(naskah sastra dari dunia maya facebook)
Sat 10:31pm | Edit Note | Delete
laju bahasa bisa kita ibaratkan seolah tubuh yang jatuh ke jurang: saat sebatang pohon terjulur dari tepi jurang tak satu pun yang muncul, sehingga tubuh meluncur mulus membentur batu besar di bawah jurang.
sebatang pohon penahan tubuh yang meluncur itu, dalam bahasa, adalah fungsi dalam bahasa yang bertukar tempat, misal pertukaran posisi dari watak prosa ke watak puisi. sebuah karya sastra masih menjadi cerita naratif, tapi kalimat kalimatnya telah membentuk imaji seolah puisi. telah bergerak seolah larik puisi dalam bentuk kalimat prosa.
tapi laju bahasa dalam pertukaran fungsi seperti itu, bisa hanya terjadi karena pergeseran huruf dalam sebuah kata (kata kata). saya akan mengutip cerita berjudul surapati hakim pengadilan, yang ditulis oleh f wiggers atau melati van java, yang saya ambil dari buku tempo dulu, antologi sastra pra-indonesia yang disusun oleh pramudya ananta toer.
"kraton pasoeroewan baguoes, besar dan pantas djadi astana karadjaan yang berkoewasa. doeloe tempat kadoedoekannya ngabehi ongo djoijo, maka radja ini dioesir oleh soeropati."
bagi saya ejaan lama itu, dengan memakaikan gabungan huruf oe untuk huruf u, adalah sebuah bahasa yang tak laju alias tertahan. di mulut saya, dulu yang dibentuk menjadi doeloe itu, adalah memperlambat pembacaan. sehingga saya seolah terhenti, untuk menselaraskan pembacaan oe untuk u itu.
tapi kemudian segera saya sadari, bahwa cara menyusun huruf seperti itu menimbulkan kesan lucu. lucu dari ketidak familiaran saya baik dalam bacaan maupun dalam ucapan. pastilah bagi orang dulu, pembentukan u dengan oe itu adalah hal yang biasa. biasa karena telah menjadi tulisan dan ucapan sehari hari. maka suatu kesimpulan bisa kita peroleh, bahwa laju bahasa, yang dalam hal ini tertahannya sebuah bahasa, yakni u yang dibentukkan dari oe itu, tergantung konteks tempat dan konteks waktu. tempat dan waktu di mana sebuah bahasa hidup, bisa jadi akan membawa persoalan bahasa bagi orang yang datang kemudian.
bagaimana laju bahasa yang tertahan dengan perpindahan watak prosa ke watak puisi? untuk ini saya akan mengambil contoh cerita panjang kafka yang diterjemahkan oleh novelis eka kurniawan, yakni metamorfosa. saya kutipkan paragraf pertama cerita yang amat mencengkam itu.
"ketika gregor samsa terbangun di suatu pagi dari mimpi yang buruk, ia menemukan dirinya berubah di atas tempat tidur menjadi semacam kutu yang besar sekali."
lihatlah kalimat itu seolah kalimat prosa, seolah denotatif. hanya sebuah prosa yang dimulai dengan sebuah informasi: ketika gregor samsa...
tapi kalau kita simak secara seksama, betapa kata "mimipi, kutu," telah membawa kalimat semacam itu bergerak ke wilayah puisi, menjadi sebuah larik yang konotatif sifatnya: masihkah "terbangun" di sana ada dalam bingkai mimpi? - bahwa gregor samsa itu terbangun dari tidurnya di dalam mimpinya. dan kutu, adalah penguat dari dugaan semacam itu: dalam sebuah realisme, keadaan seperti itu pastilah halusinasi, yang kelak sang tokoh, gregor samsa, akan kembali ke alam nyatanya. tapi tidak: sang samsa terus mengikuti ayunan dari berubahnya tubuh manusianya menjadi kutu atau kecoa. dan sampai selesainya cerita ini, keadaan kutu atau kecoa itu tak pernah berubah.
