Friday, June 5, 2009

[ac-i] Selamat Jalan Bapak Kami ; In Memoriam Pak Dib



Kemarin aku cukup letih sepulang bekerja dan akupun tertidur lelap meskipun malam belum terlalu larut. Tapi saat lelap tertidur aku terbangun oleh suara nada dering SMS dari HP yang selalu kuletakkan di dekat kepalaku. Dengan mata yang masih mengantuk aku mengambil HP dan bersiap-siap mengutuk kalau ternyata SMS yang masuk itu adalah berbagai promosi tidak penting dari Indosat yang belakangan ini cukup gencar masuk Ke HP-ku dan kadang sangat menjengkelkan karena masuk di saat aku berkendara.

Tapi begitu kotak masuk kubuka, yang masuk adalah SMS dari Uun, adik angkatanku di Leuser dan ketika isi SMS-nya kubaca aku merasa seperti disambar petir rasanya. Dalam SMS-nya Uun mengatakan kalau Pak Dib telah meninggal dunia.

Pak Dib yang bernama lengkap Sudibyo yang lahir di kecamatan Blora Jawa Tengah adalah seorang purnawirawan TNI angkatan Darat dengan pangkat terakhir Peltu (Pembantu Letnan Satu) yang berperawakan cukup kecil untuk ukuran seorang tentara.

Sejak Leuser, organisasi pecinta alam kami berdiri pada tahun 1986 silam, Pak Dib secara rutin menjadi pelatih kami setiap kali kami menyelenggarakan DIKSAR (Pendidikan Dasar) yang menjadi syarat keanggotaan kami. Karena dedikasinya yang begitu besar Pak Dib kami jadikan anggota kehormatan organisasi kami.

Aku mengenal Pak Dib pertama kali di akhir tahun 1993 saat aku mengikuti Pra Diksar UKM Pa Leuser, waktu itu Pak Dib memberi materi pelajaran navigasi, materi yang kemudian menjadi kegemaran dan keahlianku saat aku sudah menjadi anggota. Kemudian saat saya mengikuti Diksar, Pak Dib juga selalu hadir berada bersama abang-abang dan kakak-kakak yang membina aku. Saat menjalani Diksar itu aku benar-benar dibantai habis-habisan oleh abang-abang dan kakak-kakakku termasuk Pak Dib, tubuhku dipaksa bekerja sampai ke daya tahan maksimalnya. Tapi dalam keadaan seperti itu aku sangat merasakan betapa bijaksananya Pak Dib, pensiunan tentara yang sudah pernah bertempur di mana-mana ini.

Ketika itu pada malam Diksar pertama ketika tubuhku masih belum terbiasa menerima berbagai beban latihan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya, aku benar-benar kepayahan dipaksa oleh kakak-kakak dan abang-abang seniorku untuk melakukan berbagai aktivitas fisik yang luar biasa berat, mulai dari lompat kodok, jalan jongkok, push up sampai berguling dari puncak bukit untuk disuruh kembali berlari secepat-cepatnya ke puncak bukit tempat awal aku mulai berguling.

Ketika aku sudah sangat kepayahan dan belum ada tanda-tanda kalau abang-abang akan berhenti 'membina' aku, emosiku sempat naik pada salah seorang abang yang aku mintai tanda tangannya tapi untuk mendapatkannya banyak sekali alasan tidak masuk akal yang dia perintahkan padaku sampai membuat aku berpikir dia sentimen padaku, aku sampai sempat berpikir akan memukul abang ini. Tapi saat aku kepayahan seperti itu Pak Dib mengambil alih dan berhentilah penderitaanku. Bersama Joel Gunung temanku dari kelompok lain yang juga sudah kepayahan, oleh Pak Dib aku diperintahkan mendekat dan disuruh berpura-pura menjadi pengawal beliau dan pura-pura menembaki nyamuk-nyamuk yang mendekat kepada beliau.

Meskipun terlihat tegas saat memerintahkan aku dan Joel untuk mendekat, aku bisa melihat dan merasakan rasa sayang Pak Dib kepada kami melalui sorot matanya. Sorot mata seorang bapak yang menyayangi anak-anaknya. Perasaan ini terasa semakin kentara ketika Diksar berakhir dan kami diundang makan-makan di rumah Pak Dib.

Sebelum DIKSAR Leuser dipindahkan ke Sabang karena alasan keamanan, biasanya kami selalu menyelenggarakan acara puncak DIKSAR di kolam Mata Ie, tidak jauh dari rumah Pak Dib. Dan tiap selesai DIKSAR Pak Dib memang selalu mengadakan acara kenduri kecil-kecilan di rumahnya dengan mengundang kami semua, panitia dan anak-anak yang baru lulus DIKSAR yang seminggu penuh tidak pernah mendapat makanan yang layak. Sekarang aku sering berpikir entah darimana Pak Dib mendapatkan uang darimana untuk membiayai acara makan-makan yang mengundang anak-anak leuser yang rata-rata rakus luar biasa itu karena aku tahu gaji pensiunan seorang tentara jumlahnya tidak seberapa. Tapi dulu hal itu tidak pernah terpikirkan di kepalaku, dulu saat Pak Dib mengundang kami makan seperti itu, sama seperti teman-temanku yang lain, yang terpikir di kepalaku adalah bagaimana cara memasukkan sebanyak mungkin makanan ke perutku.

