antarsuku umum terjadi. Dan hal inilah yang hingga kini tak berkesudahan, yang kian membara jadi konflik sipil dan perang saudara ketika Uni Soviet menarik seluruh kekuatan militernya pada Februari 1989.

Para pejuang yang sebelumnya bahu-membahu memerangi tentara Soviet, berbalik saling seteru. Di tengah konflik itu Mujahidin berhasil menguasai Kabul hingga datang Taliban, faksi bersenjata lain beranggota umumnya pelajar Islam garis keras dari madrasah-madrasah di wilayah berpenghuni mayoritas etnis Pashtun.


Di bawah kekuasaan Taliban, 1996-2001, ajaran Islam ditegakkan membabi-buta. Segala sesuatu yang dianggap tak sejalan, termasuk warisan benda seni dan budaya, diluluh-latakkan. Bahkan dua patung Buddha raksasa warisan budaya dunia yang dipahat di bukit batu di Provinsi Bamiyan --dikenal sebagai Patung Buddha Bamiyang --pun tak diluputkan.

Rezim Taliban berakhir setelah serbuan tentara Amerika Serikat dan sekutunya, dengan alasan kelompok ini melindungi Pemimpin Al Qaedah, Osama Bin Laden, yang dituduh mengotaki serangan teroris ke menara kembar World Trade Center New York, 11 September 2001. Kekuasaan Taliban memang berakhir, namun gambaran Afganistan sebagai negeri berideologi Islam tanpa kompromi, penuh mullah fanatik, perempuannya wajib ber-burqa membungkus rapat seluruh tubuh dan terlarang berkegiatan kecuali mengabdi pada suami dan keluarga, serta pria-pria berjenggot haus perang menenteng AK47, telanjur terpatri di benak warga dunia.


Di negeri yang mengundang miris dan simpati itulah, pada 2002, Deborah Rodriquez menginjakkan kaki bersama satu tim aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM). Atas nama kemanusiaan dan peradaban mereka datang dan ingin mengabdikan diri menolong orang-orang Afganistan keluar dari derita yang telah beranak-pinak.


Mereka berasal dari berbagai latar yang memang dibutuhkan di kawasan bergolak. Dokter, perawat, insinyur sipil, para ahli sosial, ekonomi, dan praktisi pembangunan masyarakat umumnya. Tapi Deborah yang akrab disapa Debbie justru menjadi anomali karena berlatar pendidikan dan profesi yang tak terbayangkan relevansinya dengan masyarakat miskin yang tak henti didera perang: penata kecantikan.

Kabul Beauty School (Random House, April 2007) yang di Indonesia diterbitkan dengan judul sama oleh Bentang, Maret 2009, berkisah tentang Debbie, kecintaannya terhadap tata-menata kecantikan, serta simpati dan empati pada perempuan Afganistan dan dunia mereka. Ditulis bersama Kristin Ohlson --penulis Stalking the Divine (2003) yang memenangi penghargaan nonfiksi terbaik American Society of Journalists and Authors' 2004-- buku ini bukanlah biografi utuh. Dia hanya fragmen dari sepenggal periode kehidupan Debbie, lika-likunya mendirikan dan mengelolah sekolah kecantikan (dan salon) di Kabul untuk perempuan-perempuan Afganistan korban konflik perang dan budaya.


Dilahirkan di Holland, Michigan, Debbie mengenal tata kecantikan sejak masa kanak-kanak dari ibunya, pemilik dan pengelola salon di kota lahirannya. Holland bukanlah kota besar, tapi Debbie yang "modern" dan gaul dengan cepat matang dan menjalani hidup bak roller coaster. Menikah di usia muda, punya dua putra, cerai, lalu menikah lagi dengan seorang pengkotbah keliling.


Di antara pasang surut itu, dia memperdalam tata rambut di akademi kecantikan, bekerja sebagai anggota satuan pengaman di penjara perempuan, gadis pesta, masuk kelompok keagamaan, hingga menemukan dunia baru sebagai aktivis sosial-kemasyarakatan. Aktivisme yang sesungguhnya tak ideologis, melainkan semata pelarian dari suami kedua yang pencemburu dan gemar menganiaya.


Ke Kabul pun adalah percampuran antara empati terhadap perempuan di wilayah konflik dan keinginan meninggalkan suami yang kian lepas kontrol setelah Debbie terlibat aktivitas membantu korban 11 September 2001 di New York. Dan kesempatan itu pun tiba ketika The Care for All Foundation (CFAF) merekrutnya sebagai salah seorang sukarelawan ke Afganistan.


Sepanjang 430 halaman Kabul Beauty School, Debbia dan Kristin Ohlson (yang di edisi Indonesia tak disebutkan sekata pun) mengajak pembaca menapaktilasi cara pandang seorang perempuan Barat terhadap kebudayaan dan puritanisme keagamaan Afganistan. Sekolah kecantikannya sendiri kemudian hanya jadi wahana bagi Debbie memahami, menilai, mengakrabi, dan mencoba mencintai Afganistan.


Mungkin lewat pengetahuan dan pemahaman terhadap derita para perempuan yang jadi murid-muridnya, problematika keseharian Kabul, juga suami baru seorang Afgan mantan anggota Mujahidin yang hanya diperkenalkan sebagai "Sam", Debbie akhirnya sungguh telah mencintai negeri ini. Kendati begitu, dan walau ditulis dengan ringan dan penuh sentuhan humor, kita bisa mencecap kentalnya "kegeraman" Debbie, terutama pada praktek tak adil terhadap kaum perempuan atas nama agama dan budaya.


Begitu geramnya dia hingga ada beberapa bagian yang menjadi kurang masuk akal. Kisah tentang bantuan "menipu" suami salah satu muridnya agar si lelaki tak tahu istrinya bukan perawan lagi di awal buku, misalnya, secara tak langsung menunjukkan sikap memandang enteng orang Afganistan. Apalagi mengingat latar si lelaki yang sudah hidup cukup lama di tengah masyarakat Eropa, tepatnya di Amsterdam, Belanda.


Namun, memahami perlakuan terhadap perempuan di beberapa negara di mana praktek keagamaan ditafsirkan hitam-putih, kita bisa mahfum bahwa cara pandang Debbie dengan latar Barat yang liberal dan independen. Ekspresinya mungkin tidak segetas Woman at Point Zero (1979) dari penulis Mesir, Nawal El Saadawi, yang menulis tidak dari sisi penyaksi melainkan sebagai penanggung. Atau sefilosofis Lipstick Jihad (2005) dari Azadeh Moavani, penulis Iran yang tumbuh dan dewasa di Amerika Serikat.


Boleh dibilang Kabul Beauty School adalah cara memandang perempuan dan fanatisme agama di antara Woman at Point Zero dan Lipstick Jihad dengan bumbu humor ala Amerika. Resep yang jitu untuk menarik minat Hollywood, yang lewat Columbia Pictures dalam waktu dekat akan memfilmkan buku ini dengan bintang utama Sandra Bullock. Untuk itu, dia menerima bayaran tak kurang satu juta dolar Amerika.


Akhir bahagia? Ternyata tidak. Pada 18 November 2007 situs Timesonline Inggris mempublikasi artikel "Saviour 'abandons' Kabul's salon Girls" yang mengisahkan pada 2007 sekembali dari tur promosi buku Debbie menemukan suami Afgan-nya terlibat pelecehan seksual. Dia juga menerima ancaman penculikan. Maka dia pun angkat kaki dari Kabul.


Debbie tak hanya meninggalkan sekolah kecantikan, salon, dan keselamatan jiwa murid-muridnya yang terancam karena tuduhan "pelacur" setelah riwayat mereka dibeber, tapi juga salah satu murid yang terlunta-lunta di New Delhi, India, yang sebelumnya yakin Debbie bakal mewujudkan mimpinya hidup tenteram dan bahagia di Amerika.


Kabul Beauty School sungguh layak disimak. Akan halnya kisah ikutannya, boleh dimaknai sebagai bual-bual romantika dan intrik percakapan salon disela creambath, haircut, manicure, dan pedicure. Tak ada persoalan ideologi dan aktivisme. Yang terpenting tampil cantik dan menawan.

(Katamsi Ginano, praktisi komunikasi dan business development, juga pecinta buku)


Judul Buku:
Kabul Beauty School
Pengarang: Deborah Rodriguez
Penerbit: Penerbit Bentang, Maret 2009
Tebal: viii + 430 halaman

sumber: http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/05/31/Suplemen/krn.20090531.166604.id.html
--------------------------
PT BENTANG PUSTAKA
Jl. Pandega Padma No. 19
Yogyakarta 55284
Indonesia
Phone 62-274-517373
Fax 62-274-541441
www.mizan.com
--------------------------

__._,_.___
blog: http://artculture-indonesia.blogspot.com

-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
Recent Activity
Visit Your Group
Search Ads

Get new customers.

List your web site

in Yahoo! Search.

Yahoo! Groups

Small Business Group

Improve your business

by community exchange

Yahoo! Groups

Mental Health Zone

Mental Health

Learn More

.

__,_._,___

No comments:

Post a Comment