inilah suatu keadaan surealisme tubuh yang sedang diderita oleh gregor samsa. sebuah keadaan di mana tubuh telah diatasi, bukan menjadi tubuh yang biasa kita kenal. tapi tubuh yang telah diangkat, atau terangkat, menjadi tubuh imaji dari suatu hasil mimpi. suatu hasil kayalan sang pengarang. tubuh gregor samsa bukanlah tubuh prosa lagi, tapi telah menjadi tubuh puisi.
berhadapan dengan alinia itu, kita tak bisa lagi seolah dalam keadaan bahasa yang melaju. seolah semuanya telah kita mengerti dalam bahasa yang denotatif sifatnya. tapi bahasa kita telah tertahan. ditahan kafka melaui prosanya yang dibelokkannya ke dalam puisi. ke dalam suatu imajinasi surealis yang diimajikannya kepada tubuh tokohnya - gregor samsa.
kafka sendiri mungkin tidak menyadarinya. sebab sang pengarang sedang dilanda ledakan dalam bahasa.
maka satu hal yang hendak saya katakan, bahwa hukum atau batasan puisi dan prosa, atau prosa dan puisi, tak bisa lagi kita pertahankan secara ketat dengan mendefinsikan bahasa prosa sebagai pemakaian kalimat atau kata yang denotatif sifatnya, sedangkan puisi memakai bait atau larik yang konotatif.
definisi rontok tanpa kita sadari, melalui karya seniman yang datang diam diam. tapi sebuah mata yang awas menemukannya dalam terapan pada suatu karya sastra.
apa yang terjadi dengan cerita kafka, berulang kembali di dalam cerita borges dalam buku labirin impian yang dialih bahasakan oleh hasif amini, penjaga rubrik budaya koran kompas itu. dalam cerita pertama di buku itu, ibn hakkan al bokhari, mati di dalam labirinnya sendiri, puisi datang dari suatu setting alam yang dinarasikan oleh narator.
"bintang bintang berkabut, orang orang moor yang muram, lautan, bukit bukit pasir, bangunan besar tua yang hampir ambruk," adalah suatu puisi ketika dihubungkan oleh kehendak sang dunraven untuk menggambarkan tanah leluhurnya. puisi dari sebuah penceritaan yang bukan lagi bisa kita nilai berdasar dalil prosa tentang "apa adanya", tapi telah menjadi asosiasi akan sesuatu yang "memang ada" itu - tanah leluhur dunraven, melalui pemakaikan kata "seakan, seraya" di sana.
denotatif prosa telah diputar menjadi konotatif puisi oleh borges melalui sang narator.
"ini," kata dunraven, dengan kedua belah tangan mengembang seakan hendak merengkuh bintang bintang berkabut seraya menampung orang orang moor yang muram, lautan, bukit bukit pasir, serta sebuah bangunan besar tua yang hampir ambruk dan mungkin berubah menjadi kandang setelah lama tak berpenghuni, "inilah tanah leluhurku."
dengan cara membaca seperti itu, maka masihkah kita harus berkutat dengan pengertian dan batasan batasan dalam sastra?
tidak ya.
hudan hidayat
tidak pakai presiden karena sudah malam i hihi
mabuk ni ye a haha
Written on Saturday · Comment · LikeUnlike
You, Deasy 'Elang' N, Icha Chemplon, Dhidi Cahyani P and 10 others like this.
Deasy 'Elang' N, Icha Chemplon, Dhidi Cahyani P and 10 others like this.
Hudan HidayatHudan
Deasy 'Elang' NDeasy
Icha ChemplonChemplon
Dhidi Cahyani Pdhidi
Nani MarianiNani
Rien Al AnshariRien
Angga WijayaAngga
Pratiwi SetyaningrumPratiwi
Widyawati Soetego PoetriWidyawati
Zuraidah Abdul AzizZuraidah
Maya Larasati UnguMaya
See all...
Purwono Nugroho Adhi at 12:19am June 7
kadang saya berefleksi, laju bahasa ini, keterpisahan layar monitor dengan ruang kita, mengibaratkan puisi di facebook bukan untuk dibacakan. Kata dalam posting menjadikan puisi sebagai komoditas kata, ia bermakna bukan karena dibaca, tetapi karena mengajak kita memahami makna. Penggalan kata seakan nisbi untuk ditampilkan dalam pembacaan, memang inilah yang mungkin terputus bagi sastrawan konvensional. Mungkin, ilustrasinya, sama dengan musikalisasi puisi yang diliarkan menjadi "performance art". Posting puisi facebook adalah gagasan, bukanlagi puisi. maaf, jika ini melebar dan tak terarah, pada intinya diskusi ini ingin mengajak pada sebuah kajian baru, betapa sastra mendapatkan gaya barunya yang luar biasa kuat dan masif
Maya Larasati Ungu at 12:20am June 7
laju melaju...
Kurniawan Yunianto at 12:30am June 7
iya tampaknya dunia katakata ini telah begitu mencapai tataran yang tak terkira, aku bayangkan betapa sulitnya para musisi untuk menggabungkan nada diatonis dengan gending 'pelog' dan sampai saat ini menurut mereka sulit menghasilkan sebuah harmony. merujuk pada uraian mas pur tadi sepertinya .. tak ada lagi yang bisa menghambat laju sebuah perjalanan bahasa ini, bahkan mungkin bidangseni lainnya juga. dan uraian bung hudan semacam pemicu terbukanya sebuah hijab yang selama ini menjadi pembatas yang kokoh untuk bisa masuk ke dunia kata yang penuh misteri itu .. hmmm saluut
salam & senyum mesra .. para kekasih .. hehe
Niken Probo Sutanti at 1:25am June 7
pada tahun 1979, di majalah SISWA, terbitan Yogyakarta, ada rubrik yang memuat sajak2, berikut saran dari pengasuhnya. di majalah itulah pertamakali aku membaca sajak yang penulisannya seperti prosa. tapi setelah itu aku tak lagi mengikuti perkembangan dunia sastra. Teori pelajaran kesusastraan memang mengajarkan tentang jenis2 karya sastra lama (... Read Moregurindam, pantun dll), baru (puisi, prosa, narasi, kalo ndak salah lho ini), akan tetapi.... pada prakteknya sepertinya ndak bisa dibendung perkawinan atau peleburan masing2 jenis itu, hingga menghasilkan 'ras' baru. Tak jauh beda dg musik. He he.. mohon ampyun kalo salah pak Pres.. hiks..
Widyawati Soetego Poetri at 2:08am June 7
aku menyimak saja ... takut salah ngomong , karena aku gak begitu tahu banyak ttg ilmu sastra , sejauh ini aku byk belajar dr tulisan2 bang Hud dan kawan2 lainnya ...
terimakasih ... hiks
Zuraidah Abdul Aziz at 2:20am June 7
kalau pendapat zu sih begini...sebaik sesuatu teks sastra itu ditulis, perkiraan tentang improvisasi pragmatis karya sering menjadi soal kedua. teks masih tetap teks, mereka mengira begitu. padahal konotasi semantik emotif ternyata sulit disampaikan tepat kepada publik sekiranya ejaan tidak diambil kira. hiks
justeru teks sastra lama, beda sesuai dengan jaman pada waktu itu. rata-rata masyarakat suka bernazam dan bersyair. makanya naratif epos begitu sinonim dan relatif sekali kepada mereka ini. epik sejarah yang popular menggunakan naratif epos adalah Siti Nurbaya dan Marah Rusli. nonfiksi. teknis realis yang mempunyai pendekatan prosaik dan liris yang sederhana. apa pun sesuatu karya itu dan seperti karya, penerimaan publik tetap harus diambil kira gitu. weihh :p
Pratiwi Setyaningrum at 2:39am June 7
mmmmmmhhhh..
Pakar Dukun at 4:03am June 7
teks-histori
pergeseran makna, perubahan tata cara simbolisasi bunyi, perubahan gramatika, sepertinya akan tetap menjadi keniscayaan yang terjadi selama tidak ada aturan baku mengenainya. sedangkan pembakuan ini tentunya akan berhadapan dengan masalah kebebasan ekspresi dari penulis teks sebagai satu komponen pelaku bahasa yang seringkali merasa memiliki sebuah rasa 'aku bebas' yang demikian besar.
histori, membuktikan bahwa seringkali dalam perjalanan bahasa dari generasi ke generasi terdapat suatu diskontinuitas dimana ada kesulitan-kesulitan tertentu pada generasi yang datang belakangan dalam memahami teks yang dihasilkan oleh generasi terdahulu. dalam tataran ekstremnya mungkin bahkan akan menimbulkan sebuah diskontinuitas sastra, bahasa, bahkan peradaban itu sendiri.
saya sendiri lebih memandang bahwa teks adalah catatan-catatan pencapaian peradaban suatu generasi, yang ketika terjadi pergeseran, perubahan dan lain-lainnya itu, akan menyebabkan perkembangan suatu peradaban tidak berlangsung secara berkesinambungan. mnghasilkan diskontinuitas. tiap generasi akan membuat peradabannya sendiri dengan sebuah ketidakpedulian pada perjalanan besar peradaban manusia, masa lalu dan masa mendatang.
apakah akan kita jalankan roda histori ini dengan kontinuitas garis yang bersambung, ataukah tiap kali berganti generasi kita akan selalu menarik garis baru dari titik nol dengan berargumenkan kebebasan tanpa batas-batas? tentunya masing-masing kita mesti memilih satu di antara dua pilihan itu.
salam dari kuburan kalibata..
Rien Al Anshari at 6:04am June 7
numpang menyimak saja.... :O
Jehan Syauqi at 6:51am June 7
saya ikut menyimak, dari bahasan om huds dan paparan yg lain..
gemuk saya disini ;p
Kavellania Nona Pamela at 7:24am June 7
aq plg gk bsa mjdkan prosa ke puisi krn susah sekali utk bermain metafor. mkx aq salut sm tmn2 fb pda pinter bqn puisi ^^
Nur Jehan at 7:44am June 7
Selamat pagi semua, aku belajar banyak disini, betapa Mas Hudan dan teman2 disini sudah berbaik hati mau berbagi.
Salam untuk semua
Faradina Izdhihary at 8:37am June 7
Salam all, Mas Hudan... semoga senantiasa sehat. Trims kuliahnya. Aku juga tambah tambun nih, tapi seksi setelah baca esau mas hudan ma komentar teman2. aku ngangsu ilmu saja.
Nani Mariani at 8:41am June 7
terima kasih Pres Hud Hud.., aku bisa membaca pengarahan mu, makasih.., kembali lagi kpd si kembar siam itu, dua2nya ber inisial " P", dari ibunda tercinta. he he he.., bersyukurlah para sobat sobatku, pengarahan tidak pernah putus dan jemu dari Pres Hud Hud.., dermawan membagi Ilmu dan Rahasia menulis.., aminn., makasih makasih makasih... semangat!
Dhidi Cahyani P at 9:18am June 7
berbahagia rasanya mendapat segudang ilmu....terimakasih telah berbagi
Icha Chemplon at 9:34am June 7
akhirna dpt pelajaran lagi duwech saia...huwa pengap sekali kamar yg kutumpangi kmrn...gag enak dijamu ama dokter & sustel...enakan dsni dengerin mata kuliah dr presidencuw.
Deasy 'Elang' N at 5:43pm June 7
Ilmu lagi nih..senangnya aku. Biar kunikmati dengan pelan yaaaaaaaa
Dadan N Ramdan at 8:57pm June 7
terbaca. ikut menyimak. memaknai dan meleburnya. teks tetap teks. diluar itu...kita sama-sama tahu...
salam
Bamby Cahyadi at 10:09pm June 7
Mantrabs... sastra pembebasan, hidup pak pres!
Priatna Ahmad Budiman at 6:26am June 8
Prosa dan puisi adalah cara bertutur, essay diatas bisa jadi pembebasan sekat prosa menjadi puisi lewat imaji. metafor, konotatif makna. Tapi kadang saya juga melihat potensi pembebasan itu bisa lewat struktur jeda : tanda baca koma, alinea, spasi.
Hm..Mungkinkah ?
Write a comment...
-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
No comments:
Post a Comment