Di masa pensiunnya Pak Dib membuka lahan kebun di desa teladan dekat Seulimum, oleh Pak Dib kami sering diundang ke kebunnya dan ketika pulang selalu diberi oleh-oleh Pepaya dari hasil kebunnya. Belakangan desa tempat kebun Pak Dib berada menjadi sarang GAM yang sangat anti pada tentara. Kami semua sangat mengkhawatirkan keselamatan Pak Dib, tapi syukurnya sampai konflik berakhir Pak Dib tetap selamat dan tidak terjadi apa-apa.

Pak Dib adalah tentara yang kenyang dengan segala pengalaman tempur dan Pak Dib sering menceritakan pengalaman-pengalamannya itu kepada kami, yang paling berkesan baginya adalah ketika beliau bertempur di Timor Timur, pengalaman itu sering diceritakan Pak Dib pada kami. Tapi saat bercerita kentara sekali terlihat kesan bahwa Pak Dib tidak sedang menyombongkan diri. Sebaliknya yang terasa jelas adalah seorang tentara yang mengabdi dengan penuh rasa ikhlas kepada bangsanya. Bahkan ketika beliau menceritakan tentang pertempurannya dengan fretilin-pun aku menangkap kesan bahwa Pak Dib tidak membenci mereka, tapi justru menghormati mereka sebagai lawan yang sama-sama bertempur berdasarkan rasa cinta pada negara.

Begitulah, meski secara hubungan darah kami sama sekali tidak memiliki ikatan apa-apa, tapi di hati kami anak-anak Leuser, status Pak Dib sebenarnya bukan hanya sebagai seorang pelatih atau anggota kehormatan saja. Bagi kami lebih dari itu, kami anggota Leuser rata-rata adalah anak perantauan yang tinggal di Banda Aceh tidak bersama orang tua. Sehingga sosok Pak Dib bagi kami benar-benar adalah ORANG TUA.

Karena Pak Dib memang kami anggap sebagai orang tua, teman-teman yang sudah menikah dan punya anakpun sering mengajak anak dan keluarganya ke rumah atau ke kebun Pak Dib dan anak-anak kamipun menganggap Pak Dib sebagai kakeknya.

Di masa tuanya pak Dib mulai sakit-sakitan, tapi Pak Dib selalu menunjukkan senyum tulusnya jika kami anak-anak Leuser mengunjunginya dan terlihat sekali Pak Dib berusaha tampak tegar di depan kami. Saat saya ke Banda Aceh kemarin kak Cicit, salah seorang seniorku yang tinggal di Banda Aceh mengatakan sakit Pak Dib sudah makin parah dan dokter yang merawatnya melarang Pak Dib untuk terlalu banyak bergerak. Tapi hal itu tidak bisa dicegah kalau kami anak-anaknya datang berkunjung. Ibu Dib sering memarahinya jika begitu. Tapi menurut Kak Cicit, meskipun harus menahan rasa sakit, kalau mengetahui ada anak Leuser yang berkunjung kentara sekali tampak wajah pak Dib memancarkan aura gembira dan matanya menunjukkan rasa bangga.

Sejak tadi malam Pak Dib sudah tiada, tapi senyum Pak Dib, ketulusan Pak Dib tidak akan pernah hilang dari hati kami anak-anaknya.

Meskipun sekarang pak Dib sudah tiada, tapi aku yakin sampai akhir hayatnya bahkan sekarangpun di alam lain sana Pak Dib pasti merasa bangga pada kami anak-anaknya, yang pernah berada di bawah pembinaannya.

Pak Dib sekarang memang sudah tiada, tapi kami yakin bapak tersenyum dan bangga saat meninggalkan dunia yang fana ini. Kami yakin bapak tersenyum karena dalam hidup bapak yang singkat, bapak telah berhasil membina kami, anak-anak bapak yang berkat Bapak telah tumbuh dewasa menjadi manusia-manusia yang jauh dari sikap cengeng, yang tahan banting, yang mampu bertahan hidup dalam segala cuaca dan kondisi.

Meski bapak sudah tiada, pak Dib yakinlah...semangat, keikhlasan dan ketulusan bapak akan terus kami tularkan ke adik-adik Leuser di setiap generasi untuk menjadi nilai teladan di organisasi kita.

Semoga bapak mendapat tempat yang layak di sisinya...Selamat jalan Pak Dib, selamat jalan bapak kami yang kami sayangi.

Dari anakmu

LL.165.US
www.winwannur.blog.com

__._,_.___
blog: http://artculture-indonesia.blogspot.com

-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
Recent Activity
Visit Your Group
Give Back

Yahoo! for Good

Get inspired

by a good cause.

Y! Toolbar

Get it Free!

easy 1-click access

to your groups.

Yahoo! Groups

Start a group

in 3 easy steps.

Connect with others.

.

__,_._,___

No comments:

Post a Comment