Seorang teman –– pemandu beberapa wartawan Amerika Latin ––  tak mampu berkomentar atas pernyataan wartawan saat makan malam di salah satu cafĂ© di kawasan Ancol, Jakarta Utara. Wartawan itu berkata,"Saya tidak menduga remaja Indonesia begitu bebas, melebihi negara kami...."

Sebelum berkunjung ke Indonesia mengikuti "Journalist Visit Programme", wartawan itu membayangkan Indonesia ––  sebagai negara dengan penduduk mayoritas Islam –– adalah negara yang memegang teguh prinsip-prinsip agama, etika, dan moral. Ternyata keliru. Di Ancol, dia menyaksikan anak-anak muda bebas melakukan apa saja di depan umum.

Teman pemandu itu tidak dapat berkata apa-apa. Ia terdiam, sunyi, dan kehilangan kebanggaan. Ia merasa asing dan terpelanting dalam fakta yang sangat nyata.

Dan, kita juga terpelanting atas hasil survei ini: Pada 2008, menurut keterangan Direktur Remaja dan Perlindungan Hak-Hak Reproduksi Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional Pusat (BKKBN), M Masri Muadz, sebanyak 63 persen remaja Indonesia usia SMP dan SMA sudah melakukan hubungan seksual di luar nikah.

Mengutip hasil survei yang diterimanya, Masri menyebutkan, jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya. Pada 2005-2006 di Jabotabek, Medan, Bandung, Surabaya, dan Makassar, berkisar 47,54 persen remaja mengaku berhubungan seks sebelum nikah. Peningkatan ini, antara lain, disebabkan pergaulan hidup bebas, faktor lingkungan, keluarga, dan media massa.

Data lain –– yang menyedihkan dan membuat kita bergidik –– berasal dari Departemen Kesehatan. Sampai September 2008, menurut data tersebut, sebanyak 15.210 penderita AIDS atau orang yang hidup dengan HIV/AIDS di Indonesia. Dari jumlah itu, 54 persen adalah remaja.

Dan, simak lagi data ini: Survei yang dilakukan Annisa Foundation di Cianjur, Jawa Barat, pada 2007, menemukan hasil mengejutkan. Di kota ini, lebih dari 42,3 persen pelajar perempuan di kota santri itu telah melakukan hubungan seks pra-nikah. Para responden mengaku hubungan pra-nikah itu dilakukan atas suka sama suka. Bahkan, ada responden yang mengaku berhubungan lebih dengan satu pasangan.

Survei yang dilakukan pada Juli sampai Desember 2006 kepada 412 siswa SMP dan SMA itu, menurut Direktur Annisa Foundation, Laila Sukmadevi, kecenderungan pelajar Cianjur berhubungan seks pra-nikah bukan karena persoalan ekonomi.. Alasan ekonomi hanya 9 persen, selebihnya karena pergaulan dan lemahnya kontrol orangtua.

Temuan lain Annisa Foundation, sebanyak 90 persen remaja yang melakukan hubungan pra-nikah tersebut, bukan karena tidak paham nilai-nilai agama dan moral. Mereka justru mengetahui bahwa perbuatan itu dosa dan sangat tidak pantas.

Jauh dari Jakarta, tepatnya di Samarinda, Kalimantan Timur, survei Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Cabang Samarinda pada September 2008 lalu, menemukan hasil yang menyedihkan. Dari 300 pelajar Samarinda, 12 persen di antaranya mengaku pernah melakukan hubungan badan.

Menurut survei PKBI itu, 14 persen hubungan seks dilakukan di sekolah, 28 persen mengaku melakukannya di rumah. Ironisnya, hubungan badan dilakukan di sekolah saat jam istrahat maupun ketika usai belajar. Sedangkan di rumah dilakukan saat kedua orangtua tidak berada di rumah.

Organisasi riset nirlaba AS, Research And Development (RAND) melaporkan penelitiannya November 2008 lalu, bahwa tayangan televisi sangat berpengaruh terjadinya kehamilan di kalangan remaja di AS. Pengkajian yang disiarkan jurnal Pediatrics itu menyebutkan, remaja yang banyak menonton acara yang mengandung unsur seksual, menghadapi risiko hamil lebih besar.

Pengkajian itu memfokuskan pada 23 acara televisi kabel yang populer di kalangan remaja, antara lain komedi situasi, drama, acara realitas, dan kartun.

Angka kehamilan remaja di AS tetap tinggi dibandingkan dengan negara-negara industri lainnya. Hampir sejuta gadis berusia  antara 15 hingga 19 tahun hamil setiap tahunnya, atau sekitar 20 persen wanita yang aktif secara seksual dalam kelompok umur tersebut.

Hasil penelitian dan survei tersebut sangat menakutkan. Gaya hidup permisif, budaya televisi, telah mendorong para remaja terperosok dan jatuh ke jurang terdalam. Di Indonesia, remaja-remaja kita diserbu gaya hidup serba mungkin. Pendidikan agama telah berubah menjadi angka-angka dalam buku rapor semester.

Kehidupan remaja di AS dan Indonesia, terutama di perkotaan, hampir sulit dibedakan. Mereka mendapatkan apa saja. Bahkan, lemahnya penegakan hukum, memungkinkan remaja Indonesia mendapatkan jauh lebih besar dan menakutkan dibandingkan di AS. Video porno, majalah porno, tayangan televisi yang serba benda dan kemewahan, serta situs-situs porno di internet, dengan mudah didapatkan.

Dan, yang sangat menakutkan, ketika persoalan ini dianggap sebagai suatu yang biasa. Ini bahaya lebih dahsyat dari yang dibayangkan orangtua, pendidik, ulama, dan negara.

Seorang wartawan Amerika Latin berkata, "Saya tidak menduga remaja Indonesia begitu bebas, melebihi negara kami.....'"

Wartawan itu sesungguhnya sedang menggugah kesadaran kita – yang selalu merasa lebih baik, lebih terhormat, dan bahkan lebih mulia. Ini sungguh menakutkan.

Jakarta, 1 Juni 2